A.
Biografi
Singkat al-Ghazali[1]
Beliau adalah
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad ath-Thusi asy-Syafii al-Ghazali,
lebih terkenal dengan sebutan Imam al-Ghazali atau Hujjah al-Islam. Beliau
dilahirkan pada tanggal 14 Jumadil Akhir 450 H/ 18 Desember 1058 M di Thus yang
pada waktu itu termasuk ke dalam wilayah Khurasan, Persia atau Iran pada saat
ini.
Jarang kita
dapati orang yang mengkaji pemikiran al-Ghazali dari sudut pandang lain selain
tasawuf. Dari sudut pandang ekonomi misalnya, walaupun beliau terkenal sebagai
seorang yang ahli di bidang tasawuf, bukan berarti beliau tidak memperhatikan
masalah-masalah yang lain atau malah meninggalkan keduniawian.
Pemikiran
sosio ekonomi al-Ghazali berakar dari sebuah konsep yang dia sebut sebagai
“fungsi kesejahteraan sosial islami”. Tema yang menjadi pangkal tolak seluruh
karyanya adalah konsep maslahah atau kesejahteraan sosial atau utilitas
(kebaikan bersama), yakni sebuah konsep yang mencakup semua aktivitas manusia
dan membuat kaitan yang erat antara individu dengan masyarakat. [2]
Bahasan
ekonomi al-Ghazali antara lain meliputi uang, perdagangan, pembagian tenaga
kerja, perilaku konsumsi, dan organisasi masyarakat dalam perekonomian. Menurut
al-Ghazali, maslahah adalah menigkatkan kesejahteraan seluruh manusia, yang
terletak pada perlindungan keimanan (hifz ad-din) mereka, jiwa (an-nafs),
akal (al-aql), keturunan (an-Nasl), dan kekayaan (al-mal)
mereka. Apapun yang menjamin perlindungan kelima ini akan menjamin kepentingan
publik dan merupakan hal yang diinginkan, begitu pula sebaliknya.
Dalam Ihya
‘Ulum al Din al-Ghazali telah mendiskusikan kerugian dari sistem barter dan
pentingnya uang sebagai alat tukar (means of exchange) dan pengukur
nilai (unit of account) barang dan jasa. Ia mengibaratkan uang sebagai
cermin. Cermin tidak punya warna namun dapat merefleksikan semua warna. Uang
bukanlah komoditas sehingga tidak dapat diperjualbelikan. Memperjualbelikan
uang ibarat memenjarakan uang, sebab hal ini akan mengurangi jumlah uang yang
berfungsi sebagai alat tukar.
1)
Evolusi Pasar
Bagi al-Ghazali pasar merupakan
bagian dari “keteraturan alami”. Secara rinci, ia juga menerangkan bagaimana evolusi
terciptanya pasar. Al-Ghazali menyatakan:
“Dapat saja
petani hidup dimana alat-alat pertanian tidak tersedia, sebaliknya pandai besi
dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian tidak ada. Namun secara alam, mereka akan saling memenuhi
kebutuhan masing-masing. Dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan makan,
tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut atau sebaliknya. Keadaan ini
menimbulkan masalah. Oleh karena itu,
secara alami pula orang akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan
alat-alat di satu pihak dan tempat penyimpanan hasil sesuai dengan kebutuhan msing-masing sehingga terbentuklah
pasar. Petani, tukang kayu, dan pandai
besi yang tidak dapat langsung melakukan barter juga terdorong pergi ke
pasar ini. Bila di pasar juga tidak ditemukan orang yang melakukan barter,
ia akan menjual pada pedagang dengan harga yang relatif murah untuk kemudian
disimpan sebagai persediaan. Pedagang kemudian menjual dengan suatu tingkat
keuntungan. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang”.[3]
Jadi bagi al-Ghazali, pasar berevolusi sebagai bagian dari “hukum
alam” segala sesuatu, yakni sebuah ekspresi berbagai hasrat yang timbul dari
diri sendiri untuk saling memuaskan kebutuhan ekonomi. Untuk memperjelas hal ini Al-Ghazali juga
menjelaskan praktik-praktik ekonomi sebagai berikut:
a.
Praktek
perdagangan antar wilayah
Al-Ghazali
juga menjelaskan praktik perdagangan antar wilayah beserta dampak yang ditimbulkannya.
Selanjutnya praktik-praktik ini terjadi di berbagai kota dan negara,
orang-orang melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk mendapatkan alat-alat
makan dan membawanya ke tempat lain. Urusan ekonomi orang akhirnya diorganisasikan
ke kota-kota dimana tidak seluruh makan dibutuhkan. Keadaan inilah yang pada
gilirannya menimbulkan kebutuhan terhadap alat transportasi. Tercipta kelas
pedagang regional dalam masyarakat. Motifnya tentu saja mencari
keuntungan. Para pedagang ini bekerja keras memenuhi kebutuhan orang lain dan
mendapat keuntungan dan keuntungan ini akhirnya dimakan oleh orang lain juga.[4]
b.
Teori
permintaan dan penawaran
Al-Ghazali
juga memperkenalkan teori permintaan dan penawaran, jika petani tidak
mendapatkan pembeli, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah, dan harga
dapat diturunkan dengan menambah jumlah barang di pasar. Ghazali juga
memperkenalkan elastisitas permintaan, ia mengidentifikasikan permintaan
produk makanan adalah inelastic, karena makanan adalah kebutuhan pokok.
Oleh karena perdagangan makanan motif mencari keuntungan yang tinggi harus
diminimalisir, jika ingin mendapatkan keuntungan tinggi dari perdagangan,
selayaknya dicari barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok.
2)
Aktivitas
Produksi
Al-Ghazali yang menyatakan bahwa
kebutuhan hidup manusia itu terdiri dari tiga, kebutuhan primer (dharurriyah),
sekunder (hajiyat), dan kebutuhan mewah (tahsiniyyat).[5]
Secara garis
besar, ia membagi aktivitas produksi ke dalam tiga kelompok berikut[6] :
1)
Industry dasar, yakni industri-industri
yang menjadi kelangsungan hidup manusia. Kelompok ini terdiri dari empat jenis
aktivitas, yakni agrikultur untuk makanan, tekstil untuk pakaian, konstruksi
untuk perumahan, dan aktivitas negara, termasuk penyediaan infrasturktur,
khususnya untuk mamfasilitasi produksi kebutuhan barang-barang pokok dan untuk
meningkatkan kerja sama dan koordinasi antar pihak-pihak yang terlibat dalam
produksi.
2)
Aktivitas penyokong, yakni
aktivitas yang bersifat tambahan bagi industri dasar, seperti industri baja,
eksplorasi dan pengembangan tambang serta sumber daya hutan.
3)
Aktivitas komplementer, berkaitan
dengan industri dasar, seperti penggiling dan pembakaran produk-produk agrikultur.
3)
Evolusi Uang
dan Permasalahan Barter
a.
Problema Barter dan Kebutuhan
Terhadap Uang
Pada zaman
dahulu transaksi jual beli dilakukan dengan menggunakan sistem barter.
Kelemahan sistem barter menurut al-Ghazali lebih disebabkan karena tidak
adanya ukuran yang pasti mengenai samanya nilai suatu barang jika hendak
ditukarkan dengan nilai barang lainnya.
Karena adanya
kesulitan dalam sistem barter ini, maka sejak berabad-abad yang lalu
banyak orang yang mulai menggunakan mata uang untuk memperlancar kegiatan
transaksi jual beli, yaitu dengan menjadikan barang-barang tertentu sebagai
uang.
Al-Ghazali
mengemukakan tentang kesulitan yang akan dihadapi dlam bertransksi jika masih
menggunakan sistem barter. Hal ini dapat dilihat dalam ungkapannya :
“sebagaimana
pakaian ditukar dengan makanan dan hewan dengan pakaian, hal ini sudah tidak
sesuai lagi pada saat ini. Oleh karenanya, perlu adanya penengah yang bijak
untuk menyikapi hal ini. Maka dicarilah penengah yang bijak itu dari
barang-barang tambang yang berharga dan dapat tahan lama. Dari sinilah uang
dibuat; baik itu terbuat dari emas, perak, ataupun timah. Kemudian kebutuhan
pun meningkat sampai pada pencetakan uang dan penentuan satuan nilainya dan tempat
pencetakan tentunya serta pertukaran
uang”.
Beliau juga
memiliki pendapat tersendiri –kelak akan diikuti oleh ekonom konvensional-
mengenai fungsi uang. Setidaknya ada dua fungsi utama uang, yaitu:
Pertama, allah Awt
menjadikan uang (dinar dan dirham) sebagai hakin dari penengah diantara harta
benda lainnya, sehingga harta benda tersebut dapat diukur nilainya dengan uang
(dinar dan dirham) yang oleh para ekonom setelah beliau diistilahkan menjadi
satuan nilai.
Kedua, uang (dinar
dan dirham) menjadi perantara untuk memperoleh barang-barang lainnya. Karena
uang tidak dapat memiliki manfaat pada dirinya sendiri, namun ia memiliki
manfaat bila dipergunakan untuk hal-hal yang lain. Oleh para ekonom setelahnya
diistilahkan dengan alat pertukaran.[7]
b.
Riba dan Pertukaran uang[8]
Al-Ghazali
tidak hanya mengharamkan Riba, melainkan juga menganjurkan untuk menjauhi dan
menghindari praktek tersebut. Riba tidak hanya dapat terjadi pada transaksi pertukaran
uang saja, melainkan dapat juga terjadi pada pertukaran bahan makanan dan lain
sebagainya. Menurut beliau riba yang harus diwaspadai dalam transaksi bisnis
adalah riba nasiah (kelebihan dalam pembayaran utang) dan riba fadhl
(tambahan dalam suatu transaksi jual-beli).
Al-Ghazali
menyebutkan bahwa siapa saja yang melakukan transaksi pertukaran uang yang
didalamnya terdapat unsur riba, maka orang tersebut telah mengingkari nikmat Allah
yang diberikan padanya dan telah berbuat zhalim. Beliau hanya memperbolehkan
pertukaran uang sejenis dan sama nilainya.
c.
Penimbunan dan Pemalsuan Uang
Al-Ghazali
menyatakan bahwa tujuan satu-satunya dari emas dan perak adalah untuk
dipergunakan sebagai uang (dinar dan dirham). Ia mengutuk mereka yang menimbun
kepingan-kepingan uang atau mengubahnya menjadi bentuk yang lain.[9]
Masalah yang
juga disorot oleh beliau adalah mengenai pemalsuan uang. Menurutnya, mencetak
dan mengedarkan uang palsu lebih berbahaya ketimbang mencuri uang seribu
dirham. Hal itu dikarenakan mencuri adalah suatu dosa yang hanya dicatat
sekali. Sedangkan dosa dari perbuatan memalsukan dan mengedarkan uang palsu
adalah berlipat ganda, setiap kali uang tersebut digunakan[10].
4)
Peranan Negara
dan Keuangan Publik[11]
a.
Kemajuan Ekonomi Melalui Keadilan,
Kedamaian, dan Stabilitas
Ia
menitikberatkan bahwa untuk meningkatkan kemakmuran ekonomi negara harus
menegakkan keadilan, kedamaian, dan keamanan, serta stabilitas. Ia menekankan
perlunya keadilan, serta “aturan yang adil dan seimbang”.
Al-Ghazali
memperingatkan penguasa untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan, sombong, terbuai
oleh sanjungan, serta bersikap waspada terhadap ulama-ulama palsu.
b.
Keuangan Publik
1. Sumber-sumber
Pendapatan Negara
Al-Ghazali menyebutkan bahwa salah satu sumber
pendapatan yang halal adalah harta tanpa ahli waris yang pemiliknya tidak dapat
dilacak, ditambah sumbangan sedekah atau wakaf yang tidak ada pengelolanya.
Al-Ghazali menyarankan agar dalam memanfaatkan
pendapatan negara, negara bersikap fleksibel yang berlandaskan kesejahteraan.
2. Utang Publik
Al-Ghazali mengizinkan utang publik jika
kemungkinan untuk pembayaran kembali dari pendapatan dimasa yang akan datang.
Pada masa kini, contoh utang seperti ini adalah revenue bonds yang
digunakan secara luas oleh pemerintah pusat dan lokal di Amerika Serikat.
3. Pengeluaran
Publik
Al-ghazali berkata bahwa sumber daya publik
“seharusnya dibelanjakan untuk pembuatan jembatan-jembatan, bangunan-bangunan
keagamaan (masjid), pondokan, jalan-jalan dan aktifitas lainnya yang senada
manfaatnya dapat dirasakan oleh rakyat secara umumnya:.
Di lain tempat, ia menyatakan bahwa
pengeluaran publik dapat diadakan untuk fungsi-fungsi seperti pendidikan, hukum
dan administrasi publik, pertahanan dan pelayanan kesehatan.
Al-Ghazali menenkankan kejujuran dan efisiensi
dalam urusan sektor publik.
2. As-Syatibi
A.
Biografi
Singkat Imam As-Syatibi
Imam Asy-Syatibi yang bernama
lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Gharnati Asy-Syatibi
merupakan salah seorang cendikiawan muslim yang belum banyak diketahui latar
belakang kehidupannya. Yang jelas ia berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama
asy-Syatibi dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau
Jativa), yang terletak di kawasan Spanyol.[12]
B.
Konsep Maqasid
Syariah
Sebagai sumber
utama agama Islam, al-Quran mengandung berbagai ajaran. Ulama membagi kandungan
al-Quran dalam tiga bagian besar, yaitu aqidah, akhlak, dan syari’ah.
Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, akhlak berkaitan dengan
etika dan syari’ah berkaitan dengan berbagai aspek hukum yang muncul
dari aqwal (perkataan) dan af’al (perbuatan). Kelompok
terakhir (syariah), dalam sistematika hukum Islam, dibagi dalam dua hal, yakni
ibadah (habl min Allah) dan Muamalah (habl min al-nas)[13]
Al-Quran dan
Hadis Nabi dijadikan pijakan ulama dalam mengembangkan hukum Islam, terutama di
bidang Muamalah. Dalam kerangka ini al-Syatibi mengemumakakan konsep maqasid
al-syari’ah.
Secara bahasa,
Maqasid al-Syatibi terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan al-syari’ah
berarti jalan menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah
sumber pokok kehidupan.[14]
Menurut istilah, al-Syatibi menyatakan, “Sesungguhnya syari’ah bertujuan
untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat”.
Dari
pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa tujuan syari’ah menurut al-Syatibi
adalah kemaslahatan umat manusia. Kemaslahatan dalam hal ini diartikan sebagai
segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia,
dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan
intelektualitasnya dalam pengertian yang mutlak.
Pembagian Maqasid
al-Syari’ah
Menurut
al-Syatibi, kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok
kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta. Dalam kerangka ini, ia membagi maqasid menjadi tiga tingkatan,
yaitu Dharuriyat, hajiyat, tahsiniyat.[15]
a)
Dharuriyat, dimaksudkan
untuk memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia
b)
Hajiyat, dimaksudkan
untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur
pokok menjadi lebih baik.
c)
Tahsiniyat, dimaksudkan
agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan
lima unsur pokok tersebut.
Dalam hal ini,
Mustafa Anas Zarqa, seorang ulama besar asal Yordania menjelaskan bahwa tidak
terwujudnya aspek dharuriyat dapat merusak kehidupan manusia dunia dan
akhirat secara keseluruhan. Pengabaian terhadap aspek hajiyat tidak
sampai merusak keberadaan lima unsur pokok, tetapi hanya membawa kesulitan bagi
manusia sebagai mukallaf dalam merealisasikannya. Adapun pengabaian dalam aspek
tahsiniyat mengakibatkan upaya pemeliharaan lima unsur pokok yang tidak
sempurna.
Apabila
dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan lima unsur pokok
secara tidak sempurna, ketiga tingkat maqasid tersebut tidak dapat dipisahkan.
Tampaknya, bagi asy-syatibi tingkat hajiyat adalah penyempurna tingkat
dharuriyat, tingkat tahsiniyat merupakan penyempurna lain bagi tingkat hajiyat,
sedangkan dharuriyat menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat.
C.
Beberapa
pandangan al-Syatibi Di Bidang Ekonomi
a.
Objek
Kepemilikan
Pada
dasarnnya, al-Syatibi mengakui hak milik individu. Namun, ia menolak
kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat
hidup banyak orang. Ia menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan dan
penggunaannya tidak bisa dimiliki oleh seorang pun. Dalam hal ini, ia
membedakan dua macam air, yaitu: air yang tidak dapat dijadikan sebagai objek
kepemilikan, seperti air sungai dan oase, dan air yang bisa dijadikan
kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang tanah
milik individu. Ia menyatakan bahwa tidak ada hak kepemilikan yang dapat
diklaim terhadap sungai dikarenakan adanya pembangunan pam.[16]
b.
Pajak
Dalam
pemikiran al-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah
(kepentingan umum). Dengan mengutip pendapat para pendahulunya, seperti
al-Ghazali dan Ibnu al-Farra, ia menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum
secara esensial adalah tanggung jawab masyarakat. Dalam kondisi tidak mampu
melaksanakan tanggung jawab ini, masyarakat bisa mengalihkannya kepada Baitul
Maal serta menyumbangkan sebagian kekayaan mereka sendiri untuk tujuan
tersebut. Oleh karena itu, pemerintah dapat mengenakan pajak-pajak baru
terhadap rakyatnya, sekalipun pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah
Islam.
Kesimpulan
Bahwa pemikiran Al-Ghazali mengenai
perekonomian Islam yaitu Pemikiran sosio ekonomi yang berakar dari sebuah
konsep yang Ia sebut sebagai “fungsi kesejahteraan sosial”. Al-Ghazali telah
mengidentifikasikan semua masalah baik yang berupa mashalih (utilitas, manfaat)
maupun mafasid (disutilitas, kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan
sosial. Menurut Al-Ghazali, kesejahteran (maslahah) dari suatu masyarakat
tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar, yakni agama
(al-dien), hidup atau jiwa (nafs) keluarga atau keturunan (nasl), harta atau
kekayaan (mal), dan intelek atau akal (aql).
Mayoritas pembahasan Al-Ghazali mengenai berbagai pembahasan ekonomi terdapat
dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din.
1.
Pertukaran
sukarela dan evolusi pasar, yang meliputi;
a.
Permintaan,penawaran,harga,dan
laba.
b.
Etika perilaku
dasar.
2.
Produksi barang,
yang meliputi;
a.
Produksi
barang-barang kebutuhan dasar sebagai kewajiban social.
b.
Hierarki
produksi.
c.
Tahapan
produksi, spesialisasi, dan keterkaitannya.
3.
Barter dan
Evolusi barang, yang meliputi;
a.
Problema Barter
dan kebutuhan terhadap uang.
b.
Uang yang tidak
bermanfaat dan penimbunan bertentangan dengan hukum illahi.
c.
Pemalsuan dan
penurunan nilai uang.
d.
Larangan Riba’.
4.
Peran Negara dan
Keuangan Publik,yang meliputi;
a.
Kemajuan ekonomi
melalui keadilan, kedamaian, dan stabilitas.
b.
Keuangan publik
( sumber negara, utang publik, dan pengeluaran publik ).
Dalam pemikiran
As-Syatibi, kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok
kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta. Dalam kerangka ini, ia membagi maqasid menjadi tiga
tingkatan, yaitu Dharuriyat, hajiyat, tahsiniyat. Pada dasarnnya, al-Syatibi mengakui
hak milik individu. Namun, ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap
sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup banyak orang. Pemungutan pajak
harus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum). Dengan
mengutip pendapat para pendahulunya, seperti al-Ghazali dan Ibnu al-Farra, ia
menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung jawab
masyarakat.
Daftar Pustaka
Karim, Adiwarman Azhar. Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006)
Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
(Jakarta: Gramata Publishing, 2005)
[2] Adiwarman Azwar Karim. Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006). Hal. 317.
[5] Misbahul Munir. Ajaran-Ajaran Ekonomi
Rasulullah Kajian Hadits Nabi dalam Perspektif Ekonomi. (Jakarta:
UIN-Press, 2007). Hal. 17-18.
[12]
Abdul Aziz Dahlan, Suplemen Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Van
Hoeve,1996), hlm: 61
[13]
Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul Fiqh (Kairo: Dar al-Khuwaitiyah, 1968),
hlm:32
[14]
Fazlurrahman, Islam (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), hlm: 140
[15]
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah (Kairo: Mustafa Muhammad,
t.th), Jilid 2, hlm 347.
[16]
Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam: Studi Tentang Hidup Pemikiran
al-Syatibi., hlm: 136
No comments:
Post a Comment