Rujuk
1. Pengertian Ruju
Yang di maksud dengan Ruju' atau rij'ah ialah: mengembalikan setatus hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak raj'i yang di lakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa iddah , dengan ucapan tertentu
hak mantan suami merujuk bekas istrinya yang di talak raj'i diatur berdasarkan firman Allah SWT:
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ
Artinya:
Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.
2.Hukum Ruju
Istri yang di talak, tapi belum pernah di setubuhi,tidak wajib ber-iddah
Allah berfirman:
dan jika istri yang belum pernah di setubuhi itu di tinggal mati suaminya, ia harus beriddah seperti iddah nya istri yang pernah di setubuhi.
Yang di maksud dengan Ruju' atau rij'ah ialah: mengembalikan setatus hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak raj'i yang di lakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa iddah , dengan ucapan tertentu
hak mantan suami merujuk bekas istrinya yang di talak raj'i diatur berdasarkan firman Allah SWT:
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ
Artinya:
Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.
2.Hukum Ruju
- Wajib, yaitu apabila suami yang menalak salah seorang istrinya sebelum iya sempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang di talak.
- Sunah, yatiu apabila ruju lebih bermamfaat di banding dengan tidak ruju' atau bila terkandung niat untuk memperbaiki keadaan bekas istrinya.
- haram, yaitu apabila dalam ruju itu terkandung niat menyakiti bekas istrinya
- Makruh, yaitu apabila perceraian itu lebih baik dari pada ruju'
- Mubah, yaitu asal hukum ruju'
3.Rukun dan Syarat Ruju
- Istri, dengan syarat:
- Sudah pernah di campuri oleh suaminya
- dalam keadaan talak raji
- masih dalam masa iddah
- Suami, dengan syarat:
- Baligh
- Berakal
- Atas kemauan sendiri,tidak di paksa
- Sighat, ada dua macam:
- Terang - terangan seperti perkataan bekas suami kepada bekas istrinya, "saya ruju kepada mu". Ucapan itu tidak di syaratkan dengan niat.
- sindiran , seperti perkataan bekas suami kepada bekas istrinya "saya pegan engkau"
4. Hikmah Ruju:
- Sebagai sarana untuk mempertimbangkan kembali atas perceraian yang di lakukan, apakah perceraian tersebut di sebabkan oleh emosi atau semata - mata karena kemaslahatan.
- Sebagai sarana untuk lebih mempertanggung jawabkan anak - anak mereka secara bersama - sama .
- Sebagai sarana untuk menjalin kembali pasangan suami istri yang bercerai, sehingga pasangan tersebut lebih berhati - hati dan saling menghargai.
- Ruju berarti termasuk perbuatan menjunjung tinggi masalah perkawinan.
Iddah,
Iddah berasal dari kata ‘adad yang berarti menhgitung. Maksudnya, perempuan(istri) menghitung hari – harinya dan masa bersihnya.
Iddah dalam istilah agama menjadi nama bagi masa lamanya perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau setelah pisah dari suaminya atau setelah pisah dari suaminya.
Dan para ulama bersepakat bahwa iddah itu wajib hukumnya karena Allah ber-firman
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ
Artinya:
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru
B.Hikmah Adanya Iddah.
1.Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan sehingga tidak tercampur antara keturunan seseorang dan yang lain.
2.Memberi kesempatan kepada suami – istri yang berpisah untuk kembali kepada kehidupan semula jika mereka mengangap hal tersebut baik.
3. Menjunjung tinggi masalah perkawinan, yaitu agar dapat menghimpun orang – orang yang arif untuk mengkaji masalahnya dan memberikan tempo berpikir panjang.
4. wanita harus menjaga iddah adalah bahwa apabila wanita segera menikah setelah suaminya meninggal maka hal ini tidak sesuai dengan kecintaan dan penghormatan kepada suami sebelumnya. Di samping itu, akan menciderai perasaan sanak kerabat suami sebelumnya. Menjaga kehormatan kehidupan rumah tangga bahkan pasca kematian suami merupakan suatu hal yang fitri dan karena itu senantiasa terdapat adab dan tradisi pada setiap suku yang dimaksudkan untuk keperluan seperti ini.
C.Macam – Macam Iddah.
Iddah ada beberapa macam
.
- 1. Iddah isti yang berhaid, yaitu tiga kali haid.
- 2. Iddah istir yang menopause, yaitu tiga bulan.
- 3. Iddah istri yang kematian suami, yaitu empat bulan sepuluh hari.
- 4. Iddah istri hamil, yaitu sampai melahirkan.
Istri yang di talak, tapi belum pernah di setubuhi,tidak wajib ber-iddah
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ´iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut´ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya. dan jika istri yang belum pernah di setubuhi itu di tinggal mati suaminya, ia harus beriddah seperti iddah nya istri yang pernah di setubuhi.
IHDAD (MASA BERKABUNG)
Menurut Abu Yahya Zakaria al-Anshary, ihdad berasal dari kata ahadda, dan kadang-
kadang bisa juga disebut al-hidad yang diambil dari kata hadda. Secara etimologis (lighawi)
ihdad berarti al-man’u (cegahan atau larangan). [6]Sedangkan menurut:
1. Abdul Mujeib dkk, ihdad adalah masa berkabung bagi seorang isteri yang ditinggal mati
suaminya. Maka tersebut adalah 4 bulan 10 hari disertai dengan larangan-larangannya, antara
lain: bercelak mata, berhias diri, keluar rumah, kecuali dalam keadaan terpaksa.[7]
2. Sayyid Abu Bakar al-Dimyathi. Ihdad adalah menahan diri dari bersolek atau berhias pada
3. Wahbah al-zuhaili. Ihdad ialah meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan
minyak yang mengharumkan maupun yang tidak. Tetapi tidak dilarang memperindah tempat
tidur, karpet, gorden, dan alat-alat rumah tangganya. Ia juga tidak dilarang duduk di atas kain
4. Pengertian Syarak, ihdad ialah meninggalkan pemakaian pakaian yang di celup warna yang
dimaksudkan untuk perhiasan, sekalipun pencelupan itu dilakukan sebelum kain tersebut
ditenun, atau kain itu menjadi kasar/ kesat (setelah dicelup).
Itu lah sebagian pendapat-pendapat tentang pengertian ihdad dan banyak lagi pengertian
lainnya yang pada intinya sama yaitu meninggalkan berdandan atau berhias diri.
Zainab binti Abu Salamah berkata, aku masuk kerumah Ummu Habibah, Isteri Nabi saw
ketika ayahnya, Abu Sufyan bin Harb mennggal dunia. Lalu Ummu Habibah meminta minyak
wangi berwarna kuning, lalu menyuruh budaknya untuk mengoleskan minyak wangi pada
ayahnya itu. Kemudian budak itu mengoleskan pada jambangnya. Dan selanjutnya ia berkata,
“Demi Allah, bukan karena aku sudah tidak mempunyai hasrat pada wangi-wangian, hanya saja
aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, yang artinya “Tidak halal bagi seorang wanita
yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad terhadap mayat lebih dari tiga hari
kecuali bila yang meninggal itu suaminya, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari”.
Zainab berkata, kemudian aku masuk menemui Zainab binti Jahsy ketika saudaranya
meninggal dunia. Ia juga minta diambilakan minyak wangi dan dikenakan pada badannya lalu
berkata “Aku sebenarnya tidak berkeinginan terhadap wewangian. Hanya saja aku pernah
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Tidak halal bagi seorang wanita
yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad terhadap mayat lebih dari tiga hari.
Kecuali bila yang meninggal itu suaminya, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari’.”
Zainab melanjutkan penjelasannya, “Aku pernah mendengar ibuku, Ummu Salamah
radhiyallahu ‘anha, berkata, ‘Datang seorang wanita menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, suami putriku telah meninggal dunia. Sementara
putriku mengeluhkan rasa sakit pada matanya. Apakah kami boleh memakaikan celak pada
matanya?’ ‘Tidak,’ jawab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak dua atau tiga kali.
Setelahnya beliau bersabda: “Masa ihdad itu hanyalah empat bulan sepuluh hari. Adapun dulu di
masa jahiliah salah seorang wanita dari kalian menjalani masa iddahnya selama satu tahun”.
Iddah menurut para ulama hukumnya wajib. Selama ihdad tidak diperbolehkan
perhiasan, wangi-wangian, celak dan lain-lain yang ada unsur untuk memperindah diri.
1. Ihdad Bagi Istri Yang Ditinggal Suami
Berihdad atas kematian suami wajib dijalani seorang istri selama empat bulan sepuluh
hari, sama dengan masa iddahnya. Sebagaimana firman Allah swt “Orang-orang yang meninggal
dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri maka hendaklah para istri tersebut
menangguhkan dirinya (ber’iddah) selama empat bulan sepuluh hari….” (Al-Baqarah: 234)
2. Tidak ada Ihdad Bagi Ummu Walad
Ulama sepakat tidak ada ihdad bagi ummul walad (budak perempuan yang telah
melahirkan anak untuk tuannya), tidak pula bagi budak perempuan yang tuannya meninggal.
Karena mereka tidak berstatus istri dan si mayat bukan suami mereka.
3. Ihdad Bagi Wanita yang Di-Talak
Sedangkan dalam kitab Syarh as-Sunnah. Jika ia dijatuhi talak Raj’i, maka tidak ada
kewajiban baginya, tetapi hendaknya ia berbuat apa yang menjadi kecenderungan hati suaminya
supaya suaminya mau kembali lagi padanya. Sedangkan yang di jatuhi talak ba’in, maka terdapat
dua pendapat, yaitu Pertama, ia wajib ber-ihdad sebagaimana halnya wanita yang ditinggal
suaminya. Hal ini di pegang oleh Abu Hanifah. Kedua, tidak ada kewajiban berihdad karena
ihdad itu dilakukan karena kematian dan tidak untuk yang lainnya. Ihdad untuk selain kematian
suami ini sama sekali tidak pernah dikerjakan oleh kaum wanita pada masa Nabi saw dan masa
4. Tidak ada ihdad bagi wanta karier
Ihdad bagi fuqaha adalah sebagai ibadah maka diwajibkan atas wanita musliman dantidak
wajib bagi wanita karier menurut al-Qadhi (Ibnu Rusyd)
C. HAL-HAL YANG DILARANG BAGI ORANG YANG BERIHDAD
Hadits Nabi saw “seorang wanita tidak boleh berihdad karena kematian lebih dari
tiga hari, kecuali karena kemtian suami, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari.
Janganlah wanita itu memakai pakaian berwarna, kecuali baju lurik, jangan menggunakan
celak mata, dan memakai harum-haruman, janganlah memakai inai dan menyisir rambutkecuali
jika ia baru saja suci dari menstruasi, maka ia bolehlah mengambil sepotong kayu wangi.[8]
1. Tidak Boleh Bercelak secara Mutlak
radhiyallahu ‘anha yang artinya “Datang seorang wanita menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Ia berkata, ”Wahai Rasulullah, suami putriku telah meninggal dunia. Sementara
putriku mengeluhkan rasa sakit pada matanya. Apakah ia boleh mencelaki matanya?” ”Tidak,”
jawab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak dua atau tiga kali.” (HR. Al-Bukhari
Zainab bintu Abu Salamah mengabarkan dari ibunya, Ummul Mukminin Ummu Salamah
Dan diperbolehkan memakai delak pada malam hari sebagaimana hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempatku ketika Abu Salamah wafat sementara aku
memakai shabr (jenis celak) pada kedua mataku. Beliau bertanya, “Apa yang kau pakai pada
matamu, wahai Ummu Salamah?” “Ini cuma shabr, wahai Rasulullah, tidak mengandung
wewangian,” jawabku. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Shabr itu membuat
warna wajah bercahaya/menyala, maka jangan engkau memakainya kecuali pada waktu malam
dan hilangkan di waktu siang. Jangan menyisir (mengolesi) rambutmu dengan minyak wangi
dan jangan pula memakai hina` (inai/daun pacar) karena hina` itu (berfungsi) sebagai semir
(mewarnai rambut dan kuku, –pent.).” Ummu Salamah berkata, “Kalau begitu dengan apa aku
meminyaki rambutku, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Daun sidr dapat engkau pakai
untuk memolesi rambutmu.” (HR. Abu Dawud no. 2305)
2. Tidak Boleh Berwangi-wangian
tidak boleh memakai wewangian’ menunjukkan haramnya minyak wangi bagi wanita yang
sedang berihdad. Yang terlarang di sini adalah segala yang dinamakan wewangian dan tidak ada
perselisihan pendapat dalam hal ini.”
3. Tidak Boleh Mempercantik Diri dengan Bersolek
dan tempat. Sehingga tidak bisa diberi ketentuan pakaian yang bentuknya bagaimana dan
penampilan bagaimana yang teranggap berhias. (Taisirul ‘Allam, 2/354)
4. Tidak Boleh Berpakaian yang Menarik / Dicelup agar Menjadi Indah
dikenakan selama ihdad, walaupun pakaian tersebut memiliki model atau berwarna/bercorak.
Tapi bila dikatakan, “Ini pakaian untuk berhias”, berarti wajib dijauhi selama ihdad, baik pakaian
tersebut meliputi seluruh tubuh atau hanya untuk menutupi sebagiannya seperti celana panjang,
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata, “Dari ucapan Ummu ‘Athiyyah, ‘Kami
Batasan berhias atau tidak berhias kembalinya kepada ’urf (adat kebiasaan) setiap zaman
Bila dikatakan, “Ini pakaian biasa”, berarti tidak wajib untuk ditinggalkan, boleh
5. Tidak Boleh Memakai Perhiasan
suaminya tidak boleh mengenakan perhiasan sedikitpun baik berupa cincin, gelang kaki atau
yang selainnya.” (Al-Muwaththa`, 2/599)
Al-Imam Malik rahimahullahu berkata, “Wanita yang sedang berihdad karena kematian
Bila si wanita dalam keadaan berperhiasan saat suaminya meninggal dunia maka ia
harus melepaskannya, seperti gelang dan anting-anting. Adapun bila ia memakai gigi emas (gigi
palsu dari emas) dan tidak mungkin dilepaskan maka tidak wajib baginya melepasnya, namun ia
upayakan untuk menyembunyikannya.
Dalam Majmu’ Fatawa (17/159), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu
menjelaskan keharusan wanita yang berihdad untuk tidak berhias dan memakai wewangian
pada tubuh serta pakaiannya. Ia harus berdiam dalam rumahnya, tidak boleh keluar di siang hari
kecuali ada kebutuhan dan tidak boleh pula keluar di waktu malam kecuali darurat. Ia tidak boleh
memakai perhiasan, tidak boleh mewarnai rambut dan kukunya dengan inai atau selainnya.
D. YANG TIDAK TERLARANG BAGI WANITA YANG SEDANG BERIHDAD
Tidak dilarang baginya untuk memotong kuku, mencabut rambut ketiak, mencukur
rambut kemaluan, mandi dengan daun bidara, atau menyisir rambut karena tujuannya untuk
kebersihan bukan untuk berwangi-wangi/berhias. (Al-Mughni, Kitab Al-‘Idad, Fashl Ma
sDemikian pula mencium minyak wangi karena bila sekedar mencium tidaklah menempel
pada tubuh. Sehingga bila seorang wanita yang sedang berihdad ingin membeli minyak wangi,
tidak menjadi masalah bila ia menciumnya. (Asy-Syarhul Mumti’, 5/720)
Tidak diharamkan baginya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mubah dan dibolehkan
pula baginya berbicara dengan laki-laki sesuai keperluannya, selama ia berhijab. Demikianlah
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan oleh para wanita dari kalangan
sahabat apabila suami-suami mereka meninggal. (Majmu’ Fatawa libni Taimiyah, 17/159)
E. HIKMAH IHDAD OLEH WANITA
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu mengatakan,
“Hikmahnya adalah untuk menghormati hak suami dalam masa ‘iddah karena meninggalnya,
hingga tidak ada seorang pun yang berkeinginan untuk menikahi si wanita dalam masa ‘iddah
Sebagaimana Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Dan suami-suami mereka paling
berhak merujuki mereka dalam masa ’iddah tersebut, jika mereka menghendaki ishlah.” (Al-
Baqarah: 228)
F. KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG IHDAD
Menjelaskan dalam BAB XIX, dalam Pasal 170, sebagai berikut:
1. Istri yang ditingal mati suaminya, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah
sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.
2. Suami yang ditinggal istrinya, melakukan masa berkabung menurut keputusan.
REFERENSI
1. M. Abdul Ghoffar, E.M, Fikih Keluarga, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2009).
2. H. Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra).
3. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag., Fiqh Munakahat, (Jakarta: AMZAH, 2011).
4. Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CITRA UMBARA, 2007)
5. Prof. Dr. H.M.A. Tihami, M.A., M.M dan Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H., fikih munakahat
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009)
6. Drs. H. Abd. Rahman Ghazaly, M.A, fiqh munakahat (Jakarta: KENCANA:2006)
Menurut Abu Yahya Zakaria al-Anshary, ihdad berasal dari kata ahadda, dan kadang-
kadang bisa juga disebut al-hidad yang diambil dari kata hadda. Secara etimologis (lighawi)
ihdad berarti al-man’u (cegahan atau larangan). [6]Sedangkan menurut:
1. Abdul Mujeib dkk, ihdad adalah masa berkabung bagi seorang isteri yang ditinggal mati
suaminya. Maka tersebut adalah 4 bulan 10 hari disertai dengan larangan-larangannya, antara
lain: bercelak mata, berhias diri, keluar rumah, kecuali dalam keadaan terpaksa.[7]
2. Sayyid Abu Bakar al-Dimyathi. Ihdad adalah menahan diri dari bersolek atau berhias pada
3. Wahbah al-zuhaili. Ihdad ialah meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan
minyak yang mengharumkan maupun yang tidak. Tetapi tidak dilarang memperindah tempat
tidur, karpet, gorden, dan alat-alat rumah tangganya. Ia juga tidak dilarang duduk di atas kain
4. Pengertian Syarak, ihdad ialah meninggalkan pemakaian pakaian yang di celup warna yang
dimaksudkan untuk perhiasan, sekalipun pencelupan itu dilakukan sebelum kain tersebut
ditenun, atau kain itu menjadi kasar/ kesat (setelah dicelup).
Itu lah sebagian pendapat-pendapat tentang pengertian ihdad dan banyak lagi pengertian
lainnya yang pada intinya sama yaitu meninggalkan berdandan atau berhias diri.
Zainab binti Abu Salamah berkata, aku masuk kerumah Ummu Habibah, Isteri Nabi saw
ketika ayahnya, Abu Sufyan bin Harb mennggal dunia. Lalu Ummu Habibah meminta minyak
wangi berwarna kuning, lalu menyuruh budaknya untuk mengoleskan minyak wangi pada
ayahnya itu. Kemudian budak itu mengoleskan pada jambangnya. Dan selanjutnya ia berkata,
“Demi Allah, bukan karena aku sudah tidak mempunyai hasrat pada wangi-wangian, hanya saja
aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, yang artinya “Tidak halal bagi seorang wanita
yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad terhadap mayat lebih dari tiga hari
kecuali bila yang meninggal itu suaminya, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari”.
Zainab berkata, kemudian aku masuk menemui Zainab binti Jahsy ketika saudaranya
meninggal dunia. Ia juga minta diambilakan minyak wangi dan dikenakan pada badannya lalu
berkata “Aku sebenarnya tidak berkeinginan terhadap wewangian. Hanya saja aku pernah
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Tidak halal bagi seorang wanita
yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad terhadap mayat lebih dari tiga hari.
Kecuali bila yang meninggal itu suaminya, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari’.”
Zainab melanjutkan penjelasannya, “Aku pernah mendengar ibuku, Ummu Salamah
radhiyallahu ‘anha, berkata, ‘Datang seorang wanita menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, suami putriku telah meninggal dunia. Sementara
putriku mengeluhkan rasa sakit pada matanya. Apakah kami boleh memakaikan celak pada
matanya?’ ‘Tidak,’ jawab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak dua atau tiga kali.
Setelahnya beliau bersabda: “Masa ihdad itu hanyalah empat bulan sepuluh hari. Adapun dulu di
masa jahiliah salah seorang wanita dari kalian menjalani masa iddahnya selama satu tahun”.
Iddah menurut para ulama hukumnya wajib. Selama ihdad tidak diperbolehkan
perhiasan, wangi-wangian, celak dan lain-lain yang ada unsur untuk memperindah diri.
1. Ihdad Bagi Istri Yang Ditinggal Suami
Berihdad atas kematian suami wajib dijalani seorang istri selama empat bulan sepuluh
hari, sama dengan masa iddahnya. Sebagaimana firman Allah swt “Orang-orang yang meninggal
dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri maka hendaklah para istri tersebut
menangguhkan dirinya (ber’iddah) selama empat bulan sepuluh hari….” (Al-Baqarah: 234)
2. Tidak ada Ihdad Bagi Ummu Walad
Ulama sepakat tidak ada ihdad bagi ummul walad (budak perempuan yang telah
melahirkan anak untuk tuannya), tidak pula bagi budak perempuan yang tuannya meninggal.
Karena mereka tidak berstatus istri dan si mayat bukan suami mereka.
3. Ihdad Bagi Wanita yang Di-Talak
Sedangkan dalam kitab Syarh as-Sunnah. Jika ia dijatuhi talak Raj’i, maka tidak ada
kewajiban baginya, tetapi hendaknya ia berbuat apa yang menjadi kecenderungan hati suaminya
supaya suaminya mau kembali lagi padanya. Sedangkan yang di jatuhi talak ba’in, maka terdapat
dua pendapat, yaitu Pertama, ia wajib ber-ihdad sebagaimana halnya wanita yang ditinggal
suaminya. Hal ini di pegang oleh Abu Hanifah. Kedua, tidak ada kewajiban berihdad karena
ihdad itu dilakukan karena kematian dan tidak untuk yang lainnya. Ihdad untuk selain kematian
suami ini sama sekali tidak pernah dikerjakan oleh kaum wanita pada masa Nabi saw dan masa
4. Tidak ada ihdad bagi wanta karier
Ihdad bagi fuqaha adalah sebagai ibadah maka diwajibkan atas wanita musliman dantidak
wajib bagi wanita karier menurut al-Qadhi (Ibnu Rusyd)
C. HAL-HAL YANG DILARANG BAGI ORANG YANG BERIHDAD
Hadits Nabi saw “seorang wanita tidak boleh berihdad karena kematian lebih dari
tiga hari, kecuali karena kemtian suami, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari.
Janganlah wanita itu memakai pakaian berwarna, kecuali baju lurik, jangan menggunakan
celak mata, dan memakai harum-haruman, janganlah memakai inai dan menyisir rambutkecuali
jika ia baru saja suci dari menstruasi, maka ia bolehlah mengambil sepotong kayu wangi.[8]
1. Tidak Boleh Bercelak secara Mutlak
radhiyallahu ‘anha yang artinya “Datang seorang wanita menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Ia berkata, ”Wahai Rasulullah, suami putriku telah meninggal dunia. Sementara
putriku mengeluhkan rasa sakit pada matanya. Apakah ia boleh mencelaki matanya?” ”Tidak,”
jawab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak dua atau tiga kali.” (HR. Al-Bukhari
Zainab bintu Abu Salamah mengabarkan dari ibunya, Ummul Mukminin Ummu Salamah
Dan diperbolehkan memakai delak pada malam hari sebagaimana hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempatku ketika Abu Salamah wafat sementara aku
memakai shabr (jenis celak) pada kedua mataku. Beliau bertanya, “Apa yang kau pakai pada
matamu, wahai Ummu Salamah?” “Ini cuma shabr, wahai Rasulullah, tidak mengandung
wewangian,” jawabku. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Shabr itu membuat
warna wajah bercahaya/menyala, maka jangan engkau memakainya kecuali pada waktu malam
dan hilangkan di waktu siang. Jangan menyisir (mengolesi) rambutmu dengan minyak wangi
dan jangan pula memakai hina` (inai/daun pacar) karena hina` itu (berfungsi) sebagai semir
(mewarnai rambut dan kuku, –pent.).” Ummu Salamah berkata, “Kalau begitu dengan apa aku
meminyaki rambutku, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Daun sidr dapat engkau pakai
untuk memolesi rambutmu.” (HR. Abu Dawud no. 2305)
2. Tidak Boleh Berwangi-wangian
tidak boleh memakai wewangian’ menunjukkan haramnya minyak wangi bagi wanita yang
sedang berihdad. Yang terlarang di sini adalah segala yang dinamakan wewangian dan tidak ada
perselisihan pendapat dalam hal ini.”
3. Tidak Boleh Mempercantik Diri dengan Bersolek
dan tempat. Sehingga tidak bisa diberi ketentuan pakaian yang bentuknya bagaimana dan
penampilan bagaimana yang teranggap berhias. (Taisirul ‘Allam, 2/354)
4. Tidak Boleh Berpakaian yang Menarik / Dicelup agar Menjadi Indah
dikenakan selama ihdad, walaupun pakaian tersebut memiliki model atau berwarna/bercorak.
Tapi bila dikatakan, “Ini pakaian untuk berhias”, berarti wajib dijauhi selama ihdad, baik pakaian
tersebut meliputi seluruh tubuh atau hanya untuk menutupi sebagiannya seperti celana panjang,
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata, “Dari ucapan Ummu ‘Athiyyah, ‘Kami
Batasan berhias atau tidak berhias kembalinya kepada ’urf (adat kebiasaan) setiap zaman
Bila dikatakan, “Ini pakaian biasa”, berarti tidak wajib untuk ditinggalkan, boleh
5. Tidak Boleh Memakai Perhiasan
suaminya tidak boleh mengenakan perhiasan sedikitpun baik berupa cincin, gelang kaki atau
yang selainnya.” (Al-Muwaththa`, 2/599)
Al-Imam Malik rahimahullahu berkata, “Wanita yang sedang berihdad karena kematian
Bila si wanita dalam keadaan berperhiasan saat suaminya meninggal dunia maka ia
harus melepaskannya, seperti gelang dan anting-anting. Adapun bila ia memakai gigi emas (gigi
palsu dari emas) dan tidak mungkin dilepaskan maka tidak wajib baginya melepasnya, namun ia
upayakan untuk menyembunyikannya.
Dalam Majmu’ Fatawa (17/159), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu
menjelaskan keharusan wanita yang berihdad untuk tidak berhias dan memakai wewangian
pada tubuh serta pakaiannya. Ia harus berdiam dalam rumahnya, tidak boleh keluar di siang hari
kecuali ada kebutuhan dan tidak boleh pula keluar di waktu malam kecuali darurat. Ia tidak boleh
memakai perhiasan, tidak boleh mewarnai rambut dan kukunya dengan inai atau selainnya.
D. YANG TIDAK TERLARANG BAGI WANITA YANG SEDANG BERIHDAD
Tidak dilarang baginya untuk memotong kuku, mencabut rambut ketiak, mencukur
rambut kemaluan, mandi dengan daun bidara, atau menyisir rambut karena tujuannya untuk
kebersihan bukan untuk berwangi-wangi/berhias. (Al-Mughni, Kitab Al-‘Idad, Fashl Ma
sDemikian pula mencium minyak wangi karena bila sekedar mencium tidaklah menempel
pada tubuh. Sehingga bila seorang wanita yang sedang berihdad ingin membeli minyak wangi,
tidak menjadi masalah bila ia menciumnya. (Asy-Syarhul Mumti’, 5/720)
Tidak diharamkan baginya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mubah dan dibolehkan
pula baginya berbicara dengan laki-laki sesuai keperluannya, selama ia berhijab. Demikianlah
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan oleh para wanita dari kalangan
sahabat apabila suami-suami mereka meninggal. (Majmu’ Fatawa libni Taimiyah, 17/159)
E. HIKMAH IHDAD OLEH WANITA
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu mengatakan,
“Hikmahnya adalah untuk menghormati hak suami dalam masa ‘iddah karena meninggalnya,
hingga tidak ada seorang pun yang berkeinginan untuk menikahi si wanita dalam masa ‘iddah
Sebagaimana Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Dan suami-suami mereka paling
berhak merujuki mereka dalam masa ’iddah tersebut, jika mereka menghendaki ishlah.” (Al-
Baqarah: 228)
F. KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG IHDAD
Menjelaskan dalam BAB XIX, dalam Pasal 170, sebagai berikut:
1. Istri yang ditingal mati suaminya, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah
sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.
2. Suami yang ditinggal istrinya, melakukan masa berkabung menurut keputusan.
REFERENSI
1. M. Abdul Ghoffar, E.M, Fikih Keluarga, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2009).
2. H. Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra).
3. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag., Fiqh Munakahat, (Jakarta: AMZAH, 2011).
4. Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CITRA UMBARA, 2007)
5. Prof. Dr. H.M.A. Tihami, M.A., M.M dan Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H., fikih munakahat
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009)
6. Drs. H. Abd. Rahman Ghazaly, M.A, fiqh munakahat (Jakarta: KENCANA:2006)
MUT’AH
Mut'ah dalam bahasa arab berarti sukacita, kesenangan, kepatuhan, pemenuhan atau
kenikmatan. Mut’ah mempunyai arti lain sebagaimana ia digunakan. Contohnya dalam sebuah
sumpah, mut’ah mengandung arti kepatuhan atau pemenuhan dan dalam hal perkawinan
berarti kebahagiaan atau sukacita sementara itu di dalam ibadah haji berarti santai.
Istilah mut’ah dalam sebuah pernikahan tidak hanya mempunyai satu makna, namun
memiliki beberapa makna contohnya yang pertama ialah nikah mut’ah yaitu menikah dengan
batasan waktu, atau sebutan yang lebih akrab dengan telinga kita ialah “kawin kontrak”. Para
ulama di dunia mengaharamkan nikah mut’ah ini kecuali para ulama di Syiah. Selain itu mut’ah
juga memiliki makna lain dan masih berada dalam permasalahan pernikahan tetapi di dalam
bab yang berbeda. Nikah mut’ah haram hukumnya, tetapi yang satu ini sebaliknya wajib
Mut’ah yang dimaksud ialah mut’ah talak, dinamakan mut’ah talak, karena ia terjadi
pada saat ada talak. Yang dimaksud dengan mut’ah talak ialah sejumlah harta yang diberikan
oleh mantan suami kepada mantan istri sebagai bekal sepeninggal suami. Kalau secara bahasa,
mut’ah itu sendiri artinya “kesenangan”, memang mut’ah itu sendiri dibayarkan oleh mantan
suami sebagai “penggembira” atau “penghibur” bagi mantan istri yang ditinggal suami karena
perceraian. Mut’ah yang diberikan ialah berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla
Mengenani hukum mut’ah talak terdapat berbagai pendapat, ada yang mewajibkan da nada
Dalam hukum mut’ah ini Para ulama terbagi menjadi 2 kubu besar dalam masalah hukum
Artinya bahwa hukum mut’ah ini sebenarnya tidak wajib dan boleh ditinggalkan. Mampu atau
tidak mampu mantan suami itu, ia boleh tidak memberikan mut’ah kepada mantan istrinya. Pendapat
Mazhab ini berpendapat atas kesunnahan mut’ah itu berdasarkan ayat yang telah disebutkan di
atas tadi. Perintahnya memang jelas, yaitu perintah untuk mut’ah, tetapi di akhir ayat Allah swt
menerangkan kalau itu ialah “kewajiban bagi mereka yang berbuat baik”, “Haqqon ‘Ala Al-Muhsinin”.
Kata Al-Muhsinin dalam bahasa Arab berarti “ia yang berbuat baik” atau ia yang melakukan tambahan
Mazhab ini, seperti yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqihnya beranggapan dengan ujung ayat
tersebut, bahwa mut’ah itu hanya bagi mereka yang ingin berbuat baik saja. Artinya kewajibannya tidak
mencakup semua muslim, hanya bagi yang ingin menambah kebaikannya (pahala). (Bidayatul Mujtahid
Ini pendapat yang dianut oleh kebanyakan Mazhab fiqih; Hanafi, Sayafi’I dan hambali. Namun
kewajibannya tidak mutlak. Ya ini wajib bagi beberapa orang yang termasuk dalam kategori yang sudah
ditentukan. Artinya kalau ada lelaki yang menceraikan istrinya tetapi dia bukan termasuk dalam kategori
orang yang wajib bayar mut’ah (menurut masing-masing mazhab) maka tidak ada kewajiban baginya.
Dari segi kriteria seseorang yang wajib bayar mut’ah menurut 3 mazhab fiqih diatas juga berbeda-beda.
Menurut pendapat mazhab ini, yang wajib bayar mut’ah ialah hanya bagi lelaki yang
menceraikan istrinya dan mereka belum bersentuhan (berhubungan) layaknya suami istri. Dan si
mantan suami itu juga belum menentukan jumlah maharnya selama pernikahannya itu.
Sebenarnya mazhab syafi’I mempunyai dua riwayat pendapat dalam hal ini, pendapat pertama
ialah sama seperti apa yang dikatakan oleh mazhab hanafi. Sedang pendapat kedua inilah yang
pendapat yang masyhur dan yang banyak dipegang oleh Ulama mazhab ini
Mut’ah ini wajib bagi semua laki-laki yang menceraikan istrinya dan perceraian itu berasal
darinya laki-laki (bukan khulu’), kecuali ia yang menceraikan istrinya sedang ia belum menggaulinya
namun ia sudah menentukan maharnya. Artinya siapapun laki-laki yang menceraikan istrinya selama ia
bukan dalam keadaan yang disebutkan tadi, maka ia wajib membayar mut’ah. Dan pendapat ini,
menurut Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid, ialah pendapat yang banyak dipegang jumhur.
Agak berbeda dengan mazhab-mazhab sebelumnya, mazhab hambali justru mengatakan bahwa
dasar hukum mut’ah itu sunnah, sama seperti apa yang dikatakan oleh mazhab Imam maliki dan dalilnya
pun sama. Sedangkan mut’ah ini menjadi wajib hanya bagi mereka yang menceraikan istri-istri mereka
tetapi mereka belum menentukan mahar untuk istri-istri mereka tersebut. Karena menurut mazhab
Hambali, perempuan yang diceraikan itu terbagi menjadi 2 kelompok. Pertama: kelompok perempuan
yang maharnya sudah ditentukan, dan yang kedua ialah kelompok perempuan yang maharnya belum
Bagi yang sudah ditentukan, maka bagi mereka mahar-mahar yang sudah ditentukan itu. Sedang
bagi yang belum ditentukan, maka itulah jatah mut’ah bagi mereka. (Kisyaful-Qina’ 5/158)
Dasar perintah Mut’ah itu sendiri ialah firman Allah swt dalam surat Al-Baqarah ayat 236:
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum
kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu
berikan suatu mut´ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan
orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian
itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. “
Bukan hanya ayat tersebut, setidaknya ada 3 ayat yang menerangkan tentang hukum mut’ah itu
sendiri; pertama yaitu ayat 236 Al-Baqarah (diatas), kedua: ayat 241 Al-baqarah dan ketiga yaitu ayat 49
Dalam nash-nash syariah, tidak pernah disebutkan berapa besaran atau kisaran yang harus
dibayarkan oleh seorang mantan suami kepada mantan istrinya sebagai mut’ah. Semua tergantung atas
kemampuan mantan suami. Artinya semua bergantung atas kemampuan dan kesanggupan mantan
suami itu sendiri. Namun yang dipermasalahkan ialah ukuran apakah yang dipakai untuk menentukan
orang ini termasuk dalam kategori mampu atau tidak.
Para Ulama beranggapan bahwa kategori mampu itu tidak dalam satu level yang sama,
maksudnya ialah setiap daerah, setiap negara, setiap kampung punya takaran sendiri, dan punya
standarisasi sendiri kapan seseorang disebut mampu dan kapan seseorang itu disebut tidak mampu.
Artinya sesuai kondisi daerah masing-masing. Dan karena ini pula, para Ulama menyerahkan urusan ini
semua kepada Hakim setempat. Hakim inilah yang menentukan apakah ia termasuk yang mampu atau
bukan karena yang paling tahu kondisi daerah setempat ialah hakim tersebut. Tidak bisa kita
menanyakan standarisasi “mampu” untuk orang Indonesia kepada Hakim yang ada di Saudi sana, tentu
kondisi dan situasi masyarakatnya jauh berbeda.
No comments:
Post a Comment