Friday 18 October 2013

Rujuk, idah, mutah dan ihdad

Gudang Ilmu Syariah
Gudang Ilmu Syariah

Rujuk

1. Pengertian Ruju
     Yang di maksud dengan Ruju' atau rij'ah ialah: mengembalikan setatus hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak raj'i yang di lakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa iddah  , dengan ucapan tertentu

 hak mantan suami merujuk bekas istrinya yang di talak raj'i diatur  berdasarkan firman Allah SWT:

                                               وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ 

Artinya:
         Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.



2.Hukum Ruju

  1. Wajib, yaitu apabila suami yang menalak salah seorang istrinya sebelum iya sempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang di talak.
  2. Sunah, yatiu apabila ruju lebih bermamfaat di banding dengan tidak ruju' atau bila terkandung niat untuk memperbaiki keadaan bekas istrinya.
  3. haram, yaitu apabila dalam ruju itu terkandung niat menyakiti bekas istrinya
  4. Makruh, yaitu apabila perceraian itu lebih baik dari pada ruju'
  5. Mubah, yaitu asal hukum ruju'
3.Rukun dan Syarat Ruju
  • Istri, dengan syarat:

  1. Sudah pernah di campuri oleh suaminya
  2. dalam keadaan talak raji
  3. masih dalam masa iddah
  • Suami, dengan syarat:
  1. Baligh
  2. Berakal
  • Atas kemauan sendiri,tidak di paksa
  • Sighat, ada dua macam:
  1. Terang - terangan seperti perkataan bekas suami kepada bekas istrinya, "saya ruju kepada mu". Ucapan itu tidak di syaratkan dengan niat.
  2. sindiran , seperti perkataan bekas suami kepada bekas istrinya "saya pegan engkau"
4. Hikmah Ruju:
  1. Sebagai sarana untuk mempertimbangkan kembali atas perceraian yang di lakukan, apakah perceraian tersebut di sebabkan oleh emosi atau semata - mata karena kemaslahatan.
  2. Sebagai sarana untuk lebih mempertanggung jawabkan anak - anak mereka secara bersama - sama .
  3. Sebagai sarana untuk menjalin kembali pasangan suami istri yang bercerai, sehingga pasangan tersebut lebih berhati - hati dan saling menghargai.
  4. Ruju berarti termasuk perbuatan menjunjung tinggi masalah perkawinan.

Iddah,



A.Definisi Iddah.
            Iddah berasal dari kata ‘adad yang berarti menhgitung. Maksudnya, perempuan(istri) menghitung hari – harinya dan masa bersihnya.
            Iddah dalam istilah agama menjadi nama bagi masa lamanya perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya  atau setelah pisah dari suaminya atau setelah pisah dari suaminya.
            Dan para ulama bersepakat bahwa iddah itu wajib hukumnya karena Allah ber-firman
                                                                                           وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ
 Artinya:
            Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru

B.Hikmah Adanya Iddah.

1.Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan sehingga tidak tercampur antara keturunan seseorang dan yang lain.

2.Memberi kesempatan kepada suami – istri yang berpisah untuk kembali kepada kehidupan semula jika mereka mengangap hal tersebut baik.

3. Menjunjung tinggi masalah perkawinan, yaitu agar dapat menghimpun orang – orang yang arif untuk mengkaji masalahnya dan memberikan tempo berpikir panjang.

4.  wanita harus menjaga iddah adalah bahwa apabila wanita segera menikah setelah suaminya meninggal maka hal ini tidak sesuai dengan kecintaan dan penghormatan kepada suami sebelumnya. Di samping itu, akan menciderai perasaan sanak kerabat suami sebelumnya. Menjaga kehormatan kehidupan rumah tangga bahkan pasca kematian suami merupakan suatu hal yang fitri dan karena itu senantiasa terdapat adab dan tradisi pada setiap suku yang dimaksudkan untuk keperluan seperti ini.

C.Macam – Macam Iddah.
     Iddah ada beberapa macam
.
  • 1.      Iddah isti yang berhaid, yaitu tiga kali haid.
  • 2.      Iddah istir yang menopause, yaitu tiga bulan.
  • 3.      Iddah istri yang kematian suami, yaitu empat bulan sepuluh hari.
  • 4.      Iddah istri hamil, yaitu sampai melahirkan.
D.Iddah istri yang belum disetubuhi.
     Istri yang di talak, tapi belum pernah di setubuhi,tidak wajib ber-iddah
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ´iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut´ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya. 

dan jika istri yang belum pernah di setubuhi itu di tinggal mati suaminya, ia harus beriddah seperti iddah nya istri yang pernah di setubuhi. 

IHDAD (MASA BERKABUNG)

Menurut  Abu  Yahya  Zakaria  al-Anshary,  ihdad  berasal  dari  kata  ahadda,  dan  kadang-
kadang  bisa  juga  disebut  al-hidad  yang  diambil  dari  kata  hadda.  Secara  etimologis  (lighawi)

ihdad berarti al-man’u (cegahan atau larangan). [6]Sedangkan menurut:



1.       Abdul  Mujeib  dkk,  ihdad  adalah  masa  berkabung  bagi  seorang  isteri  yang  ditinggal  mati

suaminya.  Maka  tersebut  adalah  4  bulan  10  hari  disertai  dengan  larangan-larangannya,  antara

lain: bercelak mata, berhias diri, keluar rumah, kecuali dalam keadaan terpaksa.[7]

2.       Sayyid  Abu  Bakar  al-Dimyathi.  Ihdad  adalah  menahan  diri  dari  bersolek  atau  berhias  pada

3.       Wahbah  al-zuhaili.  Ihdad  ialah  meninggalkan  harum-haruman,  perhiasan,  celak  mata,  dan

minyak  yang  mengharumkan  maupun  yang  tidak.  Tetapi  tidak  dilarang  memperindah  tempat

tidur,  karpet,  gorden,  dan  alat-alat  rumah tangganya.  Ia juga tidak  dilarang  duduk  di  atas  kain

4.       Pengertian  Syarak,  ihdad ialah meninggalkan pemakaian pakaian yang di celup warna yang

dimaksudkan untuk perhiasan, sekalipun pencelupan itu dilakukan sebelum kain tersebut

ditenun, atau kain itu menjadi kasar/ kesat (setelah dicelup).

Itu  lah  sebagian  pendapat-pendapat  tentang  pengertian  ihdad  dan  banyak  lagi  pengertian

lainnya yang pada intinya sama yaitu meninggalkan berdandan atau berhias diri.

Zainab binti Abu Salamah berkata, aku masuk kerumah Ummu Habibah, Isteri Nabi saw

ketika ayahnya, Abu Sufyan  bin Harb mennggal  dunia. Lalu Ummu Habibah meminta minyak

wangi  berwarna  kuning,  lalu  menyuruh  budaknya  untuk  mengoleskan  minyak  wangi  pada

ayahnya itu.  Kemudian  budak itu  mengoleskan  pada jambangnya.  Dan  selanjutnya ia  berkata,

“Demi Allah, bukan karena aku sudah tidak mempunyai hasrat pada wangi-wangian, hanya saja

aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, yang artinya “Tidak halal bagi seorang wanita

yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad terhadap mayat lebih dari tiga hari

kecuali bila yang meninggal itu suaminya, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari”.

Zainab  berkata,  kemudian  aku  masuk  menemui  Zainab  binti  Jahsy  ketika  saudaranya

meninggal  dunia.  Ia juga minta  diambilakan minyak wangi  dan  dikenakan  pada  badannya lalu

berkata  “Aku  sebenarnya  tidak  berkeinginan  terhadap  wewangian.  Hanya  saja  aku  pernah

mendengar Rasulullah Shallallahu  ‘alaihi wa sallam bersabda “Tidak halal bagi seorang wanita

yang  beriman  kepada Allah  dan  hari  akhir  untuk  berihdad terhadap mayat lebih  dari tiga  hari.

Kecuali bila yang meninggal itu suaminya, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari’.”

Zainab  melanjutkan  penjelasannya,  “Aku  pernah  mendengar  ibuku,  Ummu  Salamah

radhiyallahu  ‘anha,  berkata,  ‘Datang  seorang  wanita  menemui  Rasulullah  Shallallahu  ‘alaihi

wa  sallam.  Ia  berkata,  ‘Wahai  Rasulullah,  suami  putriku  telah  meninggal  dunia.  Sementara

putriku  mengeluhkan  rasa  sakit  pada  matanya.  Apakah  kami  boleh  memakaikan  celak  pada

matanya?’  ‘Tidak,’ jawab Rasulullah Shallallahu  ‘alaihi wa sallam sebanyak dua atau tiga kali.

Setelahnya beliau bersabda: “Masa ihdad itu hanyalah empat bulan sepuluh hari. Adapun dulu di

masa jahiliah salah seorang wanita dari kalian menjalani masa iddahnya selama satu tahun”.

Iddah  menurut  para  ulama  hukumnya  wajib.  Selama  ihdad  tidak  diperbolehkan

perhiasan, wangi-wangian, celak dan lain-lain yang ada unsur untuk memperindah diri.

1.                  Ihdad Bagi Istri Yang Ditinggal Suami

Berihdad  atas  kematian  suami  wajib  dijalani  seorang  istri  selama  empat  bulan  sepuluh

hari, sama dengan masa iddahnya. Sebagaimana firman Allah swt “Orang-orang yang meninggal

dunia  di  antara  kalian  dengan  meninggalkan  istri-istri  maka  hendaklah  para  istri  tersebut

menangguhkan dirinya (ber’iddah) selama empat bulan sepuluh hari….” (Al-Baqarah: 234)

2.                  Tidak ada Ihdad Bagi Ummu Walad

Ulama  sepakat  tidak  ada  ihdad  bagi  ummul  walad  (budak  perempuan  yang  telah

melahirkan  anak  untuk  tuannya),  tidak  pula  bagi  budak  perempuan  yang  tuannya  meninggal.

Karena mereka tidak berstatus istri dan si mayat bukan suami mereka.

3.                  Ihdad Bagi Wanita yang Di-Talak

Sedangkan  dalam  kitab  Syarh as-Sunnah. Jika  ia  dijatuhi  talak  Raj’i,  maka  tidak  ada

kewajiban baginya, tetapi hendaknya ia berbuat apa yang menjadi kecenderungan hati suaminya

supaya suaminya mau kembali lagi padanya. Sedangkan yang di jatuhi talak ba’in, maka terdapat

dua  pendapat,  yaitu  Pertama,  ia  wajib  ber-ihdad  sebagaimana  halnya  wanita  yang  ditinggal

suaminya.  Hal  ini  di  pegang  oleh  Abu  Hanifah.  Kedua,  tidak  ada  kewajiban  berihdad  karena

ihdad itu dilakukan karena kematian dan tidak untuk yang lainnya. Ihdad untuk selain kematian

suami ini sama sekali tidak pernah dikerjakan oleh kaum wanita pada masa Nabi saw dan masa

4.                  Tidak ada ihdad bagi wanta karier

Ihdad bagi fuqaha adalah sebagai ibadah maka diwajibkan atas wanita musliman dantidak

wajib bagi wanita karier menurut al-Qadhi (Ibnu Rusyd)

C.                HAL-HAL YANG DILARANG BAGI ORANG YANG BERIHDAD

Hadits  Nabi  saw  “seorang wanita tidak boleh berihdad karena kematian lebih dari

tiga hari, kecuali karena kemtian suami, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari.

Janganlah wanita itu memakai pakaian berwarna, kecuali baju lurik, jangan menggunakan

celak mata, dan memakai harum-haruman, janganlah memakai inai dan menyisir rambutkecuali

jika ia baru saja suci dari menstruasi, maka ia bolehlah mengambil sepotong kayu wangi.[8]

1.                  Tidak Boleh Bercelak secara Mutlak

radhiyallahu ‘anha yang artinya “Datang seorang wanita menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi

wa  sallam.  Ia  berkata,  ”Wahai  Rasulullah,  suami  putriku  telah  meninggal  dunia.  Sementara

putriku mengeluhkan  rasa sakit pada matanya. Apakah ia boleh mencelaki matanya?” ”Tidak,”

jawab Rasulullah  Shallallahu  ‘alaihi  wa  sallam  sebanyak  dua  atau tiga  kali.”  (HR.  Al-Bukhari

Zainab bintu Abu Salamah mengabarkan dari ibunya, Ummul Mukminin Ummu Salamah

Dan  diperbolehkan  memakai  delak  pada  malam  hari  sebagaimana  hadits  Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempatku ketika Abu Salamah wafat sementara aku

memakai shabr (jenis celak) pada kedua mataku. Beliau bertanya, “Apa yang kau pakai pada

matamu, wahai Ummu Salamah?” “Ini cuma shabr, wahai Rasulullah, tidak mengandung

wewangian,” jawabku. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Shabr itu membuat

warna wajah bercahaya/menyala, maka jangan engkau memakainya kecuali pada waktu malam

dan hilangkan di waktu siang. Jangan menyisir (mengolesi) rambutmu dengan minyak wangi

dan jangan pula memakai hina` (inai/daun pacar) karena hina` itu (berfungsi) sebagai semir

(mewarnai rambut dan kuku, –pent.).” Ummu Salamah berkata, “Kalau begitu dengan apa aku

meminyaki rambutku, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Daun sidr dapat engkau pakai

untuk memolesi rambutmu.” (HR. Abu Dawud no. 2305)

2.                  Tidak Boleh Berwangi-wangian

tidak  boleh  memakai  wewangian’  menunjukkan  haramnya  minyak  wangi  bagi  wanita  yang

sedang berihdad. Yang terlarang di sini adalah segala yang dinamakan wewangian dan tidak ada

perselisihan pendapat dalam hal ini.”

3.                  Tidak Boleh Mempercantik Diri dengan Bersolek

dan  tempat.  Sehingga  tidak  bisa  diberi  ketentuan  pakaian  yang  bentuknya  bagaimana  dan

penampilan bagaimana yang teranggap berhias. (Taisirul ‘Allam, 2/354)

4.                  Tidak Boleh Berpakaian yang Menarik / Dicelup agar Menjadi Indah

dikenakan  selama  ihdad,  walaupun  pakaian  tersebut  memiliki  model  atau  berwarna/bercorak.

Tapi bila dikatakan, “Ini pakaian untuk berhias”, berarti wajib dijauhi selama ihdad, baik pakaian

tersebut meliputi seluruh tubuh atau hanya untuk menutupi sebagiannya seperti celana panjang,

Al-Imam  Asy-Syaukani  rahimahullahu  berkata,  “Dari  ucapan  Ummu  ‘Athiyyah,  ‘Kami

Batasan berhias atau tidak berhias kembalinya kepada ’urf (adat kebiasaan) setiap zaman

Bila  dikatakan,  “Ini  pakaian  biasa”,  berarti  tidak  wajib  untuk  ditinggalkan,  boleh

5.                  Tidak Boleh Memakai Perhiasan

suaminya  tidak  boleh  mengenakan  perhiasan  sedikitpun  baik  berupa  cincin,  gelang  kaki  atau

yang selainnya.” (Al-Muwaththa`, 2/599)

Al-Imam Malik  rahimahullahu berkata, “Wanita yang  sedang berihdad karena kematian

Bila  si  wanita  dalam  keadaan  berperhiasan  saat  suaminya  meninggal  dunia  maka  ia

harus melepaskannya, seperti gelang dan anting-anting. Adapun bila ia memakai gigi emas (gigi

palsu dari emas) dan tidak mungkin dilepaskan maka tidak wajib baginya melepasnya, namun ia

upayakan untuk menyembunyikannya.

Dalam  Majmu’  Fatawa  (17/159),  Syaikhul  Islam  Ibnu  Taimiyah  rahimahullahu

menjelaskan  keharusan  wanita  yang  berihdad  untuk  tidak  berhias  dan  memakai  wewangian

pada tubuh serta pakaiannya. Ia harus berdiam dalam rumahnya, tidak boleh keluar di siang hari

kecuali ada kebutuhan dan tidak boleh pula keluar di waktu malam kecuali darurat. Ia tidak boleh

memakai perhiasan, tidak boleh mewarnai rambut dan kukunya dengan inai atau selainnya.

D.                YANG TIDAK TERLARANG BAGI WANITA YANG SEDANG BERIHDAD

Tidak  dilarang  baginya  untuk  memotong  kuku,  mencabut  rambut  ketiak,  mencukur

rambut  kemaluan,  mandi  dengan  daun  bidara,  atau  menyisir  rambut  karena  tujuannya  untuk

kebersihan  bukan  untuk  berwangi-wangi/berhias.  (Al-Mughni,  Kitab  Al-‘Idad,  Fashl  Ma

sDemikian pula mencium minyak wangi karena bila sekedar mencium tidaklah menempel

pada tubuh. Sehingga bila seorang wanita yang sedang berihdad ingin membeli minyak wangi,

tidak menjadi masalah bila ia menciumnya. (Asy-Syarhul Mumti’, 5/720)

Tidak diharamkan baginya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mubah dan dibolehkan

pula  baginya  berbicara  dengan  laki-laki  sesuai  keperluannya,  selama  ia  berhijab.  Demikianlah

Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan oleh para wanita dari kalangan

sahabat apabila suami-suami mereka meninggal. (Majmu’ Fatawa libni Taimiyah, 17/159)

E.                 HIKMAH IHDAD OLEH WANITA

Fadhilatusy  Syaikh  Muhammad  bin  Shalih  Al-‘Utsaimin  rahimahullahu  mengatakan,

“Hikmahnya  adalah  untuk  menghormati  hak  suami  dalam  masa  ‘iddah  karena  meninggalnya,

hingga tidak  ada  seorang  pun  yang  berkeinginan  untuk menikahi  si wanita  dalam masa  ‘iddah

Sebagaimana  Allah  subhanahu wata’ala  berfirman,  “Dan  suami-suami  mereka  paling

berhak  merujuki  mereka  dalam  masa  ’iddah  tersebut,  jika  mereka  menghendaki  ishlah.”  (Al-
Baqarah: 228)

F.                 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG IHDAD

Menjelaskan dalam BAB XIX, dalam Pasal 170, sebagai berikut:

1.       Istri  yang  ditingal  mati  suaminya,  wajib  melaksanakan  masa  berkabung  selama  masa  iddah

sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.

2.      Suami yang ditinggal istrinya, melakukan masa berkabung menurut keputusan.

REFERENSI

1.      M. Abdul Ghoffar, E.M, Fikih Keluarga, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2009).

2.      H. Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra).

3.      Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag., Fiqh Munakahat,  (Jakarta: AMZAH, 2011).

4.      Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CITRA UMBARA, 2007)

5.      Prof. Dr. H.M.A. Tihami, M.A., M.M  dan Drs.  Sohari  Sahrani, M.M., M.H., fikih munakahat

(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009)

6.      Drs. H. Abd. Rahman Ghazaly, M.A, fiqh munakahat (Jakarta: KENCANA:2006)


MUT’AH

Mut'ah dalam bahasa arab berarti sukacita, kesenangan, kepatuhan, pemenuhan atau

kenikmatan. Mut’ah mempunyai arti lain sebagaimana ia digunakan. Contohnya dalam sebuah

sumpah, mut’ah mengandung arti kepatuhan atau pemenuhan dan dalam hal perkawinan

berarti kebahagiaan atau sukacita sementara itu di dalam ibadah haji berarti santai.

Istilah mut’ah dalam sebuah pernikahan tidak hanya mempunyai satu makna, namun




memiliki beberapa makna contohnya yang pertama ialah nikah mut’ah yaitu menikah dengan

batasan waktu, atau sebutan yang lebih akrab dengan telinga kita ialah “kawin kontrak”. Para

ulama di dunia mengaharamkan nikah mut’ah ini kecuali para ulama di Syiah. Selain itu mut’ah

juga memiliki makna lain dan masih berada dalam permasalahan pernikahan tetapi di dalam

bab yang berbeda. Nikah mut’ah haram hukumnya, tetapi yang satu ini sebaliknya wajib

Mut’ah yang dimaksud ialah mut’ah talak, dinamakan mut’ah talak, karena ia terjadi

pada saat ada talak. Yang dimaksud dengan mut’ah talak ialah sejumlah harta yang diberikan

oleh mantan suami kepada mantan istri sebagai bekal sepeninggal suami. Kalau secara bahasa,

mut’ah itu sendiri artinya “kesenangan”, memang mut’ah itu sendiri dibayarkan oleh mantan

suami sebagai “penggembira” atau “penghibur” bagi mantan istri yang ditinggal suami karena

perceraian. Mut’ah yang diberikan ialah berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla

Mengenani hukum mut’ah talak terdapat berbagai pendapat, ada yang mewajibkan da nada

Dalam hukum mut’ah ini Para ulama terbagi menjadi 2 kubu besar dalam masalah hukum

Artinya bahwa hukum mut’ah ini sebenarnya tidak wajib dan boleh ditinggalkan. Mampu atau

tidak mampu mantan suami itu, ia boleh tidak memberikan mut’ah kepada mantan istrinya. Pendapat

Mazhab ini berpendapat atas kesunnahan mut’ah itu berdasarkan ayat yang telah disebutkan di

atas tadi. Perintahnya memang jelas, yaitu perintah untuk mut’ah, tetapi di akhir ayat Allah swt

menerangkan kalau itu ialah “kewajiban bagi mereka yang berbuat baik”, “Haqqon ‘Ala Al-Muhsinin”.

Kata Al-Muhsinin dalam bahasa Arab berarti “ia yang berbuat baik” atau ia yang melakukan tambahan

Mazhab ini, seperti yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqihnya beranggapan dengan ujung ayat

tersebut, bahwa mut’ah itu hanya bagi mereka yang ingin berbuat baik saja. Artinya kewajibannya tidak

mencakup semua muslim, hanya bagi yang ingin menambah kebaikannya (pahala). (Bidayatul Mujtahid

Ini pendapat yang dianut oleh kebanyakan Mazhab fiqih; Hanafi, Sayafi’I dan hambali. Namun

kewajibannya tidak mutlak. Ya ini wajib bagi beberapa orang yang termasuk dalam kategori yang sudah

ditentukan. Artinya kalau ada lelaki yang menceraikan istrinya tetapi dia bukan termasuk dalam kategori

orang yang wajib bayar mut’ah (menurut masing-masing mazhab) maka tidak ada kewajiban baginya.

Dari segi kriteria seseorang yang wajib bayar mut’ah menurut 3 mazhab fiqih diatas juga berbeda-beda.

Menurut pendapat mazhab ini, yang wajib bayar mut’ah ialah hanya bagi lelaki yang

menceraikan istrinya dan mereka belum bersentuhan (berhubungan) layaknya suami istri. Dan si

mantan suami itu juga belum menentukan jumlah maharnya selama pernikahannya itu.

Sebenarnya mazhab syafi’I mempunyai dua riwayat pendapat dalam hal ini, pendapat pertama

ialah sama seperti apa yang dikatakan oleh mazhab hanafi. Sedang pendapat kedua inilah yang

pendapat yang masyhur dan yang banyak dipegang oleh Ulama mazhab ini

Mut’ah ini wajib bagi semua laki-laki yang menceraikan istrinya dan perceraian itu berasal

darinya laki-laki (bukan khulu’), kecuali ia yang menceraikan istrinya sedang ia belum menggaulinya

namun ia sudah menentukan maharnya. Artinya siapapun laki-laki yang menceraikan istrinya selama ia

bukan dalam keadaan yang disebutkan tadi, maka ia wajib membayar mut’ah. Dan pendapat ini,

menurut Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid, ialah pendapat yang banyak dipegang jumhur.

Agak berbeda dengan mazhab-mazhab sebelumnya, mazhab hambali justru mengatakan bahwa

dasar hukum mut’ah itu sunnah, sama seperti apa yang dikatakan oleh mazhab Imam maliki dan dalilnya

pun sama. Sedangkan mut’ah ini menjadi wajib hanya bagi mereka yang menceraikan istri-istri mereka

tetapi mereka belum menentukan mahar untuk istri-istri mereka tersebut. Karena menurut mazhab

Hambali, perempuan yang diceraikan itu terbagi menjadi 2 kelompok. Pertama: kelompok perempuan

yang maharnya sudah ditentukan, dan yang kedua ialah kelompok perempuan yang maharnya belum

Bagi yang sudah ditentukan, maka bagi mereka mahar-mahar yang sudah ditentukan itu. Sedang

bagi yang belum ditentukan, maka itulah jatah mut’ah bagi mereka. (Kisyaful-Qina’ 5/158)

Dasar perintah Mut’ah itu sendiri ialah firman Allah swt dalam surat Al-Baqarah ayat 236:

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum

kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu

berikan suatu mut´ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan

orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian

itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. “

Bukan hanya ayat tersebut, setidaknya ada 3 ayat yang menerangkan tentang hukum mut’ah itu

sendiri; pertama yaitu ayat 236 Al-Baqarah (diatas), kedua: ayat 241 Al-baqarah dan ketiga yaitu ayat 49

Dalam nash-nash syariah, tidak pernah disebutkan berapa besaran atau kisaran yang harus

dibayarkan oleh seorang mantan suami kepada mantan istrinya sebagai mut’ah. Semua tergantung atas

kemampuan mantan suami. Artinya semua bergantung atas kemampuan dan kesanggupan mantan

suami itu sendiri. Namun yang dipermasalahkan ialah ukuran apakah yang dipakai untuk menentukan

orang ini termasuk dalam kategori mampu atau tidak.

Para Ulama beranggapan bahwa kategori mampu itu tidak dalam satu level yang sama,

maksudnya ialah setiap daerah, setiap negara, setiap kampung punya takaran sendiri, dan punya

standarisasi sendiri kapan seseorang disebut mampu dan kapan seseorang itu disebut tidak mampu.

Artinya sesuai kondisi daerah masing-masing. Dan karena ini pula, para Ulama menyerahkan urusan ini

semua kepada Hakim setempat. Hakim inilah yang menentukan apakah ia termasuk yang mampu atau

bukan karena yang paling tahu kondisi daerah setempat ialah hakim tersebut. Tidak bisa kita

menanyakan standarisasi “mampu” untuk orang Indonesia kepada Hakim yang ada di Saudi sana, tentu


kondisi dan situasi masyarakatnya jauh berbeda.

No comments:

Post a Comment