Sunday 5 April 2015

Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali dan Asy-Syatibi


A.      Biografi Singkat al-Ghazali[1]
Beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad ath-Thusi asy-Syafii al-Ghazali, lebih terkenal dengan sebutan Imam al-Ghazali atau Hujjah al-Islam. Beliau dilahirkan pada tanggal 14 Jumadil Akhir 450 H/ 18 Desember 1058 M di Thus yang pada waktu itu termasuk ke dalam wilayah Khurasan, Persia atau Iran pada saat ini.

Jarang kita dapati orang yang mengkaji pemikiran al-Ghazali dari sudut pandang lain selain tasawuf. Dari sudut pandang ekonomi misalnya, walaupun beliau terkenal sebagai seorang yang ahli di bidang tasawuf, bukan berarti beliau tidak memperhatikan masalah-masalah yang lain atau malah meninggalkan keduniawian.
Pemikiran sosio ekonomi al-Ghazali berakar dari sebuah konsep yang dia sebut sebagai “fungsi kesejahteraan sosial islami”. Tema yang menjadi pangkal tolak seluruh karyanya adalah konsep maslahah atau kesejahteraan sosial atau utilitas (kebaikan bersama), yakni sebuah konsep yang mencakup semua aktivitas manusia dan membuat kaitan yang erat antara individu dengan masyarakat. [2]
Bahasan ekonomi al-Ghazali antara lain meliputi uang, perdagangan, pembagian tenaga kerja, perilaku konsumsi, dan organisasi masyarakat dalam perekonomian. Menurut al-Ghazali, maslahah adalah menigkatkan kesejahteraan seluruh manusia, yang terletak pada perlindungan keimanan (hifz ad-din) mereka, jiwa (an-nafs), akal (al-aql), keturunan (an-Nasl), dan kekayaan (al-mal) mereka. Apapun yang menjamin perlindungan kelima ini akan menjamin kepentingan publik dan merupakan hal yang diinginkan, begitu pula sebaliknya.
Dalam Ihya ‘Ulum al Din al-Ghazali telah mendiskusikan kerugian dari sistem barter dan pentingnya uang sebagai alat tukar (means of exchange) dan pengukur nilai (unit of account) barang dan jasa. Ia mengibaratkan uang sebagai cermin. Cermin tidak punya warna namun dapat merefleksikan semua warna. Uang bukanlah komoditas sehingga tidak dapat diperjualbelikan. Memperjualbelikan uang ibarat memenjarakan uang, sebab hal ini akan mengurangi jumlah uang yang berfungsi sebagai alat tukar.
1)        Evolusi Pasar
Bagi al-Ghazali pasar merupakan bagian dari “keteraturan alami”. Secara rinci, ia juga menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar. Al-Ghazali menyatakan:
“Dapat saja petani hidup dimana alat-alat pertanian tidak tersedia, sebaliknya pandai besi dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian tidak ada. Namun  secara alam, mereka akan saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan makan, tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut atau sebaliknya. Keadaan ini menimbulkan masalah. Oleh  karena itu, secara alami pula orang akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat di satu pihak dan tempat penyimpanan hasil sesuai dengan  kebutuhan msing-masing sehingga terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu, dan pandai besi yang tidak dapat langsung melakukan barter juga terdorong pergi ke pasar ini. Bila di pasar juga tidak ditemukan orang yang melakukan barter, ia akan menjual pada pedagang dengan harga yang relatif murah untuk kemudian disimpan sebagai persediaan. Pedagang kemudian menjual dengan suatu tingkat keuntungan. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang”.[3]
Jadi bagi al-Ghazali,  pasar berevolusi sebagai bagian dari “hukum alam” segala sesuatu, yakni sebuah ekspresi berbagai hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling memuaskan kebutuhan  ekonomi. Untuk memperjelas hal ini Al-Ghazali juga menjelaskan praktik-praktik ekonomi sebagai berikut:


a.        Praktek perdagangan antar wilayah
Al-Ghazali juga menjelaskan praktik perdagangan antar wilayah beserta dampak yang ditimbulkannya. Selanjutnya praktik-praktik ini terjadi di berbagai kota dan negara, orang-orang melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk mendapatkan alat-alat makan dan membawanya ke tempat lain. Urusan ekonomi orang akhirnya diorganisasikan ke kota-kota dimana tidak seluruh makan dibutuhkan. Keadaan inilah yang pada gilirannya menimbulkan kebutuhan terhadap alat transportasi. Tercipta kelas pedagang regional dalam masyarakat. Motifnya tentu saja mencari keuntungan. Para pedagang ini bekerja keras memenuhi kebutuhan orang lain dan mendapat keuntungan dan keuntungan ini akhirnya dimakan oleh orang lain juga.[4]
b.        Teori permintaan dan penawaran
Al-Ghazali juga memperkenalkan teori permintaan dan penawaran, jika petani tidak mendapatkan pembeli, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah, dan harga dapat diturunkan dengan menambah jumlah barang di pasar. Ghazali juga memperkenalkan elastisitas permintaan, ia mengidentifikasikan permintaan produk makanan adalah inelastic, karena makanan adalah kebutuhan pokok. Oleh karena perdagangan makanan motif mencari keuntungan yang tinggi harus diminimalisir, jika ingin mendapatkan keuntungan tinggi dari perdagangan, selayaknya dicari barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok.
2)        Aktivitas Produksi

Al-Ghazali yang menyatakan bahwa kebutuhan hidup manusia itu terdiri dari tiga, kebutuhan primer (dharurriyah), sekunder (hajiyat), dan kebutuhan mewah (tahsiniyyat).[5]
Secara garis besar, ia membagi aktivitas produksi ke dalam tiga kelompok berikut[6] :
1)      Industry dasar, yakni industri-industri yang menjadi kelangsungan hidup manusia. Kelompok ini terdiri dari empat jenis aktivitas, yakni agrikultur untuk makanan, tekstil untuk pakaian, konstruksi untuk perumahan, dan aktivitas negara, termasuk penyediaan infrasturktur, khususnya untuk mamfasilitasi produksi kebutuhan barang-barang pokok dan untuk meningkatkan kerja sama dan koordinasi antar pihak-pihak yang terlibat dalam produksi.
2)      Aktivitas penyokong, yakni aktivitas yang bersifat tambahan bagi industri dasar, seperti industri baja, eksplorasi dan pengembangan tambang serta sumber daya hutan.
3)      Aktivitas komplementer, berkaitan dengan industri dasar, seperti penggiling dan pembakaran produk-produk agrikultur.

3)        Evolusi Uang dan Permasalahan Barter
a.         Problema Barter dan Kebutuhan Terhadap Uang
Pada zaman dahulu transaksi jual beli dilakukan dengan menggunakan sistem barter. Kelemahan sistem barter menurut al-Ghazali lebih disebabkan karena tidak adanya ukuran yang pasti mengenai samanya nilai suatu barang jika hendak ditukarkan dengan nilai barang lainnya.
Karena adanya kesulitan dalam sistem barter ini, maka sejak berabad-abad yang lalu banyak orang yang mulai menggunakan mata uang untuk memperlancar kegiatan transaksi jual beli, yaitu dengan menjadikan barang-barang tertentu sebagai uang.
Al-Ghazali mengemukakan tentang kesulitan yang akan dihadapi dlam bertransksi jika masih menggunakan sistem barter. Hal ini dapat dilihat dalam ungkapannya :
“sebagaimana pakaian ditukar dengan makanan dan hewan dengan pakaian, hal ini sudah tidak sesuai lagi pada saat ini. Oleh karenanya, perlu adanya penengah yang bijak untuk menyikapi hal ini. Maka dicarilah penengah yang bijak itu dari barang-barang tambang yang berharga dan dapat tahan lama. Dari sinilah uang dibuat; baik itu terbuat dari emas, perak, ataupun timah. Kemudian kebutuhan pun meningkat sampai pada pencetakan uang dan penentuan satuan nilainya dan tempat pencetakan tentunya serta  pertukaran uang”.
Beliau juga memiliki pendapat tersendiri –kelak akan diikuti oleh ekonom konvensional- mengenai fungsi uang. Setidaknya ada dua fungsi utama uang, yaitu:
Pertama, allah Awt menjadikan uang (dinar dan dirham) sebagai hakin dari penengah diantara harta benda lainnya, sehingga harta benda tersebut dapat diukur nilainya dengan uang (dinar dan dirham) yang oleh para ekonom setelah beliau diistilahkan menjadi satuan nilai.
Kedua, uang (dinar dan dirham) menjadi perantara untuk memperoleh barang-barang lainnya. Karena uang tidak dapat memiliki manfaat pada dirinya sendiri, namun ia memiliki manfaat bila dipergunakan untuk hal-hal yang lain. Oleh para ekonom setelahnya diistilahkan dengan alat pertukaran.[7]
b.        Riba dan Pertukaran uang[8]
Al-Ghazali tidak hanya mengharamkan Riba, melainkan juga menganjurkan untuk menjauhi dan menghindari praktek tersebut. Riba tidak hanya dapat terjadi pada transaksi pertukaran uang saja, melainkan dapat juga terjadi pada pertukaran bahan makanan dan lain sebagainya. Menurut beliau riba yang harus diwaspadai dalam transaksi bisnis adalah riba nasiah (kelebihan dalam pembayaran utang) dan riba fadhl (tambahan dalam suatu transaksi jual-beli).
Al-Ghazali menyebutkan bahwa siapa saja yang melakukan transaksi pertukaran uang yang didalamnya terdapat unsur riba, maka orang tersebut telah mengingkari nikmat Allah yang diberikan padanya dan telah berbuat zhalim. Beliau hanya memperbolehkan pertukaran uang sejenis dan sama nilainya.
c.         Penimbunan dan Pemalsuan Uang
Al-Ghazali menyatakan bahwa tujuan satu-satunya dari emas dan perak adalah untuk dipergunakan sebagai uang (dinar dan dirham). Ia mengutuk mereka yang menimbun kepingan-kepingan uang atau mengubahnya menjadi bentuk yang lain.[9]
Masalah yang juga disorot oleh beliau adalah mengenai pemalsuan uang. Menurutnya, mencetak dan mengedarkan uang palsu lebih berbahaya ketimbang mencuri uang seribu dirham. Hal itu dikarenakan mencuri adalah suatu dosa yang hanya dicatat sekali. Sedangkan dosa dari perbuatan memalsukan dan mengedarkan uang palsu adalah berlipat ganda, setiap kali uang tersebut digunakan[10].

4)        Peranan Negara dan Keuangan Publik[11]
a.         Kemajuan Ekonomi Melalui Keadilan, Kedamaian, dan Stabilitas
Ia menitikberatkan bahwa untuk meningkatkan kemakmuran ekonomi negara harus menegakkan keadilan, kedamaian, dan keamanan, serta stabilitas. Ia menekankan perlunya keadilan, serta “aturan yang adil dan seimbang”.
Al-Ghazali memperingatkan penguasa untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan, sombong, terbuai oleh sanjungan, serta bersikap waspada terhadap ulama-ulama palsu.
b.        Keuangan Publik
1.      Sumber-sumber Pendapatan Negara
Al-Ghazali menyebutkan bahwa salah satu sumber pendapatan yang halal adalah harta tanpa ahli waris yang pemiliknya tidak dapat dilacak, ditambah sumbangan sedekah atau wakaf yang tidak ada pengelolanya.
Al-Ghazali menyarankan agar dalam memanfaatkan pendapatan negara, negara bersikap fleksibel yang berlandaskan kesejahteraan.
2.      Utang Publik
Al-Ghazali mengizinkan utang publik jika kemungkinan untuk pembayaran kembali dari pendapatan dimasa yang akan datang. Pada masa kini, contoh utang seperti ini adalah revenue bonds yang digunakan secara luas oleh pemerintah pusat dan lokal di Amerika Serikat.
3.      Pengeluaran Publik
Al-ghazali berkata bahwa sumber daya publik “seharusnya dibelanjakan untuk pembuatan jembatan-jembatan, bangunan-bangunan keagamaan (masjid), pondokan, jalan-jalan dan aktifitas lainnya yang senada manfaatnya dapat dirasakan oleh rakyat secara umumnya:.
Di lain tempat, ia menyatakan bahwa pengeluaran publik dapat diadakan untuk fungsi-fungsi seperti pendidikan, hukum dan administrasi publik, pertahanan dan pelayanan kesehatan.
Al-Ghazali menenkankan kejujuran dan efisiensi dalam urusan sektor publik.

2.     As-Syatibi

A.    Biografi Singkat Imam As-Syatibi
            Imam Asy-Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Gharnati Asy-Syatibi merupakan salah seorang cendikiawan muslim yang belum banyak diketahui latar belakang kehidupannya. Yang jelas ia berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama asy-Syatibi dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau Jativa), yang terletak di kawasan Spanyol.[12]

B.     Konsep Maqasid Syariah
Sebagai sumber utama agama Islam, al-Quran mengandung berbagai ajaran. Ulama membagi kandungan al-Quran dalam tiga bagian besar, yaitu aqidah, akhlak, dan syari’ah. Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, akhlak berkaitan dengan etika dan syari’ah berkaitan dengan berbagai aspek hukum yang muncul dari aqwal (perkataan) dan af’al (perbuatan). Kelompok terakhir (syariah), dalam sistematika hukum Islam, dibagi dalam dua hal, yakni ibadah (habl min Allah) dan Muamalah (habl min al-nas)[13]
Al-Quran dan Hadis Nabi dijadikan pijakan ulama dalam mengembangkan hukum Islam, terutama di bidang Muamalah. Dalam kerangka ini al-Syatibi mengemumakakan konsep maqasid al-syari’ah.
Secara bahasa, Maqasid al-Syatibi terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan al-syari’ah berarti jalan menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan.[14] Menurut istilah, al-Syatibi menyatakan, “Sesungguhnya syari’ah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat”.
Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa tujuan syari’ah menurut al-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Kemaslahatan dalam hal ini diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualitasnya dalam pengertian yang mutlak.
Pembagian Maqasid al-Syari’ah
Menurut al-Syatibi, kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam kerangka ini, ia membagi maqasid menjadi tiga tingkatan, yaitu Dharuriyat, hajiyat, tahsiniyat.[15]
a)      Dharuriyat, dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia
b)      Hajiyat, dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik.
c)      Tahsiniyat, dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok tersebut.
Dalam hal ini, Mustafa Anas Zarqa, seorang ulama besar asal Yordania menjelaskan bahwa tidak terwujudnya aspek dharuriyat dapat merusak kehidupan manusia dunia dan akhirat secara keseluruhan. Pengabaian terhadap aspek hajiyat tidak sampai merusak keberadaan lima unsur pokok, tetapi hanya membawa kesulitan bagi manusia sebagai mukallaf dalam merealisasikannya. Adapun pengabaian dalam aspek tahsiniyat mengakibatkan upaya pemeliharaan lima unsur pokok yang tidak sempurna.
Apabila dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan lima unsur pokok secara tidak sempurna, ketiga tingkat maqasid tersebut tidak dapat dipisahkan. Tampaknya, bagi asy-syatibi tingkat hajiyat adalah penyempurna tingkat dharuriyat, tingkat tahsiniyat merupakan penyempurna lain bagi tingkat hajiyat, sedangkan dharuriyat menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat.
C.    Beberapa pandangan al-Syatibi Di Bidang Ekonomi
a.      Objek Kepemilikan
Pada dasarnnya, al-Syatibi mengakui hak milik individu. Namun, ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup banyak orang. Ia menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan dan penggunaannya tidak bisa dimiliki oleh seorang pun. Dalam hal ini, ia membedakan dua macam air, yaitu: air yang tidak dapat dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air sungai dan oase, dan air yang bisa dijadikan kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang tanah milik individu. Ia menyatakan bahwa tidak ada hak kepemilikan yang dapat diklaim terhadap sungai dikarenakan adanya pembangunan pam.[16]
b.      Pajak
Dalam pemikiran al-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum). Dengan mengutip pendapat para pendahulunya, seperti al-Ghazali dan Ibnu al-Farra, ia menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung jawab masyarakat. Dalam kondisi tidak mampu melaksanakan tanggung jawab ini, masyarakat bisa mengalihkannya kepada Baitul Maal serta menyumbangkan sebagian kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap rakyatnya, sekalipun pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah Islam.



Kesimpulan
Bahwa pemikiran Al-Ghazali mengenai perekonomian Islam yaitu Pemikiran sosio ekonomi yang berakar dari sebuah konsep yang Ia sebut sebagai “fungsi kesejahteraan sosial”. Al-Ghazali telah mengidentifikasikan semua masalah baik yang berupa mashalih (utilitas, manfaat) maupun mafasid (disutilitas, kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan sosial. Menurut Al-Ghazali, kesejahteran (maslahah) dari suatu masyarakat tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar, yakni agama (al-dien), hidup atau jiwa (nafs) keluarga atau keturunan (nasl), harta atau kekayaan (mal), dan intelek atau akal (aql).
            Mayoritas pembahasan Al-Ghazali mengenai berbagai pembahasan ekonomi terdapat  dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din.
      1.            Pertukaran sukarela dan evolusi pasar, yang meliputi;
a.       Permintaan,penawaran,harga,dan laba.
b.      Etika perilaku dasar.
      2.            Produksi barang, yang meliputi;
a.       Produksi barang-barang kebutuhan dasar sebagai kewajiban social.
b.      Hierarki produksi.
c.       Tahapan produksi, spesialisasi, dan keterkaitannya.
      3.            Barter dan Evolusi barang, yang meliputi;
a.       Problema Barter dan kebutuhan terhadap uang.
b.      Uang yang tidak bermanfaat dan penimbunan bertentangan dengan hukum illahi.
c.       Pemalsuan dan penurunan nilai uang.
d.      Larangan Riba’.
      4.            Peran Negara dan Keuangan Publik,yang meliputi;
a.       Kemajuan ekonomi melalui keadilan, kedamaian, dan stabilitas.
b.      Keuangan publik ( sumber negara, utang publik, dan pengeluaran publik ).

Dalam pemikiran As-Syatibi, kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam kerangka ini, ia membagi maqasid menjadi tiga tingkatan, yaitu Dharuriyat, hajiyat, tahsiniyat. Pada dasarnnya, al-Syatibi mengakui hak milik individu. Namun, ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup banyak orang. Pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum). Dengan mengutip pendapat para pendahulunya, seperti al-Ghazali dan Ibnu al-Farra, ia menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung jawab masyarakat.



Daftar Pustaka
Karim, Adiwarman Azhar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006)
Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. (Jakarta: Gramata Publishing, 2005)





[1]   Euis Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. (Depok: Gramata Publiishing, 2010). Hal. 163.
[2] Adiwarman Azwar Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006). Hal. 317.
[3] Ibid., hal. 157.
[4] Ibid., hal 158.
[5] Misbahul Munir. Ajaran-Ajaran Ekonomi Rasulullah Kajian Hadits Nabi dalam Perspektif Ekonomi. (Jakarta: UIN-Press, 2007). Hal. 17-18.
[6] Adiwarman Azhar Karim. Op. Cit., hal. 329-330.
[7] Euis Amalia, Op. Cit., hal. 170-173.
[8] Ibid., hal 176-177
[9] Adiwarman Azhar Karim. Op. Cit., hal. 336.
[10] Euis Amalia. Op. Cit., hal 177.
[11] Ibid,. Hal 340-349.
[12] Abdul Aziz Dahlan, Suplemen Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Van Hoeve,1996), hlm: 61
[13] Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul Fiqh (Kairo: Dar al-Khuwaitiyah, 1968), hlm:32
[14] Fazlurrahman, Islam (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), hlm: 140
[15] Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th), Jilid 2, hlm 347.
[16] Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam: Studi Tentang Hidup Pemikiran al-Syatibi., hlm: 136

No comments:

Post a Comment