Wednesday 2 October 2013

IHDAD (MASA BERKABUNG)

ihdad
ihdad

IHDAD (MASA BERKABUNG)

Hai sobat semua disini ada penjelasan tentang ihdad atau di sebut juga masa berkabung, ada beberapa definisi dan penjelasan tentang ihdda, para ulama banyak mendefinisikan tentang ihdad di antaranya adalah sebagai berikut.
Menurut  Abu  Yahya  Zakaria  al-Anshary,  ihdad  berasal  dari  kata  ahadda,  dan  kadang-
kadang  bisa  juga  disebut  al-hidad  yang  diambil  dari  kata  hadda.  Secara  etimologis  (lighawi)

ihdad berarti al-man’u (cegahan atau larangan). [6]Sedangkan menurut:



1.       Abdul  Mujeib  dkk,  ihdad  adalah  masa  berkabung  bagi  seorang  isteri  yang  ditinggal  mati

suaminya.  Maka  tersebut  adalah  4  bulan  10  hari  disertai  dengan  larangan-larangannya,  antara

lain: bercelak mata, berhias diri, keluar rumah, kecuali dalam keadaan terpaksa.[7]

2.       Sayyid  Abu  Bakar  al-Dimyathi.  Ihdad  adalah  menahan  diri  dari  bersolek  atau  berhias  pada

3.       Wahbah  al-zuhaili.  Ihdad  ialah  meninggalkan  harum-haruman,  perhiasan,  celak  mata,  dan

minyak  yang  mengharumkan  maupun  yang  tidak.  Tetapi  tidak  dilarang  memperindah  tempat

tidur,  karpet,  gorden,  dan  alat-alat  rumah tangganya.  Ia juga tidak  dilarang  duduk  di  atas  kain

4.       Pengertian  Syarak,  ihdad ialah meninggalkan pemakaian pakaian yang di celup warna yang

dimaksudkan untuk perhiasan, sekalipun pencelupan itu dilakukan sebelum kain tersebut

ditenun, atau kain itu menjadi kasar/ kesat (setelah dicelup).

Itu  lah  sebagian  pendapat-pendapat  tentang  pengertian  ihdad  dan  banyak  lagi  pengertian

lainnya yang pada intinya sama yaitu meninggalkan berdandan atau berhias diri.

Zainab binti Abu Salamah berkata, aku masuk kerumah Ummu Habibah, Isteri Nabi saw

ketika ayahnya, Abu Sufyan  bin Harb mennggal  dunia. Lalu Ummu Habibah meminta minyak

wangi  berwarna  kuning,  lalu  menyuruh  budaknya  untuk  mengoleskan  minyak  wangi  pada

ayahnya itu.  Kemudian  budak itu  mengoleskan  pada jambangnya.  Dan  selanjutnya ia  berkata,

“Demi Allah, bukan karena aku sudah tidak mempunyai hasrat pada wangi-wangian, hanya saja

aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, yang artinya “Tidak halal bagi seorang wanita

yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad terhadap mayat lebih dari tiga hari

kecuali bila yang meninggal itu suaminya, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari”.

Zainab  berkata,  kemudian  aku  masuk  menemui  Zainab  binti  Jahsy  ketika  saudaranya

meninggal  dunia.  Ia juga minta  diambilakan minyak wangi  dan  dikenakan  pada  badannya lalu

berkata  “Aku  sebenarnya  tidak  berkeinginan  terhadap  wewangian.  Hanya  saja  aku  pernah

mendengar Rasulullah Shallallahu  ‘alaihi wa sallam bersabda “Tidak halal bagi seorang wanita

yang  beriman  kepada Allah  dan  hari  akhir  untuk  berihdad terhadap mayat lebih  dari tiga  hari.

Kecuali bila yang meninggal itu suaminya, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari’.”

Zainab  melanjutkan  penjelasannya,  “Aku  pernah  mendengar  ibuku,  Ummu  Salamah

radhiyallahu  ‘anha,  berkata,  ‘Datang  seorang  wanita  menemui  Rasulullah  Shallallahu  ‘alaihi

wa  sallam.  Ia  berkata,  ‘Wahai  Rasulullah,  suami  putriku  telah  meninggal  dunia.  Sementara

putriku  mengeluhkan  rasa  sakit  pada  matanya.  Apakah  kami  boleh  memakaikan  celak  pada

matanya?’  ‘Tidak,’ jawab Rasulullah Shallallahu  ‘alaihi wa sallam sebanyak dua atau tiga kali.

Setelahnya beliau bersabda: “Masa ihdad itu hanyalah empat bulan sepuluh hari. Adapun dulu di

masa jahiliah salah seorang wanita dari kalian menjalani masa iddahnya selama satu tahun”.

Iddah  menurut  para  ulama  hukumnya  wajib.  Selama  ihdad  tidak  diperbolehkan

perhiasan, wangi-wangian, celak dan lain-lain yang ada unsur untuk memperindah diri.

1.                  Ihdad Bagi Istri Yang Ditinggal Suami

Berihdad  atas  kematian  suami  wajib  dijalani  seorang  istri  selama  empat  bulan  sepuluh

hari, sama dengan masa iddahnya. Sebagaimana firman Allah swt “Orang-orang yang meninggal

dunia  di  antara  kalian  dengan  meninggalkan  istri-istri  maka  hendaklah  para  istri  tersebut

menangguhkan dirinya (ber’iddah) selama empat bulan sepuluh hari….” (Al-Baqarah: 234)

2.                  Tidak ada Ihdad Bagi Ummu Walad

Ulama  sepakat  tidak  ada  ihdad  bagi  ummul  walad  (budak  perempuan  yang  telah

melahirkan  anak  untuk  tuannya),  tidak  pula  bagi  budak  perempuan  yang  tuannya  meninggal.

Karena mereka tidak berstatus istri dan si mayat bukan suami mereka.

3.                  Ihdad Bagi Wanita yang Di-Talak

Sedangkan  dalam  kitab  Syarh as-Sunnah. Jika  ia  dijatuhi  talak  Raj’i,  maka  tidak  ada

kewajiban baginya, tetapi hendaknya ia berbuat apa yang menjadi kecenderungan hati suaminya

supaya suaminya mau kembali lagi padanya. Sedangkan yang di jatuhi talak ba’in, maka terdapat

dua  pendapat,  yaitu  Pertama,  ia  wajib  ber-ihdad  sebagaimana  halnya  wanita  yang  ditinggal

suaminya.  Hal  ini  di  pegang  oleh  Abu  Hanifah.  Kedua,  tidak  ada  kewajiban  berihdad  karena

ihdad itu dilakukan karena kematian dan tidak untuk yang lainnya. Ihdad untuk selain kematian

suami ini sama sekali tidak pernah dikerjakan oleh kaum wanita pada masa Nabi saw dan masa

4.                  Tidak ada ihdad bagi wanta karier

Ihdad bagi fuqaha adalah sebagai ibadah maka diwajibkan atas wanita musliman dantidak

wajib bagi wanita karier menurut al-Qadhi (Ibnu Rusyd)

C.                HAL-HAL YANG DILARANG BAGI ORANG YANG BERIHDAD

Hadits  Nabi  saw  “seorang wanita tidak boleh berihdad karena kematian lebih dari

tiga hari, kecuali karena kemtian suami, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari.

Janganlah wanita itu memakai pakaian berwarna, kecuali baju lurik, jangan menggunakan

celak mata, dan memakai harum-haruman, janganlah memakai inai dan menyisir rambutkecuali

jika ia baru saja suci dari menstruasi, maka ia bolehlah mengambil sepotong kayu wangi.[8]

1.                  Tidak Boleh Bercelak secara Mutlak

radhiyallahu ‘anha yang artinya “Datang seorang wanita menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi

wa  sallam.  Ia  berkata,  ”Wahai  Rasulullah,  suami  putriku  telah  meninggal  dunia.  Sementara

putriku mengeluhkan  rasa sakit pada matanya. Apakah ia boleh mencelaki matanya?” ”Tidak,”

jawab Rasulullah  Shallallahu  ‘alaihi  wa  sallam  sebanyak  dua  atau tiga  kali.”  (HR.  Al-Bukhari

Zainab bintu Abu Salamah mengabarkan dari ibunya, Ummul Mukminin Ummu Salamah

Dan  diperbolehkan  memakai  delak  pada  malam  hari  sebagaimana  hadits  Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempatku ketika Abu Salamah wafat sementara aku

memakai shabr (jenis celak) pada kedua mataku. Beliau bertanya, “Apa yang kau pakai pada

matamu, wahai Ummu Salamah?” “Ini cuma shabr, wahai Rasulullah, tidak mengandung

wewangian,” jawabku. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Shabr itu membuat

warna wajah bercahaya/menyala, maka jangan engkau memakainya kecuali pada waktu malam

dan hilangkan di waktu siang. Jangan menyisir (mengolesi) rambutmu dengan minyak wangi

dan jangan pula memakai hina` (inai/daun pacar) karena hina` itu (berfungsi) sebagai semir

(mewarnai rambut dan kuku, –pent.).” Ummu Salamah berkata, “Kalau begitu dengan apa aku

meminyaki rambutku, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Daun sidr dapat engkau pakai

untuk memolesi rambutmu.” (HR. Abu Dawud no. 2305)

2.                  Tidak Boleh Berwangi-wangian

tidak  boleh  memakai  wewangian’  menunjukkan  haramnya  minyak  wangi  bagi  wanita  yang

sedang berihdad. Yang terlarang di sini adalah segala yang dinamakan wewangian dan tidak ada

perselisihan pendapat dalam hal ini.”

3.                  Tidak Boleh Mempercantik Diri dengan Bersolek

dan  tempat.  Sehingga  tidak  bisa  diberi  ketentuan  pakaian  yang  bentuknya  bagaimana  dan

penampilan bagaimana yang teranggap berhias. (Taisirul ‘Allam, 2/354)

4.                  Tidak Boleh Berpakaian yang Menarik / Dicelup agar Menjadi Indah

dikenakan  selama  ihdad,  walaupun  pakaian  tersebut  memiliki  model  atau  berwarna/bercorak.

Tapi bila dikatakan, “Ini pakaian untuk berhias”, berarti wajib dijauhi selama ihdad, baik pakaian

tersebut meliputi seluruh tubuh atau hanya untuk menutupi sebagiannya seperti celana panjang,

Al-Imam  Asy-Syaukani  rahimahullahu  berkata,  “Dari  ucapan  Ummu  ‘Athiyyah,  ‘Kami

Batasan berhias atau tidak berhias kembalinya kepada ’urf (adat kebiasaan) setiap zaman

Bila  dikatakan,  “Ini  pakaian  biasa”,  berarti  tidak  wajib  untuk  ditinggalkan,  boleh

5.                  Tidak Boleh Memakai Perhiasan

suaminya  tidak  boleh  mengenakan  perhiasan  sedikitpun  baik  berupa  cincin,  gelang  kaki  atau

yang selainnya.” (Al-Muwaththa`, 2/599)

Al-Imam Malik  rahimahullahu berkata, “Wanita yang  sedang berihdad karena kematian

Bila  si  wanita  dalam  keadaan  berperhiasan  saat  suaminya  meninggal  dunia  maka  ia

harus melepaskannya, seperti gelang dan anting-anting. Adapun bila ia memakai gigi emas (gigi

palsu dari emas) dan tidak mungkin dilepaskan maka tidak wajib baginya melepasnya, namun ia

upayakan untuk menyembunyikannya.

Dalam  Majmu’  Fatawa  (17/159),  Syaikhul  Islam  Ibnu  Taimiyah  rahimahullahu

menjelaskan  keharusan  wanita  yang  berihdad  untuk  tidak  berhias  dan  memakai  wewangian

pada tubuh serta pakaiannya. Ia harus berdiam dalam rumahnya, tidak boleh keluar di siang hari

kecuali ada kebutuhan dan tidak boleh pula keluar di waktu malam kecuali darurat. Ia tidak boleh

memakai perhiasan, tidak boleh mewarnai rambut dan kukunya dengan inai atau selainnya.

D.                YANG TIDAK TERLARANG BAGI WANITA YANG SEDANG BERIHDAD

Tidak  dilarang  baginya  untuk  memotong  kuku,  mencabut  rambut  ketiak,  mencukur

rambut  kemaluan,  mandi  dengan  daun  bidara,  atau  menyisir  rambut  karena  tujuannya  untuk

kebersihan  bukan  untuk  berwangi-wangi/berhias.  (Al-Mughni,  Kitab  Al-‘Idad,  Fashl  Ma

sDemikian pula mencium minyak wangi karena bila sekedar mencium tidaklah menempel

pada tubuh. Sehingga bila seorang wanita yang sedang berihdad ingin membeli minyak wangi,

tidak menjadi masalah bila ia menciumnya. (Asy-Syarhul Mumti’, 5/720)

Tidak diharamkan baginya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mubah dan dibolehkan

pula  baginya  berbicara  dengan  laki-laki  sesuai  keperluannya,  selama  ia  berhijab.  Demikianlah

Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan oleh para wanita dari kalangan

sahabat apabila suami-suami mereka meninggal. (Majmu’ Fatawa libni Taimiyah, 17/159)

E.                 HIKMAH IHDAD OLEH WANITA

Fadhilatusy  Syaikh  Muhammad  bin  Shalih  Al-‘Utsaimin  rahimahullahu  mengatakan,

“Hikmahnya  adalah  untuk  menghormati  hak  suami  dalam  masa  ‘iddah  karena  meninggalnya,

hingga tidak  ada  seorang  pun  yang  berkeinginan  untuk menikahi  si wanita  dalam masa  ‘iddah

Sebagaimana  Allah  subhanahu wata’ala  berfirman,  “Dan  suami-suami  mereka  paling

berhak  merujuki  mereka  dalam  masa  ’iddah  tersebut,  jika  mereka  menghendaki  ishlah.”  (Al-
Baqarah: 228)

F.                 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG IHDAD

Menjelaskan dalam BAB XIX, dalam Pasal 170, sebagai berikut:

1.       Istri  yang  ditingal  mati  suaminya,  wajib  melaksanakan  masa  berkabung  selama  masa  iddah

sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.

2.      Suami yang ditinggal istrinya, melakukan masa berkabung menurut keputusan.

REFERENSI

1.      M. Abdul Ghoffar, E.M, Fikih Keluarga, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2009).

2.      H. Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra).

3.      Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag., Fiqh Munakahat,  (Jakarta: AMZAH, 2011).

4.      Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CITRA UMBARA, 2007)

5.      Prof. Dr. H.M.A. Tihami, M.A., M.M  dan Drs.  Sohari  Sahrani, M.M., M.H., fikih munakahat

(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009)

6.      Drs. H. Abd. Rahman Ghazaly, M.A, fiqh munakahat (Jakarta: KENCANA:2006)

No comments:

Post a Comment