Thursday 21 May 2015

MADZHAB MAINSTREAM dan Madzhab Alternatif

mazhab
BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Untuk sebelumnya kita telah mempelajari tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam mulai dari masa Pra- klasik, klasik, Sosialis, dan Neo-Klasik, lalu kemudian berlanjut pada tradisi serta praktek ekonomi Masa Rasulullah SAW dan para sahabat-sahabatnya, untuk itu kita akan melanjutkan membahas sejarah pemikiran ekonomi Islam pada masa Kontemporer, yang menerangkan pemikiran para ekonom-ekonom islam dalam memajukan serta mengembangkan sitem perekonomian dizaman sekarang ini. Dan akan dibahas lebih terperinci dalam makalah kami yang berjudul: Komparasi Pemikiran Ekonomi Islam  Tokoh Kontemporer Mazhab Mainstrem ( MA. Mannan, Monzer K, Chapra) dan Mazhab Alternatif Kritis (Timur Quran.).

2.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pemikiran para tokoh ekonomi islam dari Madzhab Mainstream?
2.      Bagaimana pemikiran para tokoh ekonomi islam dari Madzhab Alternatif Kritis?

3.      Tujuan
Untuk mengetahui jawaban atas rumusan masalah tersebut diatas.







BAB II
PEMBAHASAN

1.      MADZHAB MAINSTREAM
1.1 Muhammad Abdul Mannan
Muhammmad Abdul Mannan dilahirkan di Bangladesh pada 1938. Selama 30 tahun kariernya, Mannan telah banyak sekali berperan dalam sejumlah besar organisasi pendidikan dan ekonomi. Pada 1970, ia menerbitkan buku utamanya yang pertama, yakni Islamic Economics, Theory and Practice. Buku ini dipandang oleh kebanyakan mahasiswa dan sarjana ekonomi islam sebagai “buku teks” pertama ekonomi islam. Untuk sumbangannya bagi pengembangan ekonomi islam, Mannan dianugerahi ‘Highest Academic Award of pakistan’ pada 1974 yang, bagi mannan setara dengan hadiah pulitzer. Pada 1970, ekonomi Islam berada dalam tahap pembentukan, berkembang dari pernyataan-pernyataan tentang prinsip ekonomi secara umum dalam Islam, hingga uraian yang lebih ‘seksama’ mengenai kerangka dan ciri khusus ekonomi islam yang lain. Haruslah dicatat bahwa pada saat itu tidak ada satu universitas pun yang mengajarkan ekonomi islam seperti sekarang, yakni suatu zaman ketika fiqh mu’amalat (hukum bisnis) masih dipandang sebagai ekonomi Islam. Dua buku Mannan di tahun 1984, yakni The Making of Islamic Economic Society dan The Frontiers of Islamic Economics, menurut Mannan, dapat dipandang sebagai upaya yang lebih serius dan terinci dalam menjelaskan bukunya yang pertama. Tak dapat disangkal bahwa Mannan telah menyumbang bagi pengembangan literatur ekonomi Islam.[1]
Mannan mendefinisikan ekonomi Islam sebagai sebuah ilmu sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi bagisuatu masyarakat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Ekonomi Islam itu berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi barang serta jasa di dalam kerangka (suatu) masyarakat Islam yang di dalamnya jalan hidup Islam ditegakkan ssepenuhnya. Ekonomi Islam merupakan sebuah studi tentang (masalah-masalah ekonomi dari) setiap individu dalam masyarakat yang memiliki kepercayan terhadap nilai-nilai kehidupan islami, yakni homo Islamicus. dihadapkan pada masalah “kelangkan” bagi Mannan, sama saja artinya dengan kelangkaan dalam ekonomi Barat, pilihan individu terhadap alternatif penggunaan sumber daya saling berbeda, dipengaruhi oleh keyakinannya terhadp nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, menurut Mannan, “yang membedakan sistem ekonomi Islam dari sistem  sosio-ekonomi lain adalah sifat motivasional yang mempengaruhi pola, struktur, arah dan komposisi produksi, distribusi, dan komsumsi”. Dengan demikian, tugas utama ekonomi Islam adalah “menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi asal-usul permintaan dan penawaran sehingga dimungkinkan untuk mengubah keduanya ke arah distribusi yang lebih adil.[2]
Jadi,ekonomi Islam adalah positif sekaligus normatif, mencakup baik pertanyaan ekonomi ‘apa’maupun ‘bagaimana seharusnya’. Menurut Mannan, “Ia (ilmu ekonomi) merupakan ilmu yang terpadu serta berorientasi-kapada-nilai yang memiliki pertimbangan nilai sebagai basis bagi seluruh tindakan ekonomi”.
Sesuai dengan definisinya, Mannan mengakui bahwa ekonomi Islam hanya terbatas bagi ‘manusia Islam’ dan sebatas yang diperkenankan untuk kegiatan ekonomi di dalam Islam saja. Namun demikian, ia cepat menambahkan bahwa ekonomi Islam bersifat komprehensif karena tidak merupakan disiplin yang terisolasi. Sebaliknya, ia bersifat multidisipliner karena mengambil pengetahuan dari hal-hal non-ekonomi seperti politik, sosial, etika, dan moral. Lebih jauh, “apa saja yang tidak termaktub di dalam Al-Qur’an dan Sunnah, namun konsisten dengan jiwa keduanya, dapat digolongkan islami”. Ia mengutip proposisi yang sering diulang-ulang bahwa Syariah hanya memberikan prinsip-prinsip umum saja, bukan rinciannya, sehingga terjaminlah fleksibilitas, adaptabilitas, dan universalitas Islam.
Sistem ekonomi Islam, menurut Mannnan, “berdiri di atas kakinya sendiri dan menggabungkan semua segi yang baik dari sebuah masyarakat yang sehat dan seimbang”. Sayangnya, Mannan tidak berupaya mendefinisikan pernyataannya tersebut dan malah menambah kebingungan dengan menyebut sistem ikutan sebagai ‘demokrasi Islam’ atau ‘sosialisme Islam’ didasarkan pada prinsip abadi tentang keadilan sosial, kesamaan serta persaudaraan universal antar manusia. Kelmahan Mannan adalah penerimaan serta pergunannya terhadap berbagai istilah tanpa diiringi dengan mendefinisikannya. Pernyataan-pernyataan semacam itulah yang menyebabkan beberapa pengkritik ekonomi Islam membuat generalisasi bahwa ekonomi Islam mewujudkan eklektisisme metodologis, karena berusaha menyenangkan segala lapisan masyarakat untuk mencerminkan orientasinya yang  bersifat populis. Sekali pun hal itu dapat saja benar dalam beberapa tulisan tertentu, namun tidaklah mewakili pandangan seluruh ahli ekonomi.
A.    Asumsi Dasar
            Basis teoretis Mannan berisi sejumlah asumsi dasar. Manusia Islam (Islamic man) yang ia maksud adalah seseorang yang menginginkan bersatunya ekonomi dan moral yang maksimum, dianggap bersifat individualistik, namun sekaligus juga kooperatif dan bertanggung jawab secara sosial. Dalam model eklektik itu ia simpulkan bahwa perekonomian Islam itu diharapkan akan bekerja pada perpotongan antara sistem pasar dan perencanaan terpusat, yakni menggabungkan ‘yang terbai’ antara keduanya. Namun, apa yang dimaksud dengan ini semua tidaklah jelas di dalam pemikiran Mannan.
            Mannan juga menolak matrealisme historis dan percaya bahwa hal itu adalah ‘versi moral dan spiritual’ dari manusia yang memadukan kegiata ekonomi, sosial, politik, dan biologis, yakni berlawanan dengan (sebagian versi dari) determinisme ekonomi marxis. Ia melihat adanya kebutuhan akan perubahan ‘menuju lebih baik’, dan menyatakan bahwa hanya ekonomi Islam yang dapat memberikan perubahan itu bahwa hanya ekonomi Islam yang dapat memberikan perubahan itu karena nilai-nilai etika dan kemampuan motivasional yang dimilikinya. Ia juga menyebarkan gagasan mengenai perlunya ‘membebaskan diri kita sendiri dari paradigma kaum neoklasik positivs’, dengan menyatakan bahwa observasi haruslah ditunjukkan kepada dan dilengkapi dengan data historis maupun data ‘wahyu’. Disini Mannan bertentangan dengan dirinya sendiri karena sebagian besar argumennya searah dengan garis neokalsik.[3]
            Ia juga menolak gagasan mengenai kekuasan konsumen maupun produsan, yang baginya secara implisit menunjukkan adanya domonsi dan eksploitasi. Untuk jalan tengahnya, Mannan menyatakan perlunya keseimbangan antara kontrol (oleh pemerintah) dan persaingan, dengan mengusulkan ‘’kerja sama sukarela’ sebagai norma, spanjang yang diiszinkan oleh kontrol normatif Syariah.
            Islam mengizinkan kepemilikan swasta, dan senantiasa menjaga hak individual ini sepanjang individu tersebut tidak menyalahgunakan kepercayan (dalam memiliki itu) dengan mengeksploitasi pihak lain. Sekalipun para pengkritik sosialis akan menyatakan bahwa kepemilikan swasta tidak dapat dipisahkan dari eksploitasi, Mannan jeals sekali tidak akan setuju. Kepemilikan swasta menurut Mannan, haruslah tunduk pada kewajiban moral dan etika, dan semua bagian masyarakat (termasuk bintang?) haruslah memiliki hak untuk mendapatkan bagian dalam harta secara keseluruhan. Kekayaan tidaklah boleh terkonsentrasi di tangan orang-orang kaya saja, dan disinilah zakat dan shadaqah memainkan peranan distributifnya, yang bermakna bahwa individualisme tak terbatas, seperti yang dipahami dalam kapitalisme, tidak memiliki tempat di ekonomi Islam.
            Harusslah diulangi bahwa masalah norma perilaku amat ditekankan oleh Mannan. Manusia dipandang sebagai khalifah dan kepercayaan Allah SWT. Dimuka bumi, dan oleh karenanya akan bertanggung jawab kepada-Nya, dan haruslah dengan suka rela bertindak dengan penuh tanggung jawab. Jika ia memilih untuk tidak bertindak demikian, maka negara punya hak untuk turut campur. Masalah norma perilaku ini merupakan suatu isu yang amat diperdebatkan oleh para pengkritik ekonomi Islam.
B.     Ciri-ciri dan Kerangka Institutional[4]
Dari semua asumsi dasar diatas, Mannan kemudian membahas sifat, ciri dan kerangka institusional sistem ekonomi islam. Beberapa yang menonjol adalah sebagai berikut:
1.      Kerangka Sosial Islam dan Hubungan yang terpadu antara Individu, Masyarakat, dan Negara.
Sistem ekonomi Mannan berpusat sekitar individu. Dalam kenyataannya, baginya, masyarakat dan negara itu ada karena individu. Namun, bukanlah individu yang egoistis dan individualistik yang dimaksudkannya, melainkan individu yang patuh kepada agama dan bertanggung jawab kepada Allah SWT dan masyarakat. Menurutnya, kebebasan individu dijamin oleh kontrol sosial (dan agama). Ia mendefinisikan kebebasan sebagai kemampuan untuk melaksanakan kewajiban seperti yang digariskan oleh syariah. Oleh karena syariah telah dengan jelas neletakkan peranan serta posisi individu, masyarakat dan negara, maka menurut Mannan, tidak akan ada konflik antara kebebasan individu dan kontrol sosial (negara) bahkan keduanya dipandang saling melengkapi. Jadi, bagi Mannan, hubungan individu-(masyarakat)-negara itu dipandang sebagai sesuatu yang mempuanyai tujuan, didasarkan pada maksud baik dan kerjasama, bekerja secara harmonis untuk mencapai tujuan-tujuan sistem ekonomi.

2.      Kepemilikan Swasta yang Relatif dan Kondisional.
Sebagaimana para ahli ekonomi Islam lainnya, Mannan mendukung pandangan yang menyatakan bahwa kepemilikan absolut terhadap segala sesuatu hanyalah ada pada Allah SWT saja. Sebagai khalifah-Nya, manusia diharuskan mengggunakan semua sumber daya yang etlah disediakan oleh Nya untuk kebaikan dan kemashlahatannya. Kepemilikan rsmi (swasta) itu dikenal dan dilindungi di dalam islam, tetapi legitimasi kepemilikan itu tergantung pada kewajiban-kewajiban moral, agama dan kemasyarakatan individu yang bersangkutan, sepanjang tidak terjadi eksploitasi ataupun pencabutan atas hak pihak lain. Setiap orang memiliki hak yang sama mengenai sumber-sumber produktif yang tersedia, dan setiap orang memiliki hak yang sama untuk ‘berpartisipasi’ didalam proses produksi, serta tidak ada sebagian pun dari masyarakat yang boleh diabaikan dalam proses distribusi. Penguasaan ‘kekayaan fungsional’ (yakni kekayaan yang sedang dimanfaatkan) dibenarkan dan penggunaan modal secara produktif dan menguntungkan juga didorong. Mannan kemudian menyususn daftar beberapa syarat yang dipandangnya mengatur kepemilikan oleh swasta:
a.       Tidak boleh ada aset yang menganggur, atau sebaliknya, aset haruslah dimanfaatkan secara terus-menerus.
b.      Pembayaran zakat.
c.       Penggunaan yang menguntungkan atau penggunaan untuk kegiatan yang menguntungkan.
d.      Penggunaan yang tidak membahayakan.
e.       Kepemilikan kekayaan secara sah.
f.       Penggunaan yang seimbang (tidak berlebihan dan tidak pula kikir)
g.      Keuntungan dari penggunaan yang benaratau dengan kata lain, distribusi return yang tepat, yang semestinya atau sebaliknya, tidak boleh terjadi konsentrasi kekayaan.
h.      Penerapan hukum islam tentang warisan
Setiap pelanggaran terhadap syarat-syarat diatas membuka pintu bagi campur tangan negara. Namun, iya tidak menyebutkan apakah individu yang melanggar masih boleh memegang hak kepemilikannya ‘dengan hukuman’ ataukah ia harus kehilangan haknya. Sebagai tambahan, istilah-istilah seperti beneficient use (penggunaan yang menguntungkan), due benefits (keuntungan yang benar), dan proper distribution (distribusi yang tepat) tidak diterangkan dengan cukup oleh Mannan.
3.      Mekanisme Pasar Didukung oleh kontrol, Pengawasan dan Kerja sama dengan Perusahaan Negara Terbatas
Sebagai sebuah sistem yang diharapkan akan bekeerja pada ‘titik temu antara sistem harga dan perencanaan’, Mannan mengemukakan usulnya mengenai bauran yang optimal anara persaingan, kontrol yang terencana (consious contol), pengawasan dan ‘kerja sama yang bersifat sukarela dan terimbas’. Namun, bauran optimal tersebut tidak ia uraikan, dan kita ditinggalkan tetap bingung meemikirkan apa yang ia maksudkan. Yang pasti adalah bahwa Mannan tidak percaya bahwa mekanisme pasar saja tidak cukup untuk menentukan semua harga dan jumlah uotput, khususnya jika berhubungan dengan pemberian bagi si miskin. Disebabkan oleh konsep permintaan eefektif yang meendasari mekanisme pasar, ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan pasti akan menyebabkan keegagalan mekanisme pasar dalam penyediaan kebutuhan dasar untuk permintaan si kaya. Disinilah Manna mengemukakan konsep kebutuhan efektif untuk menggantikan konsep permintaan efektif.
Sekalipun Mannan membicarakan perusahaan negara terbatas (limited state enterprise), ia malah kelihatan memaksudkan yang sebaliknya. Peranan negara adalah merestrukturisasi pola dan organisasi produksi yang, menurut Mannan, mencakup hal-hal berikut:
a.       Penekanan pada kerjasama ydan persaingan yang diawasi
b.      Penekanan pada bagi hasil dan partisipasi perkeadilan untuk menghentikan bunga
c.       Kebijakan moneter dan fiskal yang terdefinisikan dengan jelas demi stabilisasi
d.      Kebijakan upah yang bagus
e.       Memajukan integrasi ekonomi antar negara muslim
f.       Perlindungan umum atas kegiatan ekonomi
g.      Penyediaan kebutuhan dasar bagi semua orang
Demikianlah, perlawanan dengan pernyataannya mengenai limited state enterprise, Mannan jelas sekali melihat adanya pemerintah yang memainkan peranan krusial didalam sistem ekonomi. Menuru Mannan, alokasi sumber daya tak dapat diseraahkan kepada kebebasan individu jika kita membicarakan masalah kesejahteraan bersama. Dengan mendukung ‘kontrol danpengawasan’, Mannan menyatakan bahwa kehadiran lebih penting daripada efisiensi, terutama jika berhubungan dengan kebutuhan dasar. Kenyataannya, Mannan amatlah inovatif ketika ia mendefinisikan efesiensi sebagai “situasi dimana sumber-sumber digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa serta didistribusikan dengan wajar dan adil”. Pandangan ini benar-benar berlawanan dengan konsep efisiensi yang dipakai dalam ekonomi ‘mainstream’.
4.      Implementasi Zakat dan Penghapusan Bunga
Zakat, oleh Manna dipandang sebagai poros keuangan Negara Islam. Ia merupakan sumber utama penerimaan, namun tidak dipandang sebagai ‘pajak’ melainkan lebih sebagai kewajiban agama, karena kedudukannya sebagai salah satu rukun Islam. Zakat merupakan sebuah elemen dalam sosialisme Islam yang digagasnya. Oleh karena beban zakat bersifat tetap (dalam arti rill), dan para penerimanya juga sudah ditentukan, maka pemungutan berlebihdapat saja diterapkan jika diperlukan. Ia menunjuk kepada fakta bahwa tidak seperti pajak sekuler, maka zakat, sesuai kedudukannya sebagaikewajiban agama, seharusnya tudak menyebabkan terjadinya efek negatif atas motivasi bekerja. Tak seorang pun ingin menjadi penerima zakat dan jika seseorang membiarkan hartanya ‘yang jelas’ maupun ‘tidak jelas’ (yakni yang aktual dan yang potensial) menganggur, maka ia akan semakin kehilangan harta (karena dimakan zakat) dan oleh karenanya ia harus bekerja. Tentu saja, fakta bahwa zakat dimaksudkan untuk mengambil dari si kaya dan memberikannya kepada si miskin (plus kategori penerima zakat lainnya) telah menjadikan zakat itu memainkan fungsi distributif yang ditekankan oleh Mannan serta semua ahli ekonomi Islam lainnya. Namun sebuah catatan menarik perlu diperhatikan, yakni bahwa sementara para ahli ekonomi Islam memandang zakat sebagai sarana ‘superior’ untuk mengumpulkan (dan mendistribusikan) penerima, para pengkritik ekonomi Islam menyatakan bahwa, dalam konotasi agama sekalipun, kaum muslimin berupaya menghindari pembayaran zakat. Demikian pula untuk para pengkritik, zakat tidak cocok sebagai alat redistribusi karena ‘kekunoan’ ruang lingkup dan bebannya sehingga harus dimodifikasi. Sistem ekonomi Isam juga harus bebas dari bunga, yang disebut oleh Mannan dan sebagian besar ahli hukum dan para ahli ekonomi Islam sebagai Riba.

C.    Distribusi
Mannan memandang bahwa “keterlibatan Islam yang bersifat pragmatis dan realistis bagi si miskin adalah sedemikian tulusnya sehingga distribusi pendapatan merupakan pusat berputarnya pola dan organisasi produksi di dalam suatu negara Islam”. Ia tambahkan bahwa “pertimbangan distributif-lah yang harus memengaruhi prioritas produksi barang dan jasa, dan dengan demikian ia juga menjadi indikator konsumsi”.[5]
Mannan melihat dirinya berbeda dari para ekonom Islam lainnya karena manyatakan distribusi sebagai basis fundamental bagi alokasi sumber daya. Penekanan pada distribusi ini terlihat dalam karyanya yang berikutnya. Menurut Mannan, distribusi kekayaan tergantung pada kepemilikan orang yang tidak seragam. Disini, “keadilan mutlak mempersyaratkan bahwa imbalan juga seharusnya berbeda, dan bahwa sebagian orang memiliki lebih banyak dari yang lain , itu adalah hal yang wajar saja, asalkan keadilan manusia ditegakkan dengan prinsip kesempatan yang sama bagi semua orang. Jadi, seseorang tetap dapat memiliki surplus penerimaannya asal ia telah menunaikan semua kewajibannya”.
Oleh karena itu,ketidakmerataan itu sah-sah saja, dan menurut kaidah Mannan tentang ‘keadilan mutlak’ disebabkan oleh sumbangan yang berbeda. Namun, ketidakmerataan ini pulalah, terutama yang ekstrem, yang menjadi perhatian utama ekonomi Islam. Lebih jauh Mannan menyatakan bahwa “dalam suatu perekonomian Islam, inti masalah tidak terletak pada harga yang ditawarkan oleh pasar, melainkan pada ketidakmerataan distribusi pendapatan. Itulah yang paling penting didalam ekonomi Islam”. Masalah distribusi didalam ekonomi neoklasik, menurut Mannan, muncul karena kegagalannya dalam menyikapi isu-isu yang ebrhubungan dengan kepemilikan sumber daya.
Mannan amat kritis terhadap ‘landlordism’ dan ‘feodalissme’ bahkan terhadap penyewaan tanah, karena halitu dapat menciptakan kelas kapitalistik di dalam masyarakat yang, menurut Mannan, merupakan ancaman terhadap etika absis di dalam Islam. Namun, ia mengakui adanya kenyataan bahwa hal itu selalu dicemoohkan di negara-negara Muslim. Selain tanah, Mannan tidak membahas bentuk-bentuk sumber daya alam lainnya seperti tambang,suangai, dan sebagainya.
D.    Produksi
Mannan melihat produksi sebagai penciptaan guna utility, dan dengan demikian meningkatkan kesejahteraan ekonomi, maka barang dan jasa yang diproduksi itu haruslah hanya yang ‘dibolehkan dan menguntungkan’ (yakni halal dan baik) menurut Islam saja. Baginya, “konsep Islam mengenai kesejaheraan berisi peningkatan pendapatan, yang diperboleh dari peningkatan produksi barang yang baik saja, melalui pemanfaatan sumber-sumber (manusia dan materiil) secara maksimal maupun melalui partisipasi jumlah penduduk maksimal dalam proses produksi”. Penekanannya pada kualitas , kuantitas, maksimasi dan partisipasi di dalam proses produksi menjadikan firm memiliki fungsi yang berbeda didalam sistem ekonomi. Firm tidak lagi dipandang hanya sebagai pemasok komoditas melainkan juga sebagai penjaga-bersama (yakni bersama pemerintah) bagi kesejahteraan ekonomi dan masyarakat.[6]
Bahkan menurut firm juga bukan hanya maksimisasi laba saja, malainkan juga haruss memperhatikan moral, sosial, dan kendala-kendala intitusional. Bagi Mannan, “akibat gabungan dari profit motive, kekerabatan dan tanggung jawab sosial, dipandu dengan ‘dorongan moral’, sajalah yang akan memacu proses produktif (dan distributif)”. Keserbaragaman tujuan, yang merupakan tujuan yang hendak dicapai itu, haruslah berupa maksimisasi laba dipandu dengan semua kerangka nilai dalam Islam.
Proses produksi menurut Mannan adalah usaha kerjasama antara para anggota masyarakat untuk menghasilkan barang dan jasa bagi kesejahteraan ekonomi mereka. Nilai persaudaraan, jika diaplikasikan ke dalam lingkungan ekonomi, akan melahirkan lingkungan kerja sama, bukan persaingan, penyebaran lebih luas atau ‘sosialisasi sarana produksi’, bukan konsentrasi maupun eksploitasi sumber daya alam (dan manusia) lebih lanjut . dalam pembuatan keputusan teknis, maka efisiensi, seperti yang dipahami di dalam kerangka neoklasik, tidak akan mengambil tempat utama lagi. Sebaliknya, perhatian akan lebih tercurah pada pertengahan antara efisiensi produktif dan keadilan. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, oleh deefinisi Mannan tentang efisiensi berisi pertimbangan-pertimbangan keadilan. Barang tidak akan dihasilkan dengan mempertimbangkan permintaan efektif, tetapi ‘kebutuhan efektif’: yakni ‘kebutuhan’ yang didefinisikan menurut norma dan nilai-nilai Islam.
Mannan setuju dengan para ahli ekonomi fisiokrat dan klasik mengenai keberadaan hukum alam yang bersifat independen, namun dapat diselami oleh akal, seperti the law of diminishing returns. Namun, ia membuang pandangan fisiokrat mengenai produktivitas (yang melulu dipegang oleh tanah), termasuk didalam analisisnya, pembagian faktor produksi neoklasik seperti yang disebutkan didepan. Harus juga dicatat bahwa ia menentang ‘sosialisasi lengkap’ sarana produksi seperti yang ada didalam sosialisme, karena hal itu, dalam pandangannya, akan berentangan dengan hak-hak asasi manusia.
Akhirnya, Mannan membicarakan produksi sebagaisuatu proses sosial. Dalam proses sosial ini, sekalilagi ia menekankan perlunya kriteria distributif untuk menetapkan keputusan produksi, tidak seperti pendekatan neoklasik yang memandang keduanya secara terpisah. Persis seperti ketika ia memperkenalkan konsep kebutuhan efektif untuk menggantikan permintaan efektif, ia meletakkan teori ‘penawaran berdasar kapasitas potensial’ menurutnya, akan mengakomodasi pemberian kebutuhan dasar kepada semua anggota masyarakat, khususnya golongaan miskin. Disini, produsen tidak hanya melakukan reaksi atas harga pasar melainkan juga atas perencanaan nasional untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia tanpa peduli kepada permintaan pasar. Ia setuju dengan gagasan pembagian kerja dan spesialisasi untuk memproduksi secara efisien dan adil, namun secara konstan menekankan perlunya ‘humanisasi proses produksi’. Mengenai hal ini, orang hanya dapat menduga artinya sebagai hubungan buruh-majikan, dan penerapan nilai-nilai moral/etika Islam di dalam proses produksi.
1.2    Monzer Khaf
Pertama dan terutama sekali, khaf memandang ekonomi sebagai ‘bagian dari agama’ (1978:3-4; 1989: 70-71). Oleh karena itu, perdefinisian berhubungan dengan kepercayaan dan perilaku manusia, maka perilaku ekonomi haruslah merupakan salah satu aspek agama. Sejauh yang menyangkut islam, hal ini didukung oleh kenyataan bahwa Al-Quran dan  Sunnah Nabi (Saw) – yang merupakan sumber ajaran dan hukum islam – mengandung nilai dan norma ekonomi. Lebih jauh, menurut Khaf (1987:2), sebagian besar warisan fiqh, yang diambil dari Al-Quran dan Sunnah, juga berisi bentuk bentuk dan legalitas transaksi ekonomi.
Jadi, sejak dari awalnya, kegiatan ekonomi itu memang senantiasa ‘agamis’ sifatnya dan merupakan suatu tindakan ibadah jika dilaksanakan menurut apa yang digariskan oleh agama. Guna menambah dukungan atas adanya hubungan yang dekat antara agama dan ekonomi/perilaku ekonomi, ia mengutip fakta historis bahwa di barat sekalipun , ekonomi tidak dipisahkan dari agama/filsafat moral hingga akhir-akhir ini saja, ketika barat melakukan suatu ‘revolusi menentang gereja dan otoritasnya’.[7]
A.    Asumsi Dasar
Telah dinyatakan diatas bahwa Khaf melihat agen ekonomi dalam suatu sistem ekonomi islam tidak dari sudut pandang afiliasi keagamaan, melainkan sebagai agen yang bersedia menerima paradigma islam atau ‘rules of the game’. Seorang agen ekonomi individual dapat saja seorang muslim ataupun Non-muslim sepanjang ia bersedia menerima tata nilai dan norma ekonomi di dalam islam yang berasal dari hal hal berikut ini (1987:76-82)
  1. Dunia ini benar-benar dimiliki oleh Allah Swt. Dan segala sesuatu adalah milik-Nya. Manusia adalah wakil atau khalifah yang menjalankan atau melaksanakan semua perintah-Nya dan harus mengikuti Hukum-Nya. Hal ini, antara lain, memiliki implikasi dalam soal kepemilikan.
  2. Tuhan adalah yang Maha Esa, dan oleh karenanya hanya ada satu saja hukum yang harus diikuti, yakni Syariah hal ini memiliki implikasi pada bagaimana agen harus mengatur sistem ekonomi dan semua institusinya yang hendak ditetapkan.
  3. Oleh karena dunia ini hanyalah sementara, dan hari kiamat sebagai hari pengadilan diterima sebagai suatu realistis, maka tindakan manusia haruslah didasarkan tidak saja pada keuntungan di dunia ini melainkan juga pahala di akhirat. Oleh karena itu, sekalipun aturan ‘maksimalisasi’ dapat tetap dipakai, namun fungsi yang dimaksimumkan hendaklah mencakup unsur-unsur tersebut.
Jika si agen menerima ketiga pilar sistem diatas, maka keputusan yang diambilnya pasti akan berbeda dari manusia ekonomi konvensional. Horison waktu yang mencakup kehidupan sesudah mati tentu akan mencakup pilihan pilihan yang tidak tersedia bagi manusia ekonomi (konvensional), demikian pula pilihan-pilihan yang dianggap tidak masuk akal. Dalam menjelaskan teori konsumsinya. Khaf (1978:15-25) menunjukan bagaimana, karena adanya pemahaman yang berbeda mengenai ‘sukses’ di dalam sistem islam, pilihan seseorang terhadap barang dan perilaku konsumsinya secara rasional berada segaris dengan ketentuan Allah Swt. Namun, Khaf menyadari bahwa perluasan horison waktu ini akan menyebabkan analisis menjadi amat kualitatif dan, oleh karena nya, keinginanya untuk ‘menguantifikasikan aspek-aspek kualitatif’ menjadi lebih sulit untuk dijalankan sekalipun penting.
B.     Kerangka institusional
  1. Kepemilikan
Khaf menyebutkan soal kepemilikan dalam bagian yang membicarakan produksi (1978: 37-8) dan prinsip dasar sistem ekonomi islam (1989: 77). Manusia muncul dalam posisinya sebagai khalifah Allah Swt. Dimuka bumi, memiliki hak (dan tanggung jawab) untuk memiliki sesuatu dan memanfaatkannya. Karakteristik hak kepemilikan itu adalah sebagai berikut.
  1. Hak memiliki didasarkan pada, dan mencakup kesempatan untuk, memanfaatkannya. Dengan kata lain, kerja atau kesempatan untuk memanfaatkannya. Dengan kata lain, kerja atau kesempatan untuk memanfaatkan itu adalah unsur yang menyebabkan sesorang boleh “memiliki “ sesuatu  barang. Khaf (1989: 77) menekankan bahwa “hak kita untuk memiliki itu adalah mengenai pemanfaatannya, bukan kepemilikan nya semata-mata.
  2. Tidak dipenuhinya ‘fungsi ekonomi sesuatu hak milik’ atau dialihkanya penggunaan sesuatu barang pada maksud-maksud ‘non-ekonomis’ (1978: 30-1, seperti yang dinyatakan oleh Sadr) akan mengakibatkan dikurangi nya hak memiliki sejajar dengan ‘kedhaliman’ yang dilakukan.
  3. Hak memiliki dibatasi oleh umur pemiliknya, yakni ia terikat oleh hukum waris yang telah menetapkan cara pembagian harta warisan kepada orang-orang tertentu.
  4. Barang-barang tertentu, seperti sumber daya alam, tidak dapat dimiliki secara pribadi. Dan menjadi milik masyarakat secara keseluruhan. Di sini pemerintah memainkan peranan utama sebagai penyelia dan dalam redfistribusinya (terutama sekali melalui hukum zakat dan hukum waris).

  1. Pengambilan keputusan dan alokasi sumber
Khaf, seperti juga kebanyakan ahli ekonomi islam lainya, meragukan bahwa baik ‘free enterprise market system’ barat maupun ‘centrally planned economies’ negara-negara sosialis mewakili model alokasi didalam perekonomian islam. Ia mengusulkan apa yang diistilakanya dengan ‘free cooperation’ (1978: 42) yang membahas hubungan individu masyarakat- negara dalam suatu perekonomian islam dan bagaimana kebebasan, kerjasama dan peranan pemerintah harus dilihat berdasarkan pada ‘rules of the game’ islam.
Bagi khaf (1978: 48), negara adalah perencana, penyelia[8] dan produsen disamping juga konsumern. Secara lebih spesifik, negara mempunyai  peranan sebagai berikut :
  1. Redistribusi (tdak hanya pendapatan melainkan juga kesempatan) melalui pengenaan zakat, hukum waris distribusi yang benar akan barang konsumsi, dan mengarahkan employment antarindustri (bila perlu)
  2. penetapan standar of living minimum sesuai dengan tingkat pembangunan dan lingkungan, oleh karena telah menjadi kewajiban pemerintah untuk menjamin bahwa setiap anggota masyarakat dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya sehingga dapat hidup layak, maka harus ada semacam sistem jaminan sosial, pada waktu yang sama, dapat menghindari terjadinya efek nehatif ‘pemberian’
  3. penyediaan utilitas publik, sama seperti para ahli yang lain, Khaf melihat hal ini sebagai tugas utama pemerintah yang (seperti telah disebutkan diatas) muncul dari hadist yang menyatakan bahwa nabi Saw. Mengenai diperlukan nya kepemilikan umum untuk barang- barang tertentu, yang ditafsirkan sebagai public goods
  4. penyelia dan controller, secara amat sederhana, hal itu berarti tugas pemerintah untuk menjamin ditegakannya ‘rules of the game.

  1. Implementasi zakat dan pelarangan riba
Menarik untuk dicatat bahwa sekalipunn zakat itu dipungut atas segala jenis harta [bukan hanya atas harta tertentu saja seperti yang disampaikan oleh sementara kritikus seperti kuran (1986)], khaf yakni bahwa hasil pungutan zakat tidak akan cukup untuk membiayai semua jenis pengeluaran negara. Oleh karena itu, ia mendukung kemungkinan dipungutnya pajak sebagai tambahan. Sekalipun khaf melihat adanya efek positif zakat terhadap tabungan, investasi dan pendapatan nasional, yakni lebih efektif dibandingkan dengan pajak sekuler, namun ini tidak melihat pajak sebagai pengganti pajak.
            Ia tidak ragu untuk menyatakan bahwa bynga adalah riba, dan mengkritik mereka yang mencoba membedakan antara usury[9] dan bunga (dengan menyatakan bahwa usury sajalah yang riba). Khaf menuduh mereka itu berusaha ‘meng-islamkan yang non-islami di negara-negaga muslim ini’. Seperti hal nya para ahli yang lain, ia menyatakan bahwa mudharabah/qiradh adalah instrumen islam untuk mengganti semua transaksi berbasis riba.
  1. Penilaian yang tepat atas faktor produksi
Khaf (1978: 33-36) menegur beberapa ahli ekonomi islam yang berusaha untuk ‘merendahkan peranan barang modal di dalam produksi’ demi membenarkan pelarangan atas bunga. Baginya, tanah, tenaga kerja, dan modal semuanya memainkan peranan di dalam produksi dan harus dipahami didalam konteks pandangan islam tentang ‘tuntutan kepemilikan’ dan tentang pembagian produk diantara faktor-faktor produksi. Dalam hal ini, dia setuju dengan, dan mengutip pendapat, sadr mengenai ‘prinsip konstannya kepemilikan’ yang menyatakan bahwa faktor produksi asli bisa mempertahankan kepemilikan, sementara di sisi lain ada keharusan membayar imbalan yang ‘adil’ pada faktor produksi yang lain nya (contoh yang diberikan melukiskan faktor produksi asli ini ‘pemilik’ tanah yang menggaji orang lain untuk menggarap tanah nya)
  1. Penetapan harga output yang tepat
Khaf berpendapat bahwa bekerjanya pasar secara benar akan menentukan harga output berdasarkan permintaan dan penawaran,. Namun, jika terjadi manipulasi, penipuan, praktik monopolistik yang unfair,an sebagainya, maka negara sebagai muhtasib, dapat melakukan campur tangan dan selanjutnya menentukan “harga ekuivalennya’.
  1. Redistribusi output (pendapatan) bagi mereka yang tidak mampu mendapatkanya melalui kekuatan pasar
Bagi khaf, ini melibatkan zakat wajib dan transfer lain yang tidak wajib di dalam islam.
Dalam persoalan distribusi awal dan redistribusi, khaf tidak memberi petunjuk yang jelas sekalipun ia mengusulkan adanya kesempatan yang sama bagi semua orang yang mencari kesejahteraan ekonomi. Hal itu didukung oleh pandangannya bahwa hak milik baru benar jika orang mampu memanfaatkan miliknya itu, dan hal ini mengandung arti (semacam teori nilai dari tenaga kerja) bahwa pendistribusian hak milik berdasarkan pada kemauan bekerja adalah suatu yang mungkin. Namun ia membuat pembedaan yang jelas antara hak milik dan hak guna. Seperti yang telah disebutkan di depan, orang dapat kehilangan hak guna jika ia tidak memanfaatkan barangnya atau tidak mengizinkan orang lain untuk memanfaatkan nya.
Dapat disimpulkan bahwa pandangan Khaf terhadap distribusi bersandar pada mekanisme pasar, jika kebutuhan dasar masyarakat telah terpenuhi. Dalam hal ini, terlihat bahwa khaf setuju dengan mannan dan siddiqi.
C.    Produksi
Menurut khaf (1978: 28) produksi dapat dilihat dari sisi positif dan sisi normatif. Jika ‘hukum-hukum materiil dan ekonomi serta hal-hal lain yang bersangkutan dengan fungsi produksi masuk dalam sisi positif, pendorong; produksi dan tujuannya masuk ke dalam sisi normatif”. Yang bersangkutan dengan fungsi produksi masuk dalam sisi positif, pendorong; produksi dan tujuan nya masuk ke dalam sisi normatif”. Ia membicarakan topik-topik yang biasa dibahas oleh para ahli ekonomi islam, yakni tujuan dan motif produksi, faktor produksi, dan tujuan firm.
Khaf (1978: 30-31) mengutip  dua puluh klausul yang disampaikan oleh Sadr. Kedua puluh klausul itu pada dasarnya dapat diringkas menjadi:
  1. Pemanfaatan adalah alasan bagi kepemilikan;
  2. Harus ada pemanfaatan yang terus menerus untuk mempertahankan hak milik;
  3. Kegiatan antara yang ‘tidak produktif’ adalah terlarang;
  4. Kegiatan yang secara ekonomi ‘tidak produktif’ adalah terlarang;
  5. Tidak boleh ada penimbunan;
  6. Spekulasi adalah terlarang;
  7. Harus menyediakan kebutuhan dasar bagi masyarakat;
  8. Menghindari kemewahan;
  9. Negara berperan besar sebagai perencana dan penyelia.
Oleh karena produksi dipandang tidak hanya sebagai sarana untuk memperbaiki kesejahteraan materiil semata melainkan juga kesejahteraan spiritual, maka menurut khaf (1978: 31-32), hal ini memiliki implikasi pada tujuan produksi, yakni:
  1. Barang yang mungkin saja ‘menguntungkan’ secara materiil, namun dilarang oleh islam, tidak dipandang menguntungkan dan tidak boleh di produksi (karena kedudukan spirtual manusia jadi merosot).
  2. Adalah amat penting intuk mendistribusikan benefit produksi kepada orang sebanyak mungkin
  3. Kelangkaan tidak lagi dilihat dalam konteks kebutuhan, melainkan sebagai akibat dari kemalasan manusia dan keengganan untuk menggali sepenuhnya benefit dari ‘hadiah Allah Swt’.

1.3 Umar Chapra
Umar Chapra lahir pada tanggal 1 Februari 1933 di Pakistan Arab Saudi. Beliau terkenal dengan kontribusinya mengenai perkembangan ekonomi Islam selama 3 dekade. Beliau sangat dihormati atas pandangan dan pendekatan ilmiahnya. Kontribusi yang paling terkemuka yaitu dalam 3 bukunya : Kearah Sistem Moneter yang Adil (1985), Islam dan Tantangan Ekonomi (1992), dan Masa Depan Ekonomi: Suatu Perspektif Islam (2000).
            Menurut Umar Chapra, ilmu ekonomi konvensional yang selama ini mendominasi pemikiran ilmu ekonomi modern, telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang sangat maju dan bahkan terdepan. Dampak yang lebih mengaggumkan lagi dari akselerasi perkembangan di negara-negara industri Barat adalah tersedianya sumber-sumber kajian yang substansial bagi para pakar untuk membantu program riset mereka.
            Lain halnya dengan ilmu ekonomi islam. Ilmu ekonomi dengan perspektif islam ini baru menikmati kebangkitannya pada tiga atau empat dekade terakhir ini.
Tiga konsep penting yang menjadi pilar-pilar dasar ilmu ekonomi konvensional adalah:
1.       Rational Economic Man. Sangat dipengaruhi oleh asumsi tingkah laku yang rasional.
2.      Positivisme. Mengesampingkan peran nilai moral sebagai alat filterisasi dalam alokasi dan distribusi sumber daya.
3.      Hukum Say. Menyebutkan bahwa sebagaimana alam semesta ilmu ekonomi akan berjalan secara baik apabila dibiarkan secara lepas sekehendaknya.

A.    Kapitalisme
Struktur ekonomi kapitalismeadalah struktur bersaing. Karena persaingan dapat menyebabkan suatu proses seleksi alam dan dengannya setiap individu dapat mencapai tingkat dalam posisi yang paling mampu untuk didudukinya. Oleh karena itu campur tangan pemerintah tidak diperlukan untuk memantapkan persaingan dan pasar secara teratur serta untuk menutup kerugian pasar dalam menjual barang-baranhg kebutuhan umum. Biarkan saja perekonomian berjalan dengan sendirinya tanpa campur tangan pemerintah. Intervensi pemerintah hanya bisa diterima jika terdapat kebutuhan untuk menghilangkan distorsi, menjamin proses persaingan, mengatur pasar dan menyelesaikan kesalahan proses penyediaan kebutuhan-kebutuhan publik.
B.     Sosialisme
Kaum sosialis menganggap pemilikan pribadi dan sistem upah sebagai sumber kejahatan dan menekankan bahwa keadilan tidak dapat diberikan kepada si miskin tanpa mensosialisasikan pemilikan pribadi dalam berbagai tingkatan.
Konsep prinsip dalam analisis Marx tentang sosialisme adalah ‘alienasi’ atau keterasingan yang timbul dalam suatu masyarakat kapitalis sebagai akibat dari eksploitasi kaum proletar oleh kaum borjuis. Alienasi akan hilang jika masyarakat bebas kelas telah ditegakkan dan Negara telah semakin lemah setelah melalui berbagai thapan proses sejarah.  Satu-satunya cara mengakhiri alienasi adalah menghapuskan kepemilikan pribadi sebagai penyebab utamanya.
Akan tetapi, strategi Marxis tentang kepemilikan negara atas seluruh sarana produksi dan perencanaan pada praktiknya telah terbukti salah tempat karena beberapa kelemahan dalam penalarannya.
Pertama, ia secara diam-diam mengasumsikan bahwa setelah pengenalan sosialisme, manusia yang sama dalam kapasitasnya sebagai konsumen, pekerja, manajer perusahaan dan pegawai pemerintah, akan selalu didorong untuk melakukan yang terbaik dalam rangka kebaikan sosial tanpa memperhatikan kepentingan pribadinya.
Kedua, diasumsikan bahwa mesin kekuasaan Negara akan dijalankan oleh sekelompok orang yang kepentingannya selaras dengan kepentingan seluruh masyarakat. Hal ini, tidak dibenarkan karena Negara tidak terlepas dari pluralitas kepentingan dan hak-hak istimewa yang timbul dari faktor-faktor semisal kedudukan dalam struktur kekuasaan, bangsa dan kawasan geografis.
Ketiga, diasumsikan bahwa mesin perencanaan pusat akan melengkapi semua informasi mengenai preferensi konsumen, biaya produksi dan harga yang perlu untuk pengambilan berbagai keputusan. Namun informasi demikian tidak ada. Tidak mungkin informasi sedemikian dapat dimiliki tanpa ada interaksi bebas dari penawaran dan permainan pasar.
Keempat, diasumsikan bahwa subsidi umumyang besar, yang diimplikasikan dalam sistem penentuan harga di soviet akan menguntungkan si miskin. Namun pada kenyataannya hal ini malah menguntungkan si kaya, pada sisi lain ia menyiksa para petani yang memperoleh harga rendah dari produk mereka dan insentifnya untuk bekerja secara efisien.   
C.    Negara sejahtera
Filsafat Negara sejahtera mengakui full employment dan distibusi pendapatan kekayaan yang adil sebagai bagian dari tujuan pokok Negara. Hal ini menuntut, peran Negara yang lebih aktif dalam bidang ekonomi dibandingkan perannya dibawah paham kapitalisme. Laisezz faire atau bahkan teori Keynes. Hal ini dapat dilaksanakanmelalui enam perangkat neagar sejahtera sebagai berikut :
1.      Regulasi
2.      Nasionalisasi
3.      Gerakan buruh
4.      Kebijakan fiscal
5.      Pertumbbuhan yang tinggi
6.      Full employment
Walaupun tujan-tujuan Negara sejahtera berperikemanusiaan, namun ia tidak bisa membangun strategi yang efektif untuk mencapai tujuannya.problem ini muncul karena Negara sejahtera menghadapi kekurangan sumber sebagaimana yang dihadapi oleh Negara-negara lain. Apabila Negara sejahtera meningkatkan pemanfaatannya atau sumber-sumber daya itu melalui pelayanan kesejahteraan,  ia harus menurunkan pemanfaatan lain ke atas sumber-sumber daya.
D.    Ilmu ekonomi islam
1.      Prinsip-prinsip Paradigma Islam
a.      Rational Economic Man
Tingkah laku rasional dalam islam bertujuan agar mampu mempergunakan sumber daya karunia Allah dengan cara yang dapat menjaminkesejahteraan duniawi individu. Bukan kekayaan atau kemiskinan.

b.      Positivisme
Seluruh sumber daya adalah amanah dari Allah dan manusia akan diminta pertanggungjawabannya.
c.       Keadilan
Harun Ar-rasyid mengatakan bahwa memperbaiki kesalahan dengan menegakkan keadilan dan mengikis ketidakadilan akan meningkatkan pendapatan pajak, mengekskalasi pembangunan Negara, serta akan membawa berkah yang menambah kebajikan di akhirat. 
d.      Pareto optimum
Dalam islam penggunaan sumber daya yang paling efisien diartikan dengan maqashid. Setip perekonomian dianggap telah mencapai efisiensi yang optimum bila telah menggunakan seluruh potensi sumber daya manusia dan materi yang terbatas sehingga kualitas barang dan jasa maksimum dapat memuaskan kebutuhan.
e.       Intervensi Megara
Al-Mawardi telah mengatakann bahwa keberadaan sebbuah pemerintahan yang efektif sangat dibutuhkan untuk mencegah kedzaliman dan pelanggaran. Nizam al-Mulk menyebutkan bahwa tugas dan tanggung jawab Negara atau penguasa adalah menjamin keadilan dan menjalankan segala sesuatu yang penting untuk  meraih kemakmuran masyarakat luas.
2.      Keuangan Publik
a.      Zakat
Zakat merupakan kewajiban religius bagi seorang muslim sebagaimana shalat, puasa dan naik haji, yang harus dikeluarkan sebagai proporsi tertentu terhadap kekayaan atau output bersihnya. Hasil zakat ini tidak bisa dibelanjakan oleh pemerintah sekehendak hatinya sendiri. namun demikian, pemerintahan islam harus tetap menjaga dan memainkan peranan penting dalam memberikan kepastian dijalankannya nilai-nilai islam.
Agar zakat memainkan peranannya secara berarti, sejumlah ilmuan menyarankan bahwa zakat ini seharusnya menjadi suplemen pendapatan yang permanen hanya bagi orang-orang yang tidak mampu menghasilkan pendapatan yang cukup melalui usaha-usahanya sendiri. zakat dipergunakan hanya untuk menyediakan pelatihan dan modal unggulan, baik sebagai kredit yang bebas bunga ataupun sebagai bantuan untuk membuat mereka mampu membentuk usaha-usaha kecil sehingga dapat berusaha sendiri.
b.      Pajak lainnya
Sejumlah ulama yang terkenal telah menyadarai hak pemerintahan islam untuk mendapatkan sumber dananya melalui pajak agar ia mampu menjalankan fungsinya secara efektif. Al-Qardhawi berpendapat bahwa karena tanggung jawab pemerintah sangat meningkat sepanjang waktu, “dari mana pemerintah akan melakukan pembiayaan jika ia tidak diijinkan untuk memungut pajak.” Dengan demikian, perlu dirancang suatu sistem perpajakan yang disesuaikan dengan perubahan keadaan. Para cendikiawan menganggap bahwa pajak langsung lebih memberikan keadilan di dalam pandangan islam. Hasan Al-Banna, al-Qradhawi dan al-Abbadi menganggap bahwa system pajak yang progressif benar-benar selaras dengan etos islam, karena sisitem ini membantu mengurangi ketidakmerataan dalam pendapatan dan kekayaan.
3.      Prinsip Pembalanjaan
Ada enam prinsip umum untuk membantu memberikan dasar yang rasioanl dan konsisten mengenai belanja publik, yaitu :
1.      Kriteria utama untuk semua alokasi pengeluaran adalah kesejahteraan masyarakat.
2.      Penghapusan kesulitan hidup dan penderitaan harus diutamakan di atas penyediaan rasa tentram.
3.      Kepentingan mayoritas harus didahulukan di atas kepentingan otoritas yang lebih sedikit.
4.      Pengorbanan individu dapat dilakukan untuk menyelamatkan pengorbanan atau kerugian publik.
5.      Siapapun yang menerima manfaat yang harus menanggung biayanya.
6.      Sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tidak dapat terpenuhi juga merupakan suatu kewajiban untuk pengadaannya.
Beberapa ulama klasik menentang keras pemerintah berutang karena adanya salah urus dari pembiayaan publik yang lazim terjadi pada masa mereka. Mereka menetapkan suatu kondisi dimana pemerintah tidak boleh meminjam kecuali ada ekspektasi mengenai pendapatan yang akan menjamin pembayaran utangnya kembali. Meski diperbolehkan secara prinsip syariah mencari pinjamanuntuk membiayai defisit anggaran namun harus dihindarkan.
4.      Kebijakan moneter
Instrument kebijakan moneter yang terdiri atas enam elemen yaitu:
1.      Target pertumbuhan dalam M dan Mo
2.      Saham Publik Terhadap deposito unjuk (uang giral)
3.      Cadangan wajib resmi
4.      Pembatas kredit
5.      Alokasi kredit yang beralokasi pada nilai
6.      Teknik yang lain (kontak personal, konsultasi dan rapat-rapat dengan bank komersial)
Instrument lain yang juga terdapat dalam literature perbankan islam diantaranya adalah :
1.      Membeli dan menjual saham dan sertifikasi bagi hasil untuk menggantikan obligasi pemerintah dalam operasi pasar.
2.      Rasio pemberian kembali pembiayaan.
3.      Rasio pemberian pinjaman.[10]

2.      MADZHAB ALTERNATIF
2.1 Timur Kuran
Ia adalah seorang dosen ekonomi di Southern California University, USA. Pemikirannya bisa ditemukan dalam tulisan artikel-artikelnya, yaitu; “The Economyc System in Contemporary Islamic Thought: Interpretation and Assessment”, dalam International Journal of Middle East Studies Volume 18 tahun 1986, dan “On The Notion of Economic Justice in Contemporary Islamic Thought”, dalam International Journal of Middle East Studies Volume 21 tahun 1989.[11]
Mazhab ini mengkritik dua mazhab sebelumnya Mazhab baqir dikritik sebagai mazhab yang berusaha menemukan teori baru yang sesungguhnya telah ditemukan oleh orang lain. Sedang mainstream dilihat sebagai jiplakan dari ekonomi neo-klasik dengan menghilankan unsur riba serta memasukkan variabel zakat dan niat
Alternatif-Kritis mempunyai pendapat bahwa analitis kritis bukan saja harus dilakukan terhadap sosialisme dan kapitalisme, tetapi juga tehadap ekonomi islam itu sendiri.
Dari ketiga mazhab tersebut diatas, pendekatan yang paling sering digunakan dalam mengkaji ekonomi islam adalah sudut pandang/mazhab mainstream.
Mazhab ini paling lazim digunakan karena paling realistis dan pada beberapa sektor telah dapat menemukan teori-teori baru. Selain itu. Beberapa alasan yang diajukan adalah; pertama, tidak ada suatu cabang ilmu yang hadir dikemudian hari tanpa ada keterkaitan dengan disiplin ilmu yang telah dikembangkan pada masa sebelumnya. Kedua, fondasi rancang bangun ekonomi islam sampai saat ini belum sepenuhnya kokoh dengan berbagai macam teori-teorinya sebagaimana ekonomi konvensional. Ketiga, kritik yang diarahkan kepada mazhab mainstream bahwa ia hanya sebagai produk jiplakan neo-klasik menurut penyusun tidak dikatakan benar secara meyakinkan.[12]

KESIMPULAN
1.      Madzhab Mainstream
Berbeda pendapat dengan mazhab As-Sadr dan justru sependapat dengan mazhab konvensional dan setuju bahwa masalah ekonomi itu muncul karena terbatasnya sumber daya yang dihadapkan pada tidak terbatasnya keinginan manusia. Perbedaan pendapat mazhab ini terletak pada cara menyelesaikan masalah ekonomi tersebut, kalau dalam ekonomi konvensional pilihan dan penentuan skala perioritas dilakukan berdasarkan selera pribadi masing-masing manusia, tuhan (agama) boleh dipertimbangkan boleh diabaikan.
 Mazhab ini berpendapat pilihan dan skala perioritas tidak dilakukan semaunya saja, akan tetapi haruslah selalu sesuai dengan panduan Allah yang terdapat pada Al Qur’an dan As Sunnah. Mengambil ilmu dan budaya non muslim tidak diharamkan asal tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As Sunnah.
2.      Madzhab Alternatif
Mazhab ini sendiri berpendapat bahwa analisis kritis bukan hanya dilakukan terhadap kapitalisme dan sosialisme tetapi juga terhadap ekonomi islam itu sendiri. Mereka yakin bahwa islam itu pasti benar tetapi ekonomi islam belum tentu benar, karena dia adalah tafsiran manusia terhadap Al-Qur’an dan Al Hadist, sehingga nilai kebenarannya tidaklah mutlak.
Proposisi dan teori-teori yang diajukan oleh ekonom-ekonom islam haruslah selalu diuji kebenarannya sebagaimana yang dilakukan terhadap ekonomi konvensional. (Memberi  kesempatan untuk ekonomi sebagai Ilmu selalu berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu-ilmu lain.)






DAFTAR PUSTAKA
-          Haneef Aslam Mohamed, Diterjemahkan Oleh: Rosyidi Suherman Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer(Analisis Komparatif Terpilih) Rajawali Pers (Jakarta,2010).
-          Amalia, Euis, sejarah pemikiran ekonomi islam ( Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer) Gramata publishing ( Jakarta : 2010)
-          http://kesempurnaanqu.blogspot.com/2013/10/pemikiran-ekonomi-islam.html, di akses pada tanggal 10 Mei 2015 pukul 20.42 WIB.
-          http://vi2tgeulis.blogspot.com/2010/03/artikel-filink-2009-departemen.html, di akses pada tanggal 10 Mei 2015 pukul 20.45 WIB.






[1] Mohamed Aslam Haneef pemikiran ekonomi Islam kontemporer (jakarta, 2010) Rajawali pers, Hal: 15
[2] Ibid, hal 16
[3] Opcit, hal 19
[4] Opcit, hal 20-24
[5] Opcit, hal 26
[6] Opcit, hal 29
[7] Hal ini ditunjukan oleh kenyataan bahwa bapak ilmu ekonomi barat sendiri, yakni Adam Smith, adalah seorang filusuf yang telah mendapatkan apa yang boleh disebut sebagai ‘pendidikan agama’ sebagaimana yang juga dialami oleh kebanyakan ahli ilmu pada masa itu dan sebelumnya.
[8] Penyelia = supervisor
[9] Usury, didalam kamus diberi arti: bunga yang amat tinggi (pent.)
[10] Amalia Euis, sejarah pemikiran ekonomi islam ( Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer) Gramata publishing ( Jakarta : 2010) hlm.

[11] http://kesempurnaanqu.blogspot.com/2013/10/pemikiran-ekonomi-islam.html, di akses pada tanggal 10 Mei 2015 pukul 20.42 WIB.
[12]  http://vi2tgeulis.blogspot.com/2010/03/artikel-filink-2009-departemen.html, di akses pada tanggal 10 Mei 2015 pukul 20.45 WIB.

2 comments:

  1. terimakasih atas tuisannya,, semoga bermanfaat

    ReplyDelete
  2. QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
    -KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
    Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
    • BandarQ
    • AduQ
    • Capsa
    • Domino99
    • Poker
    • Bandarpoker.
    • Sakong
    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • WA: +62 813 8217 0873
    • BB : D60E4A61
    • BB : 2B3D83BE

    ReplyDelete