Ibnu Hazm (994 - 1064M)
2.1.1 Riwayat
Hidup
Ibnu Hazm, bernama lengkap Abu Muhammad
Ali ibn Abu Umar Ahmad ibn Said ibn Hazm al- Qurthubi al- Andalusi, lahir pada
akhir bulan Ramadan 184H(994M). Ia berasal pada sebuah keluarga bangsawan dan
kaya, Ayahnya adalah Abu Umar Ahmad, seorang keturunan Persia dan wazir
administrasi pada masa pemerintahan Hajib al- Mansur Abu Amar Muhammad bin Abu
Amir al- Qanthani (W. 192H) dan Hajib Abdul Malik al- Mudzaffar (w.399H/1009M).
Setelah itu,Ibnu Hazm diserahkan kepada
Abu Ali al-Husain bin Ali al-Fasiy,seorang ulama yang mengesankan hatinya,baik
dari segi ilmu,amal ibadah,maupun kewaraannya.Di bawah bimbingan gurunya ini
,ia mulai menuntut ilmu secara intensif dengan menghadiri berbagai majelis
ilmiah,baik dibidang agama maupun umum. Ia belajar hadist untuk pertama kalinya
kepada Amit al-Jasur ketika berusia 16 tahun.Pada saat itu,hadist dan fiqih
merupakan dua bidang ilmu yang berkaitan,sehingga dapat dikatakan bahwa Ibnu
Hazm juga mempelajari fiqih secara bersamaan. Ibnu Hazm mempelajari ilmu dari
ulama – ulama, baik selama ia menetap di kordova maupun selama pengembaraannya
di berbagai kota hingga ke Maroko. Ia mempelajari berbagai ilmu agama maupun
umum, seperti tafsir dan hadis, Fiqih maupun Usul Fiqh, teologi, perbandingan
agama, baha, sastra dan filsafat. Hal ini tergambar dari sekian banyak karyanya
yang meliputi berbagai bidang tersebut, sehingga dikenal sebagai ilmuan yang
generalis dan produktif. Keberhasilan Ibnu Hazm tidak terlepas dari arahan
orang tuanya yang menyukai ilmu pengetahuan,disamping ketekunan dan kesungguhan
diri serta kecerdasan yang luar biasa.Kedudukan sosial yang tinggi,karir
politik,musibah,dan rintangan tidak menyurutkan kemauannya untuk terus menuntut
ilmu.
2.1.2
Karir, Kondusi Sosial-Politik, dan kecendrungan Mazhabnya.
Ibnu Hazm mengikuti jejak ayahnya sebagai
wazir selama 3 periode, yakni pada masa Khalifah Abdurrahman IV al- Murtadha
yang menjadi pembantu Umayyah, masa Abdurrahman V dan masa Hisyam al- Mu’tad.
Sepanjang hayatnya Ibnu Hazm tidak hanya
terlibat dalam pekerjaan Administarsi negara tapi dia juga mulai mengembangkan
karirnya sebagai pengajar dan penulis hingga akhir hayatnya.
Pada awalnya ibnu Hazm menganut mazhab
Maliki yang ketika itu merupakan mazhab mayoritas di kawasan andalusia dan
Maghribi pada umumnya. Mazhab ini bukan saja menjadi panutan masyarakat dan
ulama setempat,akan tetapi juga menjadi mazhab resmi Negara. .Hal ini tergambar
dari pemegang jabatan Qadi dan keputusan yang harus berlandaskan mazhab
tersebut.Disamping itu ia juga menerima pelajaran dari ulama Maliki,seperti
Abdullah bin Dahun dan Ahmad bin Jasur,dengan mempelajari kitab karangan Imam
Maliki,al-Muawatha.Dengan mempelajari kitab tersebut,Ibnu Hazm sekaligus
mempelajari hadist dan fiqih mazhab ini. Dalam perkembangan selanjutnya , Ibnu
Hazm beralih ke mazhab Syafi’i. Perpindahan ini agaknya merupakan bagian dari
proses pembentukan dan masa transisi ke arah pencarian, pematangan diri dan
kemandirian pemikiran nya.
Sosok Ibnu Hazm saat itu adalah seorang
pemikir besar yang berasal dari suku Arab muslim. Ia telah membuktikan dirinya
sebagai sumber literatur, sejarahwan, filolog, retorik,qadi, filosof dan
teologi. Pendidikan yang tinggi lingkungan keluarga yang kondusif sangat
mempengaruhi karirnya. Ia mampu menangkap dengan cepat seluruh informasi mutakhir
yang membuatnya produktif.
Beberapa faktor yang menyebabkan Ibnu Hazm
berpengetahuan dan memiliki kepemimpinan hingga menempatkan pada posisi yang
tinggi adalah:
Berkeperibadian baik, hal ini sangat
penting dalam membentuknya sebagai seorang pemikir besar, kuat daya ingatnya,
tajam dalam pemikiran dan bicaranya, kuat pengamatan, dan daya analisisnya yang
patut di hargai. Keunggulan yang
diperolehnya melalui pendidikan menyatu dengan semangatnya dalam belajar dan
meresponn hal – hal yang aktual membentuk luas dan dalam pengetahuannya.
Diantara gurunya adalah Abdul Qaim Rahman ibn Abi Yazid al- Azdi al-Asri( dalam
bidang budaya, tata bahasa, leksikografi, retorika, dialektika dan teologi).
Penguasaannya terhadap beberapa bahasa asing.
Lingkungan keluarga yang kondusif mempengaruihi
perkembangan karirnya Aktif sebagai wazir
dalam urusan publik dan administrasi, karir dalam bidang politik dan militr ini
membuatnya sangat tegas da jelas dalam pemikirannya. Jabatan yang dipegang memberi pengaruh positif dalam pengembangan
karirnya.
2.1.3 Pemikiran
Ekonomi
Menurut anaknya,Abu Rafi,Ibnu Ham memiliki 400
karya yang terdiri dari 80.000 lembar.Karyanya meliputi bidang
hukum,logika,sejarah,etika,perbandingan agama, dan teologi.Beberapa
pemikirannya yang terkenal dalam bidang ekonomi antara lain:
1.Masalah
Sewa Tanah dan Kaitannya Dengan Pemerataan Kesempatan
Sejalan dengan pendekatan
zahirinya,ibnu hazm mengemukakan konsep pemerataan kesempatan berusaha dalam
istinbat hukumnya dibidang ekonomi,sehingga cenderung kepada prinsip-prinsip
ekonomi social islami yang mengarah kepada kesejahteraan masyarakat banyak dan
berlandaskan keadilan social dan keseimbangan sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an
dan hadis.Oleh karena itu, sebagian penulis kontemporer menyatakannya sebagai
perintis ekonomi sosialis yang islami. Namun demikian, penilaian tersebut
terlalu berlebihan dan cenderung menarik-narik syariat Islam kepada suatu
system ekonomi kontemporer produk pemikiran barat.Syariat Islam bukan merupakan
system sosialis yang menekankan kepemilikan kolektif sebagaimana pula bukan
pemikiran kaum kapitalis yang menekan kepada pemilikan individual.Di antara
pernyataan Ibnu Hazm berkenaan dengan sewa tanah adalah:
“Menyewakan tanah sama sekali tidak diperbolehkan,baik untuk bercocok tanam,
perkebunan, mendirikan bangunan,ataupun segala sesuatu baik untuk jangka
pendek, jangka panjang, maupun tanpa batas waktu tertentu baik dengan imbalan
dinar maupun durham. Bila hal ini terjadi, hukum sewa-menyewa batal selamanya”
Selanjutnya,Ibnu
Hazm menyatakan:
“Dalam
persoalan tanah,tidak boleh dilakukan kecuali muzara’ah(penggarapan tanah)
dengan system bagi hasil produksinya atau mugharasah(kerjasama penanaman).Jika
terdapat bangunan pada tanah itu,banyak atau sedikit,bangunan itu boleh
disewakan dan tanah itu ikut pada bangunan tetapi tdak masuk dalam penyewaan
sama sekali”
Kecuali mengikuti
sistem berikut ini:”tidak boleh melakukan kecuali muzara’ah (penggarapan tanah)
dengan sistem bagi hasil produksinya
atau mugharasah (kerjasama penanaman).Jika terdapat bangunan pada tanah
itu,banyak atau sedikit,bangunan itu boleh disewakan dan tanah itu ikut pada
bangunan tetapi tidak masuk dalam penyewaan sama sekali”
Dengan
pernyataan tersebut,Ibnu Hazm memberikan tiga alternatif penggunaan tanah,
tanah tersebut dikerjakan atau digarap oleh pemiliknya sendiri,
si pemilik mengizinkan orang lain menggarap tanah tanpa meminta
sewa,
,si pemilik memberikan kesempatan orang lain untuk menggarapnya
dengan bibit, alat atau tenaga kerja yang berasal dari dirinya, kemudian si
pemilik memperoleh bagian dari hasilnya dengan presentasi tertentu sesuai
kesepakatan.
Pandangan
tersebut didasari pemahaman zahiriyahnya sebagai berikut
Dari
Rafi bin Khudaij r.a,ia berkata:”rasulullah saw. melarang penyewaan tanah”(Riwayat
Bukhari).
Dari
Jabir bin Abdillah r.a., ia berkata:”Rasulullah saw. melarang pengambilan upah
atau bagian tertentu dari tanah”(RIwayat Muslim).
Dari
Abu Hurairah r.a., ia berkata:”Rasulullah saw.bersabda:”Barangsiapa memiliki
tanah,hendaklah ia menanaminya atau memberikannya kepada saudaranya.Jika ia
menolak,tahanlah tanah tersebut”(Riwayat Muslim).
Berkenaan dengan muamalah
Rasulullah saw. dengan penduduk Yahudi Khaibar untuk mengerjakan dan menanami
tanah mereka dengan biaya dari mereka dan Rasul memperoleh bagi hasil,hal
tersebut atas permintaan mereka sendiri.Menurut Ibnu Hazm hal ini merupakan
pengecualian dari seluruh larangan penyewaan tanah. Namun ada juga yang
menganggap pengecualian ini sebagai kebijakan politk dalam menghadapi golongan
yahudi yang amat keras memusuhi Islam secara khusus,bukan sebagai bentuk
kerjasama sipil yang berlaku normative dan dilanjutkan para sahabat
peninggalnya serta diakui kebolehannya oleh ulama.
Agaknya pandangan Ibnu Hazm tersebut bertitik
tolak dari status tanah sebagai barang yang tidak hancur (sil’ah Ghair
istikhlakiyyat) yang pada umumnya peran hasil kerja dan kreasi manusia tidak
menonjol. Yang tampak ialah bahwa tanah itu merupakan ciptaan Allah swt dimana
manusia tinggal memanfaatkannya dan mengklaim pemilikan dan
penguasaannya.Dengan demikian,kepemilikan tersebut tidak mutlak,tetapi justru
relative selama ia memanfaatkannya. Jika tidak memanfaatkannya,ia harus
memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memanfaatkannya sesuai dengan
atas kepemilikan umum bahwa tanah adalah ciptaan Allah SWT.Oleh karena itu,
menurut Ibnu Hazm,tanah tidak bisa disamakan dengan rumah atau peralatan yang
secara nyata merupakan hasil kerja dan jerih payah manusia untuk
membuatnya,sehingga dapat disewakan.
Disamping itu, larangan penyewaan tanah dan
alternative bagi hasil,menciptakan iklim bekerja dan berusaha yang lebih baik
bagi orang-orang yang tidak mampu dengan risiko kecil dalam menanggung kerugian
akibat bencana alam atau penyakit,sehingga gagal panen.Dengan demikian,keuntungan
akan dinikmati bersama,dan begitu pula sebaliknya,resiko kerugian dan kegagalan
panen dipikul bersama.
2.
Jaminan Sosial bagi Orang Tak Mampu
a. Pemenuhan Kebutuhan Pokok (Basic Needs)
dan Pengentasan Kemiskinan
Ibnu Hazm menyebutkan empat kebutuhan
pokok yang memenuhi standar kehidupanmanusia,yaitumakanan,minuman,pakaian,dan
perlindungan(rumah).Makanan dan minuman harus dapat memenuhi kesehatan dan
energy.Pakaian harus dapat menutupi aurat dan melindungi seseorang dari udara
panas dan dingin serta hujan.Rumah harus dapat melindungi seseorang dari
berbagai cuaca dan juga memberikan tingkat kehidupan pribadi yang layak.
Dalam konteks ini, Ibnu Hazm mengingatkan
bahwa kemiskinan selalu tumbuh dalam situasi tingkat konsumsi atau kebutuhan
lebih tinggi daripada pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan.Hal ini,terjadi
akibat laju populasi yang meningkat cepat(akibat kelahiran atau
migrasi).Kesenjangan yang lebar antara si kaya dengan si miskin dapat menambah
kesulitan saat keadaan orang kaya mempengaruhi struktur administrasi,cita
rasa,dan berbagai pengaruh lain,seperti kenaikan tingkat harga dalam aktivitas
ekonomi.
Berkenaan dengan harta wajib dikeluarkan
zakatnya,Ibnu Hazm memperluas jangkauan dan ruang lingkup kewajiban sosial lain
di luar zakat yang wajib dipenuhi oleh orang kaya sebagai bentuk kepedulian
tanggung jawab sosial mereka terhadap orang miskin,anak yatim,dan orang yang
tidak mampu atau yang lemah secara ekonomi.salah satu pandangan Ibnu Hazm yang
menarik dalam masalah ini adalah sebagai berikut:
“Orang-orang kaya dari penduduk setiap negeri
wajib menanggung kehidupan orang-orang fakir miskin diantara mereka.Pemerintah
harus memaksakan hal ini terhadap mereka jika zakat dan harta kaum muslimin
(bait al-mal) tidak cukup untuk mengatasinya.Orang fakir miskin itu harus
diberi makanan dari bahan makanan semestinya,pakaian untuk musim dingin dan
musim panas yang layak,dan tempat tinggal yang dapat melindungi mereka dari
hujan,panas matahari,dan pandangan orang-orang yang lalu-lalang”.
Ibnu Hazm mendasarkan pandangannya tersebut
pada firman Allah swt:
“dan berikanlah kepada keluarga-keluarga
yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.”(Q.S. Al-Isra/17:26)
“Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu
sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri,” (Q.S.
An-Nisa/4:36)
"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam
Saqar (neraka)?" mereka menjawab: "Kami dahulu tidak Termasuk
orang-orang yang mengerjakan shalat, dan Kami tidak (pula) memberi Makan orang
miskin’’ (Q.S. Al-Mudatsir/74:42-44)
Hak-hak yang diperintahkan Allah SWT untuk
dipenuhi orang kaya, dipahami Ibnu Hazm sebagai suatu kewajiban. Hak-hak yang mesti dipenuhi tersebut tidak lain
merupakan pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang meliputi sandang, pangan, dan
papan yang layak dan sesuai dengan harkat kemanusiaan. Hak tersebut merupakan
bagian dari hak asasi manusia yang menjadi tanggung jawab sosial secara
bersama-sama dalam mewujudkannya, demi tercapainya keadilan sosial bagi seluru
umat manusia. Bagaimanapun juga, kemiskinan tidak pernah dikehendaki oleh
siapapun. Orang miskin harus dibantu untuk bisa terbebas dari kemiskinan yang
membelenggu
b.
Kewajiban Mengeluarkan Harta Selain Zakat
Persoalan mengenai adanya kewajiban harta
selain zakat merupakan persoalan yang diperselisihkan oleh fuqaha.Sebagian
fuqaha menyatakan keberadaan kewajiban harta yang harus dikeluarkan selain
zakat.Pendapatan ini juga pendapat sebagian sahabat,seperti Umar ibn
al-Khaththab,Ali bin Abi Thalib,Abu dzar al-Ghifari,Aisyah,Abdullah ibn
Umar,Abu Hurairah,Hasan ibn Ali,dan Fatimah binti Qai. Diantara golongan
tabi’in yang berpendapat senada adalah al-sya’bi Mujahid,dan Thawus.Dengan
demikian,pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang baru dalam fiqih Islam
dan Ibnu Hazm bukan orang yang pertama berpendapat demikian.
Berbeda dengan pendapat di atas,sebagian
fuqaha yang lain menyatakan tidak ada kewajiban harta selain zakat. Harta yang
dikeluarkan selain zakat merupakan sedekah atau santunan yang
disunahkan.Pendapat kedua ini masyhur dikalangan fuqaha mutaakhirin,sehingga
nyaris tidak dikenal pendapat yang lain.Dalil yang dikemukakan oleh kelompok
kedua ini diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari,Muslim,dan
lainnya dari sahabat Thalhah r.a.,ia berkata:
“seorang sahabat laki-laki dari penduduk Najd
dengan rambut tergerai datang menghadap Rasulullah saw. suaranya terdengar
perau dan apa yang dikatakan tidak mudah ditangkap.Setelah mendekati Rasulullah
saw., ia bertanya tentang Islam. Kemudian Rasulullah saw menjawab”Lima kali
shalat dalam sehari semalam”.Ia bertanya,”Apakah selain itu ada yang wajib bagi
diriku?”Rasul menjawab,”tidak,kecuali kamu shalat sunnah.”Rasul berkata,”Dan
berpuasa Ramadhan”,Ia bertanya,”Apakah ada puasa yang lain yang wajib bagi
diriku?” Rasul menjawab,”Tidak,kecuali kamu berpuasa sunnah”.Kemudian Rasul
menyebutkan zakat. Ia bertanya,”Apakah ada kewajiban selain zakat?”Rasul
menjawab,Tidak,kecuali kamu bersedekah sunnah”.Lantas laki-laki itu berbalik
berkata,”Aku tidak akan menambahi apapun mengurangi”.Rasulullah Saw
bersabda,”Dia beruntung jika jujur” atau “Dia masuk surga jika jujur”.
Hadits di atas menegaskan tidak ada kewajiban
harta selain zakat. Akan tetapi harus dipahami dalam konteks kualitas
kewajibannya sama persis dengan zakat, yakni sebagai suatu kewajiban harta yang
bersifat periodik. Penyebab kewajibannya melekat pada jenis dan jumlah harta
itu sendiri dengan ketentuan nisab dan kadar jumlah tertentu, tanpa memandang
kondisi orang-orang yang berhak menerimanya. Ini merupakan bentuk fardhu ai’in
yang wajib dipenuhi oleh seseorang yang memiliki harta tertentu yang mencapai
satu nisab, meskipun tidak fakir-miskin. Dalam kondisi normal, ia tidak
dituntut lebih daripada itu.
Adapun kwajiban harta selain zakat sangat
tergantung pada situasi dan kondisi serta kebutuhan atau bersifat aridhi
(muncul belakangan karena suatu sebab) dan bukan dzat dan tidak tertentu jumlahnya. Kewajiban akan
mengalami perubahan sesuai dengan perubahan lingkungan, situasi, dan kondisi.
Jika fakir-miskin dan orang-orang yang layak
untuk disantuni tidak ada dalam suatu waktu, kewajiban tersebut hilang dengan
sendirinya. Inilah tampaknya yang membedakan antara kewajiban zakat dengan
kewajiban pemberian santunan di luar zakat. Ibnu Hazm sendiri juga menyatakan
bahwa harta selain zakat tersebut ada selama zakat dan Kas Negara (bait al-mal)
tidak cukup untuk menanggungnya. Jika mencakupi, kewajiban itu hilang dengan
sendirinya. Dengan demikian, sebenarnya perbedaan antra kedua pendapat tersebut
tidak bertolak belakang sama sekali. Kelompok pertama menyatakan sebagai
kewajiban secarai kifai , dan kelompok kedua memandangnya sebagai sesuatu yan
sangat dianjurkan.
c.
Urgensi Zakat
Dalam persoalan zakat,Ibnu Hazm menekan pada
status zakat sebagai suatu kewajiban dan juga menekan peranan harta dalam upaya
memberantas kemiskinan.Menurutnya,pemerintah sebagai pengumpul zakat dapat
memberikan sanksi kepada orang yang enggan membayar zakat,sehingga orang mau
mengeluarkannya,baik suka rela maupun terpaksa.Jika ada yang menolak zakat
sebagai kewajiban,ia dianggap murtad.dengan cara ini hukuman dapat dijatuhkan
pada orang yang menolak kewajiban zakat,baik secara tersembunyi maupun
terang-terangan.
Ibnu Hazm menekankan bahwa kewajiban zakat
tidak akan hilang. Seseorang yang harus mengeluarkan zakat dan yang
belummengeluarkannya selama hdupnya harus dipenuhi kewajibannya itu dari
hartanya. Sebab tidak mengeluarkan zakat berarti punya hutang terhadap Allah
SWT. Hal ini berbeda dengan pengeluaran pajak dalam pandangan konvensional yang
jika tidak dibayarkan berarti kredit macet (tidak ada pemasukan) bagi Negara
dalam periode waktu tertentu. Sedangkan kewajiban zakat tidak dibatasi periode
waktu tertentu.
Persoalan
Pajak
Ibnu Hazm sangat focus terhadap factor
keadilan dalam system pajak.Menurutnya,sebelum segala sesuatunya diatur,hasrat
orang untuk mengeluarkan kewajiban pajak harus dipertimbangkan secara cermat
karena apapun kebutuhan seseorang terhadap apa yang dikeluarkannya akan
berpengaruh pada system dan jumlah pajak yang dikumpulkan.Hal ini mengajak kita
untuk mendiskusikan teori keuangan public (public finance) konvensional
berkaitan dengan kecenderungan orang untuk membayar pajak.
Ibnu Hazm konsen terhadap pengumpulan pajak
secara alami. Dalam hal ini, menurutnya, sikap kasar dan eksloratif dalam
pengumpulan pajak juga tidak boleh melampaui batas ketentuan syari’ah.
Hilangnya peran pembayar zakat juga berarti juga hilangnya eksistensi suatu
Negara. Hal ini mungkin terjadi karena hilangnya hasrat orang untuk membayar
pajak, sehingga mengurangi dukungan publik untuk tegaknya kekuasaan pemerintah.
Menurutnya pendapatan pajak potensial
mungkin muncul akibat terjadinya penyimpangan dan kecerobohan para
petugas pajak.
2.1.4
Koreksi terhadap Pendapat yang Mengatakan bahwa Ibnu Hazm Cenderung pada
Pemikiran Sosialis
Pengikut sosialis dan kapitalis
selalu memberikan label pada para penganut ideologinya.Dalam hal ini,Ibnu Hazm
oleh kelompok sosialis dianggap sebagai seorang sosialis muslim.Hal ini,perlu
diluruskan.Akan tetapi terlebih dahulu dilihat berbagai alas an berikut
sehingga Ibnu Hazm dianggap cenderung pada pemikiran sosialis:
ü Memperjuangkan kesejahteraan social
ü Menyertakan pajak pada orang kaya sehingga
mereka berperan dalam upaya pengentasan kemiskinan
ü Mendukung adanya intervernsi pemerintah
terutama dalam persoalan pajak
Ibnu Hazm secara konsisten cenderung pada
kepentingan sosialis meskipin dirinya berasal dari keluarga bangsawan dan ia
sendiri pernah menjabat sebagai wazir selama tiga periode
Sulit dibuktikan bahwa alasan utama mengapa
Ibnu Hazm dikatakan sebagai seorang sosialis berdasarkan empat alas an
tersebut.Masing-masing alas an menempatkan Ibnu Hazm pada posisi mana kelas
orang miskin dihadapkan secara berlawanan dengan orang kaya (adanya perbedaan
kelas).Terlebih lagi,Ibnu Hazm dinyatakan mendukung adanya intervensi Negara
dalam penyelesaian suatu persoalan.
Kesalahan konsepsi ini harus diluruskan
sebagai berikut:
1. Alasan mendasar yang digunakan dalam pemikiran Ibnu Hazm ini
adalah keadilan untuk tujuan Allah swt. Bukan karena adanya perbedaan kelas.
2. Pemikiran lain dari Ibnu Hazm sebagai contoh melarang keberadaan
pemaksaan (untuk pajak tertentu) yang dapat menghalangi kemajuan aktivitas
perdagangan.Disini, pemikiran Ibnu Hazm dipilih hanya untuk merefleksikan
ideology tertentu yang kebetulan mirip.Akan tetapi,terhadap kemiripan ini,satu
hal yang harus dicatat adalah dasal filosofis dan ideologinya sebenarnya
berbeda sama sekali
2.1.5
Koreksi terhadap Pandangan yang Menyatakan bahwa Ibnu Hazm Cenderung pada
Pemikiran Liberalis
Hal yang naïf kelompok pemikiran
liberal mengklaim bahwa Ibnu Hazm adalah penganut doktrin liberal dengan
mendasarkan pada beberapa alas an berikut:
1.
Perlawanan
terhadap pajak (kenyataannya adalah banyak pajak tidak sesuai syariah dalam
pandangannya)
2.
Perlawanannya
terhadap berbagai bentuk eksploitasi pengumpulan pajak. Kecendrungannya bahwa berbagai pajak tidak sesuai syariah
berakibatkan hilangnya berbagai produksi,kewirausahaan,dan perdagangan
(kelompok konvensional memahaminya seperti kelompok kapitalis)
3.
Penolakannya
terhadap pajak barang dagang yang dianggapnya dapat mempengaruhi nilai
penjualan dan menimbulkan berbagai efek lain yang terkait dengan aktivitas
ekonomi
Dengan demikian, kesalahan pandangan
telah terjadi.Seperti halnya Ibnu Hazm menolak berbagai pajak yang tidak sesuai
dengan criteria syariah bukan karena kecendrungannya terhadap pemikiran
liberalism atau kapitalisme.Ibnu Hazm menolak kesejahteraan industry,kesempatan
berusaha,dan perdagangan yang meninggalkan factor-faktor keadilan,sebagaimana
factor keadilan telah menjadi landasan utama dalam pembicaraannya tentang
kesejahteraan bagi orang-orang miskin.
AlMawardi (974 M)
Pada masa kejayaan islam di era kekhalifaan
Abbasiyah salah seorsang ulama berhasil mengukir sejarah emas tentang
pemikirannya ntuk kemajuan perekonomian dan politik yang ia merupakan penganut
mazhab syafi’i yang dikenal dengan nama Al-Mawardi. Dalam pemikirannya ia
menghasilkan tiga buah karya yaitu,
Kitab Adab ad-Dunya qa ad-Din, al-Hawi dan al-ahkam as-Sulthaniyah. Dalam Kitab
Adab Ad-Dunya Wa Ad-Din, ia memaparkan tentang perilaku ekonomi seorang muslim
serta empat jenis mata pencaharian utama, yaitu pertanian, peternakan,
perdagangan dan industri. Dalam kitab al-Hawi, di salah satu bagiannya,
Al-Mawardi secara khusus membahas tentang mudharabah dalam pandangan berbagai
mazhab. Dalam kitab Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, ia banyak menguraikan tentang
sistem pemerintahan dan administrasi negara Islam, seperti hak dan kewajiban
penguasa terhadap rakyatnya, berbagai lembaga negara, penerimaan dan
pengeluaran negara serta institusi hisbah
Dari ketiga karya tulis tersebut, para
peneliti ekonomi Islam tampaknya sepakat menyatakan bahwa Al-Ahkam As Sultaniyyah merupakan kitab yang paling komprehensif
dalam mempresentasikan pokok-pokok pemikiran ekonomi Al-Mawardi. Karena kitab
ini ia sangat terkenal dan bahkan kitab Al-Ahkam As Sultaniyyah juga
diterjemahkan kedalam berbagai bahasa. Kitab ini membahas tentang ekonomi dan
keuangan negara. Secara khusus dibahas pada bab 11,12,13 yang masing-masing
membahas tentang harta, sedekah, harta
fai dan ghanimah, serta jizyah dan kharaj.
Sumbangan utama Al-Mawardi
terletak pada pendapat mereka
tentang pembebanan pajak tambahan dan dibolehkannya peminjaman publik
Bahasan tentang ekonomi dan politik cukup
bagus untuk untuk bahas, karena ini bisa dipakai juga dalam perekonomian
kontemporer guna untuk memperbaiki perekonomian negara. Saat ini hampir semua terlena dengan kemajuan
teknologi dan pemikiran-pmikiran ekonomi
konvensional. Dalam kitab Al-Ahkan As-Sultaniyyah dijelaskan secara detail
tentang bagaimana cara-cara pemilihan kepala negara dan bagaimana mengatur
sistem pajak tambahan.
Pajak merupakan cara pemerintah untuk
menarik dana dari masyarakat yang merupakan instrumen dari pemerintah untuk
membantu masyarakat lemah. Dalam kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah menjelaskan
bahwa pajak itu adalah pungutan yang harus dibayar atas tanah. Selain itu kitab
ini juga menjelaskan tentang bagaimana pemilihan kepadala negara yang benar
Al-Mawardi menyebutkan secara detail tentang pemilhan kepala negara oleh Ahlul
halli wal aqli.
2.2.1 Riwayat
Hidup
Al-Mawardi merupakan seorang politik
ekonomi Islam. Ulama penganut mazhab Syafi’i ini bernama lengkap Abu Al-Hasan
Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-Basri Al-syafi’i lahir di kota Basrah
pada tahun 364 H (974M). Al-Mawardi
menerima pendidikan pertamanya di kota Basrah. Ia belajar ilmu hukum dari Abdul
Qasim Abdul Wahid as Saimari, dan kemudian di Baghdad untuk melanjutkan ilmu
hukumnya, tata bahasa dan kesussatraan
dari Abdul al-Bafi dan Syaikh Abdul Hamid al-Isfraini.
Kemampuan
Al-Mawardi dalam menguasai berbagai ilmu menghantarkannya kepada perjalanan
karier yang cemerlang Ia di percaya memangku jabatan qadhi (hakim) di Baghdad
pada tahun 499 Hijriah di masa
pemerintahan Khalifah Al-Qaim bi Amrillah Al-Abbasi. Sekalipun menjadi hakim ia tetap aktif
mengajar dan menulis. Kemudian berkelana keberbagai negari Islam untuk menuntut
ilmu. Di antara guru-guru Al-Mawardi adalah Al-Hasan bin Ali Muhammad
Al-Jabali., Muhammad bin Adi bin ZuharAl-Manqiri, Ja’far bin Muhammad bin
Al-Fadh; Al-Baghdadi, Abu Al-Qasim Al-Qusyairi, Muhammad bin Al-Ma’ali Al-Azdi,
dan Ali Abu Al-Asyfarayini.
Al-Mawardi hidup di masa dunia Islam terbagi kedalam
tiga dinasti yang saling bermusuhan, yaitu Dinasti Abbasiyah di Mesir, Dinasti
Umawiyah II di Andalusia dan Dinasti Abbasiyah di Baghdad, dan memperoleh
kekuasaan rertinggi di masanyka dengan ma yaitu sebagai mediator mereka dengan
musuh-musuhnya.
2.2.2 Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah
1.
Negara dan Aktivitas Ekonomi
Teori keuangan publik selalu terkait dengan peran negara
dalam kehidupan ekonomi. Al-Mawardi berpendapat bahwa pelaksanaan Imamah
(kepemimpinan politik dan keagamaan) merupakan kekuasaan mutlak (absolut) dan
pembentukannya merupakan suatu keharusan demi terpeliharanya agama dan
pengelolahan dunia. Sebuah negara Islam yang baik menurut Al-Mawardi
dianataranya memenuhi beerapa persyaratan sebagai berikut:
- Agama
- Penguasa Karismatik
- Keadilan Merata
- Keamanan yang Kuat dan Menjamin
- Kesuburan Tanah
- Harapan Keberlangsungan hidup
Al-Mawardi menyatakan bahwa negara
memiliki peran aktif demi terealisasinya tujuan material dan spiritual. Ia
menjadi kewajiban bagi penguasa dalam membantu merealisasikan kebaikan bersama,
yaitu memelihara kepentingan masyarakat serta mempertahankan stabilitas dan
pertumbuhan ekonomi.
Al-Mawardi juga berpendapat bahwa
negara harus menyediakan infrasturuktur yang diperlukan bagi perkembangan
ekonomi dan kesejahteraan umum. Ia juga menegaskan bahwa negara wajib mengatur
dan membiayai pembelanjaan yang dibutuhkan oleh layanan publik karena setiap
individu tidak mungkin membiayai layanan semacam itu. Dengan demikian, layanan publik merupakan
kewajiban sosial (faedhu kifayah) dan harus berstandar kepada kepentingann
publik.
Untuk memenuhi kepentingan umum, dan
pengadaan proyek negara dapat menggunakan dana Baitul Mal atau membebankan
kepada individu-individu yang memadai. Ia menyebutkan tugas-tugas negara dalam
kerangka pemenuhan kebutuhan dasar setiap negara sebagai berikut :
a.
Melindungi agama
b.
Menegakkan
hukum dan stabilitas
c.
Memelihara
batas negara Islam
d.
Menyediakan iklim ekonomi yang kondusif
e.
Menyediakan adm publik, peradilan dan
pelaksanaan hukum Islam
f.
Mengumpulkan
pendapatan dari berbagai sumber yang tersedia serta menaikkannya dengan menerapkan
pajak baru jika situasi menuntutnya, dan
g.
Membelanjakan
dana Baitul Maal untuk berbagai tujuan yang telah menjadi kewajibannya
Al-Mawardi menegaskan bahwa negara wajib mengatur dan membiayai
pembelanjaan yang dibutuhkan oleh layanan publik karena setiap individu tidak
mungkin membiayai jenis layanan itu. Dengan demikian, layanan publik merupakan
kewajiban sosial dan harus bersandar. Untuk membiayai berbagai barang dan jasa
disewa oleh negara dalam rangka mandatory fungsions.
Dengan demikian Al-Mawardi menegaskan bahwa pinjaman publik hanya
diperbolehkan untuk mandatory fungsions. Contohnya pembiayaan berbasis sewa
yaitu gaji tentara dan biaya pengadaan senjata. Jika dananya tidak mencukupi
maka, negara dapat melakukan pinjaman untuk memenuhi pinjaman tersebut.
2.
Perpajakan
Dalam bukunya Al-Ahkam al Sulthaniyyah menjelaskan pajak (kharaj) adalah
punggutan yang harus dibayar atas tanah. Tentang pajak ini tidak ada nash
sendiri dalamAl-Qur’an.
Kata kharaj berasal dari bahasa dari bahasa kharaja yang artinya keluar,
atau hasil yang dikeluarkan dari satu lahan. Islam membenarkan bahwa pajak atau
kharaj itu berdasarkan aturannya berdasarkan ijtihad para imam. Pemerintah
berhak menarik pajak sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat di
negaranya.
Pemerintah wajib memunggut pajak jika dalam kondisi negara yang membutuhkan. Al-Mawardi membagi tanah
yang dikenakan pajak menjadi dua macam yaitu :
¨
Tanah yang pemiliknya masuk Islam, dan ia menjadi pihak yang berhak atas
tanah itu. Menurut mazhab syafi’i tanah itu menjadi tanah sepersepuluh (Usyr)
dan tidak boleh dikenakan kharaj. Imam Abu Hanifah berpendapat, kepala
pemerintah dapat memilih antara menjadikanya sebagai lahan kharaj atau
sepersepuluh. Jika ia menjadikanya sebagai kharaj maka tanah itu tidak boleh
diubah menjadi tanah sepersepuluh, begitu juga sebaliknya.
¨
Tanah yang dirampas dari kaum Musyrikin dengan paksa dan kekuatan. Tanah
ini menurut mazhab Syafi’i menjadi harta rampasan perang yang dibagikan kepada
para tentara yang mendapatkan rampasan perang itu, dan ia menjadi tanah
sepersepuluh yang tidak boleh dipungut kharaj nya. Sementara itu Imam Malik
menjadikannya tanah wakaf bagi seluruh kaum muslimin dengan kewajiban
mengeluarkan kharaj yang ditetapkan atas tanah itu. Abu Hanifah berpendapat,
pemerintah atau kepala negara dapat memilih salah satu dari dua hal terebut.
¨
Tanah yang didapatkan dari kaum musyrikin dengan damai. Inilah tanah
yang dikhususkan dikenakan kharaj. Tanah seperti ini ada dua macam yaitu ,
pertama; tanah yang ditinggalkan oleh para pemiliknya sehingga tanah ini dapat
direbut oleh kaum muslimin tampa melalui perperangan. Kedua, tanah yang tetap
ditempati oleh para pemiliknya dan mereka berdamai dengan pasukan Islam, dan
pemilikan yang mereka pegang itu diakui.
Jadi dapat disimpulkan bahwa objek al-kharaj menurut al-Mawardi secara
substansi adalah tanah atau bumi yang dimamfaatkan.
Penilaian pajak menurut Al-Mawardi
bervariasi tergantung faktor kesuburan tanah dalam membayar pajak diantaranya yaitu :
·
Kesuburan
Tanah, Berdasarkan kesuburan tanah ini bisa dilihat jumlah produksi yang akan
dihasilkan oleh tanaman tersebut. Kalau tanahnya subur itu berarti jumlah
tanamannya berpotensi untuk subur juga.
·
Jenis Tanaman, Jenis tanaman ini juga
mempengaruhi pembayaran pajak, karena tanaman bervariasi, dengan harga yang
berbeda-beda. Kalau tanaman harganya murah maka bisa dikatakan jumlah pajaknya
juga sedikit.
·
Sistem
Irigasi, Dalam irigasi ini terbagi dua yaitu sistem irigasi secara manual dan
sistem irigasi secara alamiah. Maka untuk itu jumlah pajak yang mereka bayar
juga berbeda.
·
Jarak
Tanah dengan pasar. Jarak dari perkebunan ke pasar menjadi faktor yang sangat
dipertimbangkan dalam perhitungan pembayaran pajak. Karena jarak merupakan faktor yang sangat
penting selain dari faktor-faktor diatas.
Metode
penerapan kharaj atau pajak menurut Al-Mawardi menyarankan salah satu sari
metode yang pernah diterapkan dalam sejarah Islam, yaitu :
ü Metode Misahah, yaitu metode penetapan pajak berdasarkan ukuran
tanah. Metode ini merupakan fixed-tax. Metode ini terlepas apakah tanah ini
ditanami atau tidaknya, selama tanah tersebut memang bisa ditanami. Metode ini
merupakan masukan dari sahabat. Metode ini diterapkan pertama kali pada masa
Khalifah Umar ibn Al-Khattab berdasarkan masukan para sahabat yang melakukan
survey. Pada masa ini pajak berbeda-beda tiap tahunnya.
ü Metode Penetapan, yaitu metode penetapan pajak berdasarkan ukuran
tanah yang ditanami saja. Dalam objek
ini tanah subur yang tidak ditanami juga termasuk kedalam penilaian objek pajak. Metode ini
juga pernah diterapkan pada masa Khalifah Umar. Dimana penggenaan pajak dengan
menggunakan metode ini hanya dilakukan kepada wilayah tertentu saja.
ü Metode Musaqah, yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan
presentase dari produksi
(proportional tax). Dalam metode ini, pajak dipungut setelah tanaman mengalami masa panen. Metode ini pertama
kali diterapkan pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan
Al-Mahdi dan Harun ar-Rasyid.
Perbedaan keterangan pajak Al-mawardi dengan
Abu Yusuf, yakni terdapat pada :
Abu yusuf lebih menjelaskan dalam kitabnya Al-Kharaj tentang bagaimana
pembagian pajak kepada non muslim berdasarkan tanah-tanahnya. Tetapi kalau
Al-Mawardi lebih menjelaskan tentang pajak tanah yang subur dan ditanami.
3.
Baitul Mal
Administrasi Negara terbagi menjadi 4 bagian :
¨ Bagian yang mengurusi data diri tentara
dan besaran gajinya,
¨ Bagian pencatatan wilayah-wilayah yang
berada dalam kekuasaan negara Islam;
¨ Bagian pencatatan pegawai negara;
¨ Bagian pencatatan Baitul-Maal
Baitul Mal didirikan adalah untuk menyimpan pendapatan negara. Baitul Mal ini didirikan disetiap daerah,
guna untuk memudahkaSn menghimpun dana masyarakat. Berkaitan dengan
pembelanjaan negara Al-Mawardi menegaskan bahwa jika dana pada pos tertentu
tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan yang direncanakannya, pemerintah
dapat meminjam uang belanja tersebut dari pos yang lain. Al-Mawardi menyatakan
bahwa untuk menjamin pendistribusian harta Baitul Mal berjalan lancar dan tepat
sasaran, negara harus memberdayakan Dewan Hisbah semaksimal mungkinn. Dalam hal
ini, salah satu fungsi mustasib adalah memperhatikan kebutuhan publik serta
merekomendasikan pengadaan proyek kesejahteraan bagi masyarakat umum .
Al-Mawardi menegaskan tanggung jawab Baitul Mal adalah untuk memenuhi
kebutuhan publik. Ia mengklasifikasikan berbagai tanggung jawab Baitul Mal ke
dalam dua hal,yaitu:
Ø Tanggung Jawab yang timbul dari berbagai harta benda yang disimpan
di Baitul Mal sebagai amanah untuk didistribusikan kepada mereka yang berhak
Ø Tanggung Jawab yang timbul
seiring dengan adanya pendapatan yang menjadi aset kekayaan Baitul Mal itu
sendiri. Tanggung jawab ini terkait dengan pendapatan negara yang berasal dari
fai.
Tanggung jawab ini juga dibagi menjadi dua
oleh Al-Mawardi diantaranya, yaitu :
o
Tanggung
jawab yang timbul sebagai pengganti atas nilai yang diterima (badal), seperti
untuk pembayaran gaji para tentara dan biaya pengadaan senjata.
o
Tanggung jawab ini muncul melalui bantuan dan
kepentingan umum.
4.
Zakat
Pendistribusian zakat menurut Al-Mawardi yaitu pendistribusian zakat
merupakan kewajiban negara untuk mendistribusikannya kepada orang-orang fakir
dan miskin hanya pada sekedar untuk membebaskan mereka dari kemiskinan.
Menurut Al-Mawardi zakat harus di distribusikan di wilayah tempat yang
diambil, jika hendak mengalihkan zakatnya ke wilayah lain maka dengan syarat golongan mustahik zakat di
wilayah tersebut telah menerimanya secara memadai. Kalau terdapat surplus maka
wilayah yang berhak menerimanya adalab wilayah yang dekat dengan tempat yang di
ambil.
Zakat bukan hanya memiliki kekuatan politik saja, tapi zakat merupakan
suatu kewajiban yang sudah ada aturannya dari Allah. Zakat yang paling utama
adalah yang berkaitan dengan harta benda yang dapat tersembunyi dengan mudah.
Zakat wajib hukumnya bagi harta yang terlihat.
Menurut Al-Mawardi masyarakat bebas menjalankan kewajibannya terhadap
harta yang tersembunyi.
Berikut adalah kalimat petikan dari Al-Mawardi
: ini terdapat dalam kitab Al-Ahkam as-Sulthaniyyah.
Kekayaan yang dikenai zakat
terdiri dari dua jenis : yang nyata (zahirah) dan yang tersembunyi (batihah).
[Kekayaan] yang nyata adalah yang tidak dapat disembunyikan seperti tanaman,
buah, dan hewan ternak. [kekayaan] yang tersembunyi adalah yang dapat
disembunikan seperti emas, perak, dan keuntungan dagang. Pengurus zakat (wali
al-sadaqat) diarang menarik zakat dari kekayaan tersembunyi, karena pemilik
kekayaan jenis ini lebih berkuasa atasnya daripada pengurus zakat. Pengurus
zakat hanya boleh menerima zakat tersebut jika si pemilik memberikannya secara
sukarela. Dalam hal ini pengurus zakat sebenarnya hanya membantu menyalurkan
zakat tersebut. Penarikan zakat hanya berlaku atas kekayaan nyata. Pemilik
kekayaan wajib membayarkan zakat kepada pemerintah.”
Pendapat ini sama dengan ulama Abu Ya’ka al-Farra’, ia juga mempunyai
karya yang berjudul sama dengan Al-Mawardi yaitu Al-Ahkam as-Sulhtaniyya.
5.
Ghanimah
Ghanimah adalah harta yang diambil melalui
peperangan. Adapun Imam Al-Mawardi menjelaskan bahwa ghanimah itu ada empat
macam yaitu : Harta, Tanah, Tawanan perang (أسرى). Untuk tawanan perang, para ulama telah
sepakat bahwa hal tersebut diserahkan kepada kebijakan – yang memberikan
kemaslahatan pada kaum muslimin – Imam atau orang yang diberikan wewenang untuk
memimpin jihad apabila tawanan tersebut tetap dalam kekafirannya. Syafi’I
menyebutkan kebijakan itu adalah 1) dibunuh, 2) dijadikan hamba sahaya, 3)
ditebus atau pertukaran tawanan dan 4) diberikan amnesty. Sedangkan Malik
memberikan kebijakan yaitu dibunuh, dijadikan hamba sahaya dan pertukaran
tawanan. Adapun Abu Hanifah mengatakan bahwa kebijakan tersebut hanyalah
dibunuh atau dijadikan hamba sahaya.
Tawanan anak-anak atau wanita (السبي). Tawanan anak-anak dan wanita tidak boleh
dibunuh jika mereka termasuk ahlul kitab. Sedangkan selain ahlul kitab, Syafi’I
berpendapat jika menolak masuk Islam maka dibunuh, sedangkan Abu Hanifah
berpendapat dijadikan hamba sahaya dan saat dijadikan hamba sahaya, seorang ibu
tidak boleh dipisahkan dari anaknya yang masih kecil
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ibnu
Hazm bernama lengkap Abu Muhammad Ali abn Abu Umar Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm
al-Qurthubi al-Andalusy, lahir pada akhir bulan Ramadhan 184 H (994 M). Beliau
mulai berguru pada tahun 400 H. Di antara guru-guru Ibnu Hazm yang mewarnai
pemikirannya adalah Ibnu Abd Barr al-Maliki, Abu Umar Ahmad bin Husein, Yahya
bin Mas’ud, Abu al-Khiyar Mas’ud bin Sulaiman al-Dhahiri, Yunus bin Abdullah
al-Qadhi, Muhammad bin said bin sa’i, Abdullah bin al-Rabi’ al-Tamimi, Abdullah
bin Yusuf bin Nami. Ibnu Hazm memiliki pemikiran Ekonomi, diantaranya tentang:
a.
Sewa tanah dan pemerataan kesempatan
b.
Jaminan sosial bagi orang yang tidak mampu
c.
Urgensi zakat
d.
Persoalan pajak
Dari
pembahasan diatas telah kita pahami bahwa konsep ekonomi yang Ibnu hazm
tawarkan sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Namun jika kita lihat
kenyataan saat ini, konsep-konsep tersebut sudah mulai ditinggalkan. Meski
masih ada yang menerapkan konsep tersebut, tetapi sedikit sekali.
Ulama penganut mazhab Syafi’i bernama
lengkap Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-Basri Al-syafi’i
lahir di kota Basrah pada tahun 364 H (974M). Dalam pemikirannya ia
menghasilkan tiga buah karya yaitu,
Kitab Adab ad-Dunya qa ad-Din, al-Hawi dan al-ahkam as-Sulthaniyah. Dalam Kitab
Adab Ad-Dunya Wa Ad-Din, ia memaparkan tentang perilaku ekonomi seorang muslim
serta empat jenis mata pencaharian utama, yaitu pertanian, peternakan,
perdagangan dan industri. Dalam kitab al-Hawi, di salah satu bagiannya,
Al-Mawardi secara khusus membahas tentang mudharabah dalam pandangan berbagai
mazhab. Dalam kitab Al-Ahkan As-Sulthaniyyah, ia banyak menguraikan tentang
sistem pemerintahan dan administrasi negara Islam, seperti hak dan kewajiban
penguasa terhadap rakyatnya, berbagai lembaga negara, penerimaan dan
pengeluaran negara serta institusi hisbah.
Daftar Pustaka
Amalia, Euis. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam : Dari Masa Klasik Hingga
Kontemporer. Depok: Gramata Publishing
Amran, Azfarina. Ilmuan Islam Al-Mawardi : Scribd , Newspaper . hal. 3
Hamid, Nur. 2010. Jejak Langkah Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka pelajar
Karim, Adiwarman A. 2008. Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Syafi’ie WS, Muhammad. Pemikiran Politik
Al-Mawardi :by Scribd jurnal ilmiah di
publish oleh AnneDee AnggeRiati
http://imz.or.id/new/uploads/2011/10/Zakat-Sebagai-Lembaga-Keuangan-Publik-Khusus.pdf
http://kajianekonommuslim.blogspot.com/2014/01/anfal-ghanimah-fai-dan-khumus.html
QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
ReplyDelete-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
• BB : 2B3D83BE