MUT’AH
Mut'ah dalam bahasa arab berarti sukacita, kesenangan, kepatuhan, pemenuhan atau
kenikmatan. Mut’ah mempunyai arti lain sebagaimana ia digunakan. Contohnya dalam sebuah
sumpah, mut’ah mengandung arti kepatuhan atau pemenuhan dan dalam hal perkawinan
berarti kebahagiaan atau sukacita sementara itu di dalam ibadah haji berarti santai.
Istilah mut’ah dalam sebuah pernikahan tidak hanya mempunyai satu makna, namun
memiliki beberapa makna contohnya yang pertama ialah nikah mut’ah yaitu menikah dengan
batasan waktu, atau sebutan yang lebih akrab dengan telinga kita ialah “kawin kontrak”. Para
ulama di dunia mengaharamkan nikah mut’ah ini kecuali para ulama di Syiah. Selain itu mut’ah
juga memiliki makna lain dan masih berada dalam permasalahan pernikahan tetapi di dalam
bab yang berbeda. Nikah mut’ah haram hukumnya, tetapi yang satu ini sebaliknya wajib
Mut’ah yang dimaksud ialah mut’ah talak, dinamakan mut’ah talak, karena ia terjadi
pada saat ada talak. Yang dimaksud dengan mut’ah talak ialah sejumlah harta yang diberikan
oleh mantan suami kepada mantan istri sebagai bekal sepeninggal suami. Kalau secara bahasa,
mut’ah itu sendiri artinya “kesenangan”, memang mut’ah itu sendiri dibayarkan oleh mantan
suami sebagai “penggembira” atau “penghibur” bagi mantan istri yang ditinggal suami karena
perceraian. Mut’ah yang diberikan ialah berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla
Mengenani hukum mut’ah talak terdapat berbagai pendapat, ada yang mewajibkan da nada
Dalam hukum mut’ah ini Para ulama terbagi menjadi 2 kubu besar dalam masalah hukum
Artinya bahwa hukum mut’ah ini sebenarnya tidak wajib dan boleh ditinggalkan. Mampu atau
tidak mampu mantan suami itu, ia boleh tidak memberikan mut’ah kepada mantan istrinya. Pendapat
Mazhab ini berpendapat atas kesunnahan mut’ah itu berdasarkan ayat yang telah disebutkan di
atas tadi. Perintahnya memang jelas, yaitu perintah untuk mut’ah, tetapi di akhir ayat Allah swt
menerangkan kalau itu ialah “kewajiban bagi mereka yang berbuat baik”, “Haqqon ‘Ala Al-Muhsinin”.
Kata Al-Muhsinin dalam bahasa Arab berarti “ia yang berbuat baik” atau ia yang melakukan tambahan
Mazhab ini, seperti yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqihnya beranggapan dengan ujung ayat
tersebut, bahwa mut’ah itu hanya bagi mereka yang ingin berbuat baik saja. Artinya kewajibannya tidak
mencakup semua muslim, hanya bagi yang ingin menambah kebaikannya (pahala). (Bidayatul Mujtahid
Ini pendapat yang dianut oleh kebanyakan Mazhab fiqih; Hanafi, Sayafi’I dan hambali. Namun
kewajibannya tidak mutlak. Ya ini wajib bagi beberapa orang yang termasuk dalam kategori yang sudah
ditentukan. Artinya kalau ada lelaki yang menceraikan istrinya tetapi dia bukan termasuk dalam kategori
orang yang wajib bayar mut’ah (menurut masing-masing mazhab) maka tidak ada kewajiban baginya.
Dari segi kriteria seseorang yang wajib bayar mut’ah menurut 3 mazhab fiqih diatas juga berbeda-beda.
Menurut pendapat mazhab ini, yang wajib bayar mut’ah ialah hanya bagi lelaki yang
menceraikan istrinya dan mereka belum bersentuhan (berhubungan) layaknya suami istri. Dan si
mantan suami itu juga belum menentukan jumlah maharnya selama pernikahannya itu.
Sebenarnya mazhab syafi’I mempunyai dua riwayat pendapat dalam hal ini, pendapat pertama
ialah sama seperti apa yang dikatakan oleh mazhab hanafi. Sedang pendapat kedua inilah yang
pendapat yang masyhur dan yang banyak dipegang oleh Ulama mazhab ini
Mut’ah ini wajib bagi semua laki-laki yang menceraikan istrinya dan perceraian itu berasal
darinya laki-laki (bukan khulu’), kecuali ia yang menceraikan istrinya sedang ia belum menggaulinya
namun ia sudah menentukan maharnya. Artinya siapapun laki-laki yang menceraikan istrinya selama ia
bukan dalam keadaan yang disebutkan tadi, maka ia wajib membayar mut’ah. Dan pendapat ini,
menurut Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid, ialah pendapat yang banyak dipegang jumhur.
Agak berbeda dengan mazhab-mazhab sebelumnya, mazhab hambali justru mengatakan bahwa
dasar hukum mut’ah itu sunnah, sama seperti apa yang dikatakan oleh mazhab Imam maliki dan dalilnya
pun sama. Sedangkan mut’ah ini menjadi wajib hanya bagi mereka yang menceraikan istri-istri mereka
tetapi mereka belum menentukan mahar untuk istri-istri mereka tersebut. Karena menurut mazhab
Hambali, perempuan yang diceraikan itu terbagi menjadi 2 kelompok. Pertama: kelompok perempuan
yang maharnya sudah ditentukan, dan yang kedua ialah kelompok perempuan yang maharnya belum
Bagi yang sudah ditentukan, maka bagi mereka mahar-mahar yang sudah ditentukan itu. Sedang
bagi yang belum ditentukan, maka itulah jatah mut’ah bagi mereka. (Kisyaful-Qina’ 5/158)
Dasar perintah Mut’ah itu sendiri ialah firman Allah swt dalam surat Al-Baqarah ayat 236:
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum
kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu
berikan suatu mut´ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan
orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian
itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. “
Bukan hanya ayat tersebut, setidaknya ada 3 ayat yang menerangkan tentang hukum mut’ah itu
sendiri; pertama yaitu ayat 236 Al-Baqarah (diatas), kedua: ayat 241 Al-baqarah dan ketiga yaitu ayat 49
Dalam nash-nash syariah, tidak pernah disebutkan berapa besaran atau kisaran yang harus
dibayarkan oleh seorang mantan suami kepada mantan istrinya sebagai mut’ah. Semua tergantung atas
kemampuan mantan suami. Artinya semua bergantung atas kemampuan dan kesanggupan mantan
suami itu sendiri. Namun yang dipermasalahkan ialah ukuran apakah yang dipakai untuk menentukan
orang ini termasuk dalam kategori mampu atau tidak.
Para Ulama beranggapan bahwa kategori mampu itu tidak dalam satu level yang sama,
maksudnya ialah setiap daerah, setiap negara, setiap kampung punya takaran sendiri, dan punya
standarisasi sendiri kapan seseorang disebut mampu dan kapan seseorang itu disebut tidak mampu.
Artinya sesuai kondisi daerah masing-masing. Dan karena ini pula, para Ulama menyerahkan urusan ini
semua kepada Hakim setempat. Hakim inilah yang menentukan apakah ia termasuk yang mampu atau
bukan karena yang paling tahu kondisi daerah setempat ialah hakim tersebut. Tidak bisa kita
menanyakan standarisasi “mampu” untuk orang Indonesia kepada Hakim yang ada di Saudi sana, tentu
kondisi dan situasi masyarakatnya jauh berbeda.
Wednesday 2 October 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
mantabs ulasannya
ReplyDelete