Sunday 26 April 2015

Biografi dan Pemikiran Muhammad Baqir al-Sadr

    Muhammad Baqir al-Sadr
A.    Biografi dan Karya Muhammad Baqir al-Sadr
            MuhammadBaqir al-Sadr dilahirkan di Kadhimiyeh, Baghdad. Pada 25 Dzul Qa’dah 1353/ 1 Maret 1935. Berasal dari keluarga shi’ite dan menjadi salah seorang pemikir terkemuka yang melambangkan kebangkitan intelektual di Najaf antara 1950 dan 1980 yang berpengaruh dalam aspek politik di kawasan Najaf dan Timur Tengah pada umumnya.

            Peristiwa pengeksekusian Sadr bersama saudara perempuannya yang bernama Bint al-Huda, sekitar tanggal 8 April 1980, merupakan titik puncak tantangan terhadap Islam di Irak. Dengan meninggalnya Sadr, Irak kehilangan aktivitas Islam yang paling penting.
            Buku Falsafatuna dan iqtishaduna telah mencuatkan Muhammad Baqir al-Sadr sebagai teoritis kebangkitan Islam terkemuka. Sistem filsafat dan ekonomi alternatif ini disempurnakan melalui masyarakat dan lembaga.[1]

      B.     Pokok Pemikiran
            Berkaitan dengan ekonomi, Baqir as-Sadr telah membuat konsep ekonomi melalui bukunya yang fenomenal: Iqtishaduna (ekonomi kita) yang kemudian menjadi mazhab tersendiri. Menurut mahzab ini, ilmu ekonomi tidak pernah bisa sejalan dengan Islam. Ekonomi tetap ekonomi, dan Islam tetap Islam. Keduanya tidak akan pernah disatukan. Sebab, kedudukannya berasal dari filosofi yang saling kontradiktif. Yang satunya anti Islam, satu lainnya Islam.
            Menurutnya, perbedaan filosofi akan berdampak pada perbedaan cara pandang keduanya dalam melihat masalah ekonomi. Menurut teori ekonomi, masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas. Sementara sumber daya yang tersedia untuk memuaskan keinginan manusia tersebut jumlahnya terbatas. Mazhab Baqir menolak pernyataan ini, sebab Islam tidak mengenal adanya sumber daya yang terbatas. Dalil yang dipakai adalah Al-Qur’an: “Sesungguhnya telah Kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya.” (Q.S. Al-Qomar ayat 49)
Mazhab Baqir berpendapat bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya distribusi yang tidak merata dan adil sebagai akibat sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Yang kuat memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat kaya. Sementara, yang lemah tidak memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat miskin. Karena itu, masalah ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang terbatas, tetapi karena keserakahan manusia yang tidak terbatas.
Menurut mereka iqtishadi bukan sekedar terjemahan dari ekonomi. Iqtishad berasal dari kata bahasa arab qasd yang secara harfiah berarti “ekuilibrium” atau “keadaan sama”, seimbang atau pertengahan. Mahzab ini berusaha untuk menusun teori-teori baru dalam ekonomi yang langsung digali dan dieduksi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Menurut Baqir as-Sadr, ekonomi Islam adalah mazhab, bukan ilmu. Beliau beranggapan demikian karena melihat adanya perbedaan antara mazhab dan ilmu. Dimana ilmu ekonomi dan mazhab ekonomi berbeda dalam tujuan. Tugas ilmu ekonomi adalah untuk menemukan fenomena eksternal kehidupan ekonomi. Sedangkan tugas mazhab ekonomi menyusun suatu sistem berdasarkan keadilan sosial yang sanggup mengatur kehidupan ekonomi umat manusia. Ilmu mencakup realitas lahirlah dan mazhab membawa keadilan sosial ke dalamnya.[2]

      C.    Beberapa Pandangan Ekonomi Menurut Muhammad Baqir al-Sadr
1.      Hubungan Milik
Sadr memandang sistem ekonomi Islam memiliki format kepemilikan bersama yang berbeda. Menurutnya, format kepemilikan tersebut ada dua yakni kepemilikan pribadi dan kepemilikan perusahaan secara bersama; (i) Kepemilikan publik, (ii) milik Negara.
Kepemilikan pribadi terbatas pada hak memetik hasil, prioritas dan hak berguna untuk menghentingkan orang lain dari penggunaan milik seseorang. Dalam prakteknya tidak ada kepemilikan pada individu. Hal ini, sama dengan pendapat Taleghani yang membedakan antara kepemilikan (hanya Allah semata) dan pemilikan (yang dapat diwarisi kepada individu).
Perbedaan antara kepemilikan publik dan negara adalah sebagian besar dalam penggunaan properti tersebut. Tanah negara harus digunakan untuk kepentingan orang banyak (seperti rumah sakit atau sekolah). Sedangkan milik negara tidak hanya kepentingan semua, akan tetapi untuk kepentingan masyarkat tertentu, jika negara telah memutuskan. Walaupun sulit membuat pengertian operasional dari perbedaan tersebut, perbedaan ini mencegah total monopoli yang diputuskan oleh suatu negara. Selain itu, dalam pembagian mengenai sumber alam menjadi norma milik negara, kepemilikan pribadi dapat dicapai oleh pekerjaan atau tenaga kerja. Hal ini, sesuai jika pekerjaan berhenti maka kepemilikan akan hilang.
Sadr hampir menyandarkan seluruh kepercayannya pada kepemilikan negara, karenanya ia menempatkan otomatis lebih besar kepada kekuasaan negara.[3]

2.      Pengambilan Keputusan, Alokasi Sumber dan Kesejahteraan Publik: Peranan Negara
Fakta bahwa kepemilikan oleh negara mendominasi sistem ekonomi Islamnya Sadr menunjukkan betapa pentingnya peranan negara. Negara, yang diwakili oleh wali-e amr memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk menegakkan keadilan. Hal itu dapat dicapai melalui berbagai fungsi:
a.       Distribusi sumber daya alam kepada para individu didasarkan pada kemauan dan kapasitas kerja mereka.
b.      Implementasi aturan agama dan hukum terhadap penggunaan sumber.
c.       Menjamin keseimbangan sosial.
Fungsi negara yang ketiga  itu amat penting karena adanya konflik yang muncul karena adanya perbedaan kapasitas yang berbeda kapasitas yang bersifat alamiah antar individu (intelektual maupun fisik). Oleh karena adanya perbedaan tersebut, maka pendapatan akan berbeda pula dan hal ini dapat mengarah pada mengarah pada terbentuknya ‘kelas ekonomi’. Negara lebih diharapkan untuk dapat memberikan jaminan terciptanya standard of living yang seimbang bagi semua orang daripada distribusi pendapatan yang merata. Dalam hubungan ini, negara diamanahi untuk mewujudkan jaminan sosial bagi semua orang. Menurut Sadr, hal ini dapat dicapai dengan mempromosikan persaudaraan (melalui pendidikan) diantara  anggota masyarakat dan dengan kebijakan pengeluaran publik, misalnya melalui investasi di sektor publik tertentu yang diarahkan pada pemberian bantuan kepada kaum miskin, serta melalui regulasi kegiatan ekonomi untuk menjamin tegaknya kejujuran pada praktik-praktik yang bebas dari eksploitasi.
Last but certainly not lest, negara, atau lebih tepatnya wali-e amr, mendapat amanah pula untuk menciptakan dinamisme dalam panafsiran teks sesuai dengan situasi kontemporer. Oleh karena hal itu adalah tugas para mujtahidun, berarti bahwa Sadr memandang mujatahidun sebagai negara, yakni negara yang dijalankan oleh para ahli fiqih atau negara yang memiliki semacam dewan penasihat yang terdiri dari para tokoh masyrakat.[4]

3.      Larangan Terhadap Riba dan Pelaksanaan Zakat
Sadr tidak banyak mendiskusikan riba. Penafsirannya mengenai riba terbatas pada uang modal. Sedangkan mengenai pelaksanaan zakat, Sadr memandang hal ini merupakan tugas sebuah negara. Selain itu, dia juga mendiskusikan khums, pajak, fay’dan amfal, yang dapat dikumpulkan dan dibelanjakan untuk mengurangi kemiskinan dan menciptakan keseimbangan sosial.
Salah satu poin menarik yang Sard ciptakan adalah fokus ekslusif kepada kaum miskin. Target Sadr adalah terciptanya keseimbangan sosial dengan tidak mengarah pada keseimbangan standar hidup antara si miskin dan si kaya. Para sarjana muslim setuju bahwasanya harus ada standar kehidupan tertentu yang dapat mempertimbangkan standar minimum. Pengaturan mengenai standar ini tidak berarti berhenti untuk mengurangi jarak atau jurang standar kehidupan, sebab seorang mempunyai kesamaan standar hidup.
Dalam mengatur aktifitas ekonomi, banyak contoh diberi oleh Sadr.
1.      Lahan kosong dpat didistribusikan dan dimanfaatkan
2.      Larangan Islam yaitu: menempati lahan kosong dengan kekerasan.
3.      Prinsip tidak ada pekerjaan, tidak ada keuntungan
4.      Larangan riba
5.      Larangan tiak produktif, seperti perjudian
6.      Larangan yang aktivitasnya mengalihkan perhatian dari Tuhan
7.      Penuturan dan mengecek manipulasi dlam pasar
8.      Larangan pemborosan.
Dalam pemikiran ekonominya, Sadr memisahkan produksi dan distribusi sebagai pusat di dalam ekonomi. Menurut Sadr, produksi adalah suatu proses dinamis, mengubah dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan distribusi sebagai bagian dari sistema sosial, yaitu total hubungan antar sistem sosial yang memancar dari kebutuhan orang dan bukan dari gaya produksi. Oleh karena itu, ia percaya untuk mempertahankan suatu sistem sosial tunggal (mencakup distribusi) bermacam-macam alat atau format produksi. Tetapi, ia menolak pandangan marxis bahwa masyarakat terdiri dari potensi yang berlawanan dalam bentuk kelas.[5]

4.      Distribusi
Hampir sepertiga dari bukunya iqthishaduna dipakai untuk membahas distribusi dan hak kepemilikan. Sadr membagi pembahasannya menjadi dua bagian, yakni distirbusi sebelum produksi (pre-production distribution) dan sesudah produksi (post- production distribution).[6]
a.       Pre-production
·         Tanah (dan sumber daya lain) diperuntukkan bagi semua orang melalui negara.
·         Hak pakai dan prioritas penggunaan dapat diperoleh melalui kerja dan kebutuhan.
·         Tenaga kerja ekonomi adalah sumber kepemilikan oleh swasta.
·         Tenaga kerja ekonomi adalah sumber kepemilikan hasil kerja.
·         Penyewaan dan sharecopping yang terbatas (bagi pemilik tanah disebabkan oleh dibatasinya luas tanah yang boleh dimiliki).
b.      Pro-production
·         Manusia (tenaga kerja) adalah faktor produksi yang paling penting.
-Memiliki hasil kerja
-Dalam keadaan khusus dapat menggaji orang dan membayar upahnya
-Membayar imbalan bagi pemilik faktor produksi lainnya
·         Faktor produksi
-Tenaga kerja -- upah atau profit share
-Tanah – Upah atau bagi hasil tanam
-Modal – Bagian laba
-Entrepreneur – Bagian laba
·         Risiko dan inflasi bukan alasan untuk mendapatkan bunga dari modal yang dipinjamkan[7]

5.      Produksi
Sadr membedakan dua aspek produksi sebagaimana ia membedakan dua aspek ilmu ekonomi. Pertama adalah aspek objektif atau aspek ilmiah yang berhubungan dengan sisi teknis dan ‘ekonomis’ seperti alat-alat analisis yang digunakan (capital/ labor ratio), hukum-hukum produksi, fungsi biaya, dsb. Namun ia lebih suka melihat pertanyaan dasar mengenai apa yang hendak diproduksi (what), bagaimana memproduksinya (how) dan untuk siapakah sesuatu produk itu diproduksi (for whom) dengan merujuk pada aspek kedua produksi, yakni aspek subjektif atau doktrin. Apa yang hendak diproduksi (what), bagaimana memproduksinya (how) dan untuk siapakah sesuatu produk itu diproduksi (for whom) dibimbing oleh ajaran Islam mengenai barang-barang yang halal dan berbagai kategri barang seperti barang perlu (necessities).[8]
·         Aspek Objektif/ Ilmiah
Perundangan, alat analisis, dan bimbingan teknis
·         Aspek Subjektif/ Doktrin
-Pedoman umum nilai-nilai Islam – Memengaruhi perilaku dan motivasi
-Perencanaan dan regulasi negara – Produksi barang-barang kebutuhan dasar, dengan penyeliaan yang lebih banyak, bukan keterlibatan langsung di dalam produksi[9].

6.   Pandangan terhadap kapitalisme demokrat
Menurut Baqir, system kapitalisme democrat bertanggung jawab atas semua bentuk kedzaliman dalam kehidupan ekonomi masyarakat sekarang. System ini melahirkan pemerintahan yang dzalim dan sekaligus mencampakkan gereja. Dalam system kapitalis democrat, individu adalah suatu fondasi nyata. System ini membela sepenuhnya individu dan mempercayai bahwa kepentingan semua orang akan menjamin apabila kepentingan pribadi para individu dalam berbagai bidang di perhatikan.
Menurut system ini, satu-satunya tujuan pemerintah hanyalah melindungi kepentingan-kepentingan dan keuntungan pribadi individu. System ini secara garis besar menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan yang dapat dibagi kepada empat system kebebasan, yaitu kebebasan politik, ekonomi, berfikir dan pribadi.
Jelas, bahwa kapitalisme adalah suatu system ultra materialism yang hanya mementingkan materi belaka dan mengasingkan manusia dari rohani agama. Akibat buruk dari system yang absurd inimengakibatkan malapetaka yang besar bagi manusia yang tak terhitung jumlahnya. Diantaranya adalah berkuasanya kaum mayoritas atas kaum minoritas yang kepentingan-kepentingannya dikuasai oleh kaum mayoritas.

          7.       Kritik terhadap kapitalisme sosialis
            Ada beberapa macam “merek” sosialisme, dan yang paling terkenal adalah marxisme yang didasarkan pada dialektika materialism. Menurut materialisme, teori dialektika sama-sama berlaku bagi sejarah, masyarakat maupun ekonomi. Oleh karena itu, penafsirannya tentang alam dan studi sejarah mencerminkan pendekatan filosofis yang sama. Materialism memberikan suatu bentuk khusus kepada pandangan manusia tentang dunia dan pendekatannya terhadap kehidupan.
Sementara itu, sosialisme mumcul sebagai perlawanan terhadap kapitalisme yang terlalu mengedepankan individu. Tujuan akhir dari paham ini adalah terciptanya komunalisme dalam kehidupan manusia. Artinya, diharapkan akan hadir suatu masyarakat tanpa kelas, dan kepentingan-kepentingan individu terserap dalam kepentingan kolektif. D sini kebijakan sosialisme yang mendasar berbeda dengan kebijakan komunisme. System kebijakan ekonomi komunisme didasarkan pada tiga prinsip yaitu: Pertama, komunisme hendak menghapus semua kepentingan pribadi, termasuk perdagangan dan perindustrian. Kedua, semua hasil produksi dibagikan sesuai dengan kebutuhan para individu, menurut kaidah dari masing-masing sesuai kesanggupannya. Ketiga, untuk menghindari timbulnya permasalahan dan kesulitan-kesulitan yang khas bagi kemerdekaan yang tak terbatas dari system kapitalis, pemerintah harus mempersiapkan rencana ekonomi untuk produksi dan distribusi.
Komunisme hendak merebut kemerdekaan individu dan menggantikan kepemilikan pribadi dengan kepemilikan kolektif. Akan tetapi, pada umumnya perubahan besar itu terbukti bertentangan dengan tabiat manusia. Para pemimpin komunis pun mengakui kegagalan mereka dalam hal ini[10].
























BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan diatas telah kita pahami, menurut Baqir as-sadr ekonomi islam adalah mazhab bukan ilmu. Beliau beranggapan demikian karena melihat adanya perbedaan antara mazhab dan ilmu. Dimana ilmu ekonomi dan mazhab ekonomi berbeda dalam tujuan. Tugas ilmu ekonomi adalah untuk menemukan fenomena eksternal kehidupan ekonomi. Sedangkan tugas mazhab ekonomi menyusun suatu system berdasarkan keadilan sosial yang sanggup mengatur kehidupan ekonomi umat manusia. Ilmu mencakup realitas lahiriah dan mazhab membawa keadilan sosial ke dalamnya.




















DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Depok: Gramata Publishing, 2010
Haneef , Mohamed Aslam. Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer: Analisis Komparatif Terpilih, penerjemah, Suherman Rosyidi. Jakarta: Rajawali Press,  2010








[1] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Depok: Gramata Publishing, 2010), h.288

[2] Ibid., h. 288-289
[3] Ibid., h. 290-291
[4] Mohamed Aslam Haneef, Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer: Analisis Komparatif Terpilih, penerjemah, Suherman Rosyidi, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), h. 139-140

[5] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Depok: Gramata Publishing, 2010), h. 292-293
[6] Mohamed Aslam Haneef, Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer: Analisis Komparatif Terpilih, penerjemah, Suherman Rosyidi, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), h. 141
[7] Mohamed Aslam Haneef, Op. Cit., h. 152
[8] Ibid., h.148
[9] Ibid., h.152
[10] [10] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Depok: Gramata Publishing, 2010), h. 2293-295

2 comments:

  1. Assalamu alaykum..
    maaf mas, ijin copy yaaa..

    ReplyDelete
  2. Semoga keinginan baldatun thoiyyibatun warobbun qhofurr... dapat terlaksana. kja-abdulghoni.com

    ReplyDelete