ihdad |
IHDAD (MASA BERKABUNG)
Menurut Abu Yahya Zakaria al-Anshary, ihdad berasal dari kata ahadda, dan kadang-
kadang bisa juga disebut al-hidad yang diambil dari kata hadda. Secara etimologis (lighawi)
ihdad berarti al-man’u (cegahan atau larangan). [6]Sedangkan menurut:
1. Abdul Mujeib dkk, ihdad adalah masa berkabung bagi seorang isteri yang ditinggal mati
suaminya. Maka tersebut adalah 4 bulan 10 hari disertai dengan larangan-larangannya, antara
lain: bercelak mata, berhias diri, keluar rumah, kecuali dalam keadaan terpaksa.[7]
2. Sayyid Abu Bakar al-Dimyathi. Ihdad adalah menahan diri dari bersolek atau berhias pada
3. Wahbah al-zuhaili. Ihdad ialah meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan
minyak yang mengharumkan maupun yang tidak. Tetapi tidak dilarang memperindah tempat
tidur, karpet, gorden, dan alat-alat rumah tangganya. Ia juga tidak dilarang duduk di atas kain
4. Pengertian Syarak, ihdad ialah meninggalkan pemakaian pakaian yang di celup warna yang
dimaksudkan untuk perhiasan, sekalipun pencelupan itu dilakukan sebelum kain tersebut
ditenun, atau kain itu menjadi kasar/ kesat (setelah dicelup).
Itu lah sebagian pendapat-pendapat tentang pengertian ihdad dan banyak lagi pengertian
lainnya yang pada intinya sama yaitu meninggalkan berdandan atau berhias diri.
Zainab binti Abu Salamah berkata, aku masuk kerumah Ummu Habibah, Isteri Nabi saw
ketika ayahnya, Abu Sufyan bin Harb mennggal dunia. Lalu Ummu Habibah meminta minyak
wangi berwarna kuning, lalu menyuruh budaknya untuk mengoleskan minyak wangi pada
ayahnya itu. Kemudian budak itu mengoleskan pada jambangnya. Dan selanjutnya ia berkata,
“Demi Allah, bukan karena aku sudah tidak mempunyai hasrat pada wangi-wangian, hanya saja
aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, yang artinya “Tidak halal bagi seorang wanita
yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad terhadap mayat lebih dari tiga hari
kecuali bila yang meninggal itu suaminya, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari”.
Zainab berkata, kemudian aku masuk menemui Zainab binti Jahsy ketika saudaranya
meninggal dunia. Ia juga minta diambilakan minyak wangi dan dikenakan pada badannya lalu
berkata “Aku sebenarnya tidak berkeinginan terhadap wewangian. Hanya saja aku pernah
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Tidak halal bagi seorang wanita
yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad terhadap mayat lebih dari tiga hari.
Kecuali bila yang meninggal itu suaminya, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari’.”
Zainab melanjutkan penjelasannya, “Aku pernah mendengar ibuku, Ummu Salamah
radhiyallahu ‘anha, berkata, ‘Datang seorang wanita menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, suami putriku telah meninggal dunia. Sementara
putriku mengeluhkan rasa sakit pada matanya. Apakah kami boleh memakaikan celak pada
matanya?’ ‘Tidak,’ jawab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak dua atau tiga kali.
Setelahnya beliau bersabda: “Masa ihdad itu hanyalah empat bulan sepuluh hari. Adapun dulu di
masa jahiliah salah seorang wanita dari kalian menjalani masa iddahnya selama satu tahun”.
Iddah menurut para ulama hukumnya wajib. Selama ihdad tidak diperbolehkan
perhiasan, wangi-wangian, celak dan lain-lain yang ada unsur untuk memperindah diri.
1. Ihdad Bagi Istri Yang Ditinggal Suami
Berihdad atas kematian suami wajib dijalani seorang istri selama empat bulan sepuluh
hari, sama dengan masa iddahnya. Sebagaimana firman Allah swt “Orang-orang yang meninggal
dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri maka hendaklah para istri tersebut
menangguhkan dirinya (ber’iddah) selama empat bulan sepuluh hari….” (Al-Baqarah: 234)
2. Tidak ada Ihdad Bagi Ummu Walad
Ulama sepakat tidak ada ihdad bagi ummul walad (budak perempuan yang telah
melahirkan anak untuk tuannya), tidak pula bagi budak perempuan yang tuannya meninggal.
Karena mereka tidak berstatus istri dan si mayat bukan suami mereka.
3. Ihdad Bagi Wanita yang Di-Talak
Sedangkan dalam kitab Syarh as-Sunnah. Jika ia dijatuhi talak Raj’i, maka tidak ada
kewajiban baginya, tetapi hendaknya ia berbuat apa yang menjadi kecenderungan hati suaminya
supaya suaminya mau kembali lagi padanya. Sedangkan yang di jatuhi talak ba’in, maka terdapat
dua pendapat, yaitu Pertama, ia wajib ber-ihdad sebagaimana halnya wanita yang ditinggal
suaminya. Hal ini di pegang oleh Abu Hanifah. Kedua, tidak ada kewajiban berihdad karena
ihdad itu dilakukan karena kematian dan tidak untuk yang lainnya. Ihdad untuk selain kematian
suami ini sama sekali tidak pernah dikerjakan oleh kaum wanita pada masa Nabi saw dan masa
4. Tidak ada ihdad bagi wanta karier
Ihdad bagi fuqaha adalah sebagai ibadah maka diwajibkan atas wanita musliman dantidak
wajib bagi wanita karier menurut al-Qadhi (Ibnu Rusyd)
C. HAL-HAL YANG DILARANG BAGI ORANG YANG BERIHDAD
Hadits Nabi saw “seorang wanita tidak boleh berihdad karena kematian lebih dari
tiga hari, kecuali karena kemtian suami, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari.
Janganlah wanita itu memakai pakaian berwarna, kecuali baju lurik, jangan menggunakan
celak mata, dan memakai harum-haruman, janganlah memakai inai dan menyisir rambutkecuali
jika ia baru saja suci dari menstruasi, maka ia bolehlah mengambil sepotong kayu wangi.[8]
1. Tidak Boleh Bercelak secara Mutlak
radhiyallahu ‘anha yang artinya “Datang seorang wanita menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Ia berkata, ”Wahai Rasulullah, suami putriku telah meninggal dunia. Sementara
putriku mengeluhkan rasa sakit pada matanya. Apakah ia boleh mencelaki matanya?” ”Tidak,”
jawab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak dua atau tiga kali.” (HR. Al-Bukhari
Zainab bintu Abu Salamah mengabarkan dari ibunya, Ummul Mukminin Ummu Salamah
Dan diperbolehkan memakai delak pada malam hari sebagaimana hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempatku ketika Abu Salamah wafat sementara aku
memakai shabr (jenis celak) pada kedua mataku. Beliau bertanya, “Apa yang kau pakai pada
matamu, wahai Ummu Salamah?” “Ini cuma shabr, wahai Rasulullah, tidak mengandung
wewangian,” jawabku. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Shabr itu membuat
warna wajah bercahaya/menyala, maka jangan engkau memakainya kecuali pada waktu malam
dan hilangkan di waktu siang. Jangan menyisir (mengolesi) rambutmu dengan minyak wangi
dan jangan pula memakai hina` (inai/daun pacar) karena hina` itu (berfungsi) sebagai semir
(mewarnai rambut dan kuku, –pent.).” Ummu Salamah berkata, “Kalau begitu dengan apa aku
meminyaki rambutku, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Daun sidr dapat engkau pakai
untuk memolesi rambutmu.” (HR. Abu Dawud no. 2305)
2. Tidak Boleh Berwangi-wangian
tidak boleh memakai wewangian’ menunjukkan haramnya minyak wangi bagi wanita yang
sedang berihdad. Yang terlarang di sini adalah segala yang dinamakan wewangian dan tidak ada
perselisihan pendapat dalam hal ini.”
3. Tidak Boleh Mempercantik Diri dengan Bersolek
dan tempat. Sehingga tidak bisa diberi ketentuan pakaian yang bentuknya bagaimana dan
penampilan bagaimana yang teranggap berhias. (Taisirul ‘Allam, 2/354)
4. Tidak Boleh Berpakaian yang Menarik / Dicelup agar Menjadi Indah
dikenakan selama ihdad, walaupun pakaian tersebut memiliki model atau berwarna/bercorak.
Tapi bila dikatakan, “Ini pakaian untuk berhias”, berarti wajib dijauhi selama ihdad, baik pakaian
tersebut meliputi seluruh tubuh atau hanya untuk menutupi sebagiannya seperti celana panjang,
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata, “Dari ucapan Ummu ‘Athiyyah, ‘Kami
Batasan berhias atau tidak berhias kembalinya kepada ’urf (adat kebiasaan) setiap zaman
Bila dikatakan, “Ini pakaian biasa”, berarti tidak wajib untuk ditinggalkan, boleh
5. Tidak Boleh Memakai Perhiasan
suaminya tidak boleh mengenakan perhiasan sedikitpun baik berupa cincin, gelang kaki atau
yang selainnya.” (Al-Muwaththa`, 2/599)
Al-Imam Malik rahimahullahu berkata, “Wanita yang sedang berihdad karena kematian
Bila si wanita dalam keadaan berperhiasan saat suaminya meninggal dunia maka ia
harus melepaskannya, seperti gelang dan anting-anting. Adapun bila ia memakai gigi emas (gigi
palsu dari emas) dan tidak mungkin dilepaskan maka tidak wajib baginya melepasnya, namun ia
upayakan untuk menyembunyikannya.
Dalam Majmu’ Fatawa (17/159), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu
menjelaskan keharusan wanita yang berihdad untuk tidak berhias dan memakai wewangian
pada tubuh serta pakaiannya. Ia harus berdiam dalam rumahnya, tidak boleh keluar di siang hari
kecuali ada kebutuhan dan tidak boleh pula keluar di waktu malam kecuali darurat. Ia tidak boleh
memakai perhiasan, tidak boleh mewarnai rambut dan kukunya dengan inai atau selainnya.
D. YANG TIDAK TERLARANG BAGI WANITA YANG SEDANG BERIHDAD
Tidak dilarang baginya untuk memotong kuku, mencabut rambut ketiak, mencukur
rambut kemaluan, mandi dengan daun bidara, atau menyisir rambut karena tujuannya untuk
kebersihan bukan untuk berwangi-wangi/berhias. (Al-Mughni, Kitab Al-‘Idad, Fashl Ma
sDemikian pula mencium minyak wangi karena bila sekedar mencium tidaklah menempel
pada tubuh. Sehingga bila seorang wanita yang sedang berihdad ingin membeli minyak wangi,
tidak menjadi masalah bila ia menciumnya. (Asy-Syarhul Mumti’, 5/720)
Tidak diharamkan baginya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mubah dan dibolehkan
pula baginya berbicara dengan laki-laki sesuai keperluannya, selama ia berhijab. Demikianlah
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan oleh para wanita dari kalangan
sahabat apabila suami-suami mereka meninggal. (Majmu’ Fatawa libni Taimiyah, 17/159)
E. HIKMAH IHDAD OLEH WANITA
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu mengatakan,
“Hikmahnya adalah untuk menghormati hak suami dalam masa ‘iddah karena meninggalnya,
hingga tidak ada seorang pun yang berkeinginan untuk menikahi si wanita dalam masa ‘iddah
Sebagaimana Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Dan suami-suami mereka paling
berhak merujuki mereka dalam masa ’iddah tersebut, jika mereka menghendaki ishlah.” (Al-
Baqarah: 228)
F. KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG IHDAD
Menjelaskan dalam BAB XIX, dalam Pasal 170, sebagai berikut:
1. Istri yang ditingal mati suaminya, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah
sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.
2. Suami yang ditinggal istrinya, melakukan masa berkabung menurut keputusan.
REFERENSI
1. M. Abdul Ghoffar, E.M, Fikih Keluarga, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2009).
2. H. Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra).
3. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag., Fiqh Munakahat, (Jakarta: AMZAH, 2011).
4. Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CITRA UMBARA, 2007)
5. Prof. Dr. H.M.A. Tihami, M.A., M.M dan Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H., fikih munakahat
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009)
6. Drs. H. Abd. Rahman Ghazaly, M.A, fiqh munakahat (Jakarta: KENCANA:2006)
No comments:
Post a Comment