Alhamdulillah.
Puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT. berkat rahmat dan nikmat-Nya saya
bisa menyelesaikan tulisan ini dengan baik untuk memenuhi tugas Fiqh Muamalat
Kontemporer yang dibimbing oleh Bapak H.AH. Azharuddin Lathif, M.Ag., MH.
Selain itu, tulisan ini dibuat untuk dijadikan sebagai bahan pembelajaran lebih
lanjut mengenai kekurangan instrumen kebijakan moneter syariah.
Mengingat
saya masih belajar dalam melakukan
kegiatan menulis secara ilmiah, maka banyak sekali kekurangannya. Baik dari
segi penulisan yang masih banyak melanggar peraturan Ejaan Yang Disempurnakan,
isi yang masih belum terlalu baik dan penyusunan yang masih jauh dibawah
kategori baik. Oleh karena itu, saya memohon maaf sebesar-besarnya apabila
terdapat banyak kesalahan dan kekeliruan dalam tulisan ini.
Dengan
selesainya tulisan ini, pembaca diharapkan untuk memahami dan mengkritisi
tulisan ini apabila diperlukan. Saya juga berharap, agar pembaca dapat
menerapkan ekonomi yang berlandaskan syariah dalam kehidupan sehari-hari.
Terimakasih.
Jakarta, 5 April 2015
Daftar Isi
A. Kata Pengantar………………………………………………………………………….. 1
B. Daftar
Isi……………………………………............................................................. 2
C. BAB I Pendahuluan…………………………………………………………………….. 4
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………... 4
1.2 Rumusan Masalah…………………………………… …..…… 5
1.3 Tujuan Penulisan……………………………………...........…………. 5
D. BAB II Pembahasan………………………………………………………………….. 6
2.1 Pengertian
Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai..………………. 6
2.2 Dasar dan
Landasan hukum………………………………………………. 6
2.3 Praktik Jual
Beli Emas Tidak Tunai di Lembaga Keuangan................... 17
2.4 Masalah
Kesyariahan Jual Beli Emas Tidak Tunai................................. 22
2.5 Kritik
Konsep dan Praktik Jual Beli Emas Tidak Tunai......................... 25
E. BAB III Penutup……………………………………………………………………… 27
3.1 Kesimpulan……………………………………………………… 27
3.2 Saran……………………………………………………………………… 27
3.3 Daftar pustaka…………………………………………………………….. 28
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan saat ini, sulit sekali menghindari
kegiatan transaksi yang menggunakan sistem bunga. Ketidakpastian nilai uang
yang disebabkan oleh adanya inflasi adalah salah satu faktor utama yang
menyebabkan diterapkannya sistem bunga. Nilai uang saat ini berbeda dengan
nilai dimasa depan. Oleh karena itu, banyak masyarakat yang menabung di bank
konvensional maupun syariah untuk mengantisipasi ketidakpastian nilai uang tersebut.
Bahkan tidak jarang masyarakat membeli mata uang asing
dan emas sebagai alat penyimpan kekayaan, padahal
pada kenyataannya, inflasi bukanlah penyebab adanya bunga, melainkan
sebaliknya, bungalah yang menyebabkan adanya inflasi. Jadi, sangatlah keliru
apabila ada seseorang atau lembaga keuangan tertentu yang menjadikan inflasi
sebagai alasan untuk menetapkan tingkat suku bunga.
Di zaman modern seperti sekarang, inflasi adalah
permasalahan ekonomi serius yang harus dihadapi oleh hampir seluruh negara di
dunia. Permasalahan tersebut diperumit dengan tidak efektifnya
bunga bank dalam mengantisipasi inflasi dalam jangka panjang. Tak jarang
persentase bunga tahunan yang ditetapkan bank berada di bawah persentase
tingkat laju inflasi, sehingga masyarakat yang paham mengenai Present and Future Value of Money, berbondong-bondong
mengalihkan uangnya untuk membeli mata uang asing (dollar Amerika) dan emas untuk menghindari kerugian akibat dari
dampak menurunnya nilai uang yang mereka miliki. Namun, bagi masyarakat ekonomi
menengah kebawah tampaknya sulit untuk membeli mata uang asing dikarenakan
rendahnya tingkat pendapatan mereka. Oleh karena itu emas merupakan salah satu
pilihan terbaik untuk mengamankan nilai uang/aset mereka di masa yang akan
datang.
Pembelian emas yang telah dijadikan perhiasan, seperti
anting, gelang dan kalung merupakan favorit masyarakat menengah ke bawah. Motif
utama masyarakat membeli emas perhiasan adalah sebagai alat penyimpan kekayaan,
tak jarang juga motif mereka membeli emas perhiasan murni untuk memperindah
diri. Inilah yang mendasari bisnis emas menjadi begitu menguntungkan bagi
perbankan-perbankan di Indonesia.Terlebih dari berbagai produk emas yang sudah
ditawarkan bank-bank di Indonesia baik berbasis konvensional maupun syariah
seperti, Cicil Emas, Mitra Emas, Berkebun Emas, dan Gadai
Emas sama sekali tidak beresiko bagi bank.
Meski banyak menguntungkan bagi keduabelah pihak, ada
permasalahan yang muncul dalam transaksi jual beli emas. Hal ini dikarenakan
hampir semua produk emas yang ditawarkan oleh bank bersifat tidak
tunai/kredit/cicil, sehingga banyak membingungkan masyarakat terkait dasar
hukumnya.
PT Bank Mega Syariah yang menanggapi kegelisahan
nasabahnya terkait dasar hukum jual beli emas secara tidak tunai lalu
mengirimkan surat kepada Dewan Syariah Nasional untuk segera megeluarkan fatwa
terkait permasalahan tersebut. Menanggapi hal tersebut, Dewan Syariah Nasional
bertindak cepat dengan mengeluarkan fatwa terbaru nomor: 77/DSN-MUI/V/2010
tentang jual beli emas secara tidak tunai.
Fatwa tersebut jelas sangat berpengaruh terhadap dunia
perbankan. Efeknya semakin banyak dan berkembangnya produk cicil emas di semua
perbankan. Namun, masih banyak pihak yang mempertanyakan dan meragukan fatwa
tersebut. Fatwa yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional tersebut dinilai belum
sesuai dengan tujuan syariah dan hanya menguntungkan pihak Lembaga Keuangan,
khususnya Lembaga Keuangan Syariah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaiamana mekanisme jual beli emas di
perbankan?
2. Apa dasar
MUI dalam menetapkan fatwa tentang hukum jual beli emas tidak tunai?
3. Apakah fatwa tersebut sudah sesuai dengan tujuan syariah??
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk melaksanakan tugas
mata kuliah Fiqh
Muamalat Kontemporer yang dibimbing oleh H. AH. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH dan untuk
mengetahui dampak serta berbagai kelemahan dari diputuskannya fatwa MUI Nomor:
77/DSN-MUI/V/2010 tentang JUAL BELI EMAS SECARA TIDAK TUNAI dalam praktiknya
yang diterapkan oleh pegadaian dan bank syariah.
BAB II
Pembahasan
2.1 Pengertian JualBeli Emas Secara Tidak Tunai
Jualbeli emas secara tidak tunai adalah sebuah proses pemindahan hak milik berupa
emas yang dianggap sebagai harta atau barang komoditas kepada pihak lain dengan
menggunakan uang sebagai salah satu alat tukarnya yang dibayarkan secara berangsur-angsur
dengan tingkat harga atau angsuran sesuai dengan kesepakatan dan kerelaan kedua
belah pihak saat melakukan akad.[1]
2.2 Dasar dan
Landasan Hukum
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor 77/DSN-MUI/VI/2010
Tentang
Jual-Beli Emas secara Tidak Tunai[2]
بِسْمِ ٱللَّهِ
ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI), setelah
Menimbang :
a.
Bahwa transaksi jual beli emas
yang dilakukan masyarakat saat ini seringkali dilakukan dengan cara pembayaran
tidak tunai, baik secara angsuran (taqsith) maupun secara tangguh (ta'jil);
b.
bahwa transaksi jual beli emas
dengan cara pembayaran tidak tunai tersebut menimbulkan perbedaan pendapat di
kalangan umat Islam antara pendapat yang membolehkan dengan pendapat yang tidak
membolehkan;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana disebutkan dalam huruf a dan b di atas, DSN-MUI memandang perlu
menetapkan fatwa tentang transaksi jual beli emas secara tidak tunai untuk
dijadikan pedoman.
Mengingat :
- Firman
Allah SWT QS. al-Baqarah [2]: 275:
… وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا …
"… Dan
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …"
- Hadis Nabi
SAW[3],
antara lain:
- Hadis
Nabi riwayat Ibnu Majah dan al-Baihaqi dari Abu Sa'id al-Khudri:
Rasulullah SAW
bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar
kerelaan (antara kedua belah pihak)." (HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi, dan
dinilai shahih oleh Ibnu Hibban)
- Hadis
Nabi riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa'i, dan Ibn Majah, dengan
teks Muslim dari 'Ubadah bin Shamit, Nabi SAW bersabda:
"(Jual
beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan
sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama
dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu
jika dilakukan secara tunai."
- Hadis
Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad,
dari Umar bin Khatthab, Nabi SAW bersabda:
الذَّهَبُ بِالْوَرِقِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ ...
"(Jual
beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai."
- Hadis
Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa'id al-Khudri, Nabi SAW bersabda:
"Janganlah
kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan
sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali
sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; dan
janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang
tunai."
- Hadis
Nabi riwayat Muslim dari Bara' bin 'Azib dan Zaid bin Arqam: [4]
"Rasulullah
SAW melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai)."
- Hadis
Nabi riwayat Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf al-Muzani, Nabi SAW bersabda:
"Perdamaian
(musyawarah mufakat) boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian
yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin
terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal
atau menghalalkan yang haram."
- Kaidah Ushul
dan Kaidah Fikih, antara lain:
- Kaidah
Ushul:
"Hukum
berputar (berlaku) bersama ada atau tidak adanya 'illat."
('Ali Ahmad al-Nadawiy, Mawsu'ah al-Qawa'id wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah al-Hakimah li-al-Mu'amalat al-Maliyah fi al-Fiqh al-Islamiy, Riyadh: Dar 'Alam al-Ma'rifah, 1999; J. 1, h. 395).
('Ali Ahmad al-Nadawiy, Mawsu'ah al-Qawa'id wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah al-Hakimah li-al-Mu'amalat al-Maliyah fi al-Fiqh al-Islamiy, Riyadh: Dar 'Alam al-Ma'rifah, 1999; J. 1, h. 395).
- Kaidah
Fikih:
"Adat
(kebiasaan masyarakat) dijadikan dasar penetapan hukum."
(Jalal al-Din 'Abd al-Rahman al-Suyuthiy, al-Asybah wa al-Nazha'ir fi Qawa'id wa Furu' al-Syafi'iyah, al-Qahirah: Dar al-Salam, 2004, cet. ke-2, h. 221).
(Jalal al-Din 'Abd al-Rahman al-Suyuthiy, al-Asybah wa al-Nazha'ir fi Qawa'id wa Furu' al-Syafi'iyah, al-Qahirah: Dar al-Salam, 2004, cet. ke-2, h. 221).
- Kaidah Fikih:
"Hukum
yang didasarkan pada adat (kebiasaan) berlaku bersama adat tersebut dan batal
(tidak berlaku) bersamanya ketika adat itu batal, seperti mata uang dalam
muamalat …"
(Al-Qarafi, Anwar al-Buruq fi Anwa' al-Furuq, j. 2, h. 228)
(Al-Qarafi, Anwar al-Buruq fi Anwa' al-Furuq, j. 2, h. 228)
- Kaidah
Fikih
"(Dikutip)
dari kitab al-Dzakhirah sebuah kaidah: Setiap hukum yang didasarkan pada suatu
'urf (tradisi) atau adat (kebiasaan masyarakat) menjadi batal (tidak berlaku)
ketika adat tersebut hilang. Oleh karena itu, jika adat berubah, maka hukum pun
berubah."
(Al-Taj wa al-Iklil li-Mukhtashar Khalil, j. 7, h. 68)
(Al-Taj wa al-Iklil li-Mukhtashar Khalil, j. 7, h. 68)
- Kaidah
Fikih:
"Pada
dasarnya, segala bentuk mu'amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya."
Memperhatikan :
- Pendapat
para ulama, antara lain:
- Syaikh
'Ali Jumu'ah, mufti al-Diyar al-Mishriyah, al-Kalim al-Thayyib Fatawa
'Ashriyah, al-Qahirah: Dar al-Salam, 2006, h. 136:
Boleh jual beli
emas dan perak yang telah dibuat atau disiapkan untuk dibuat dengan angsuran
pada saat ini di mana keduanya tidak lagi diperlakukan sebagai media pertukaran
di masyarakat dan keduanya telah menjadi barang (sil'ah) sebagaimana barang lainnya yang diperjualbelikan dengan
pembayaran tunah dan tangguh. Pada keduanya tidak terdapat gambar dinar dan
dirham yang dalam (pertukarannya) disyaratkan tunai dan diserahterimakan
sebagaimana dikemukakan dalam hadis riwayat Abu Sa'id al-Khudri bahwa
Rasulullah saw bersabda: "Janganlah
kalian menjual emas dengan emas kecuali dengan ukuran yang sama, dan janganlah
menjual emas yang gha'ib (tidak
diserahkan saat itu) dengan emas yang tunai." (HR. al-Bukhari).
Hadis ini mengandung 'illat
bahwa emas dan perak merupakan media pertukaran dan transaksi di masyarakat.
Ketika saat ini kondisi itu telah tiada, maka tiada pula hukum tersebut, karena
hukum berputar (berlaku) bersama dengan 'illatnya, baik ada maupun tiada.
Atas dasar itu, maka tidak ada larangan syara' untuk menjualbelikan emas yang telah dibuat atau disiapkan untuk dibuat dengan angsuran.
Atas dasar itu, maka tidak ada larangan syara' untuk menjualbelikan emas yang telah dibuat atau disiapkan untuk dibuat dengan angsuran.
- Prof. Dr.
Wahbah al-Zuhaily dalam al-Mu'amalat al-Maliyah al-Mu'ashirah,
(Dimasyq: Dar al-Fikr, 2006, h. 133):
"Demikian
juga, membeli perhiasan dari pengrajin dengan pembayaran angsuran tidak boleh,
karena tidak dilakukan penyerahan harga (uang), dan tidak sah juga dengan cara
berutang dari pengrajin."
- Pendapat
Syekh Abdullah bin Sulaiman al-Mani' dalam Buhuts fi al-Iqtishd
al-Islamiy, (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1996), h. 322:
Dari penjelasan
di atas, jelaslah bahwa status emas dan perak lebih dominan fungsinya sebagai
tsaman (alat tukar, uang) dan bahwa nashsh sudah jelas menganggap keduanya
sebagai harta ribawi, yang dalam mempertukarkannya wajib adanya kesamaan dan
saling serah terima di majelis akad sepanjang jenisnya sama, dan saling serah
terima di majelis akad dalam hal jual beli sebagiannya (emas, misalnya) dengan
sebagian yang lain (perak), kecuali emas atau perak yang sudah dibentuk
(menjadi perhiasan) yang menyebabkannya telah keluar dari arti (fungsi) sebagai
tsaman (harga, uang); maka ketika itu, boleh ada kelebihan dalam mempertukarkan
antara yang sejenis (misalnya emas dengan emas yang sudah menjadi perhiasan)
tetapi tidak boleh ada penangguhan, sebagaimana telah dijelaskan pada
keterangan sebelumnya.
- Dr.
Khalid Mushlih dalam Hukmu Bai' al-Dzahab bi al-Nuqud bi al-Taqsith:
Secara global,
terdapat dua pendapat ulama tentang jual beli emas dengan uang kertas secara
angsuran:
Pendapat pertama: haram; ini adalah pendapat mayoritas ulama, dengan argumen (istidlal) berbeda-beda. Argumen paling menonjol dalam pendapat ini adalah bahwa uang kertas dan emas merupakan tsaman (harga, uang); sedangkan tsaman tidak boleh diperjualbelikan kecuali secara tunai. Hal ini berdasarkan hadis 'Ubadah bin al-Shamit bahwa Nabi SAW bersabda, "Jika jenis (harta ribawi) ini berbeda, maka jualbelikanlah sesuai kehendakmu apabila dilakukan secara tunai."
Pendapat kedua: boleh (jual beli emas dengan angsuran). Pendapat ini didukung oleh sejumlah fuqaha masa kini; di antara yang paling menonjol adalah Syeikh Abdurahman As-Sa'di. Meskipun mereka berbeda dalam memberikan argumen (istidlal) bagi pandangan tersebut, hanya saja argumen yang menjadi landasan utama mereka adalah pendapat yang dikemukakan oleh Syeikh al-Islam Ibnu Taymiyah dan Ibnul Qayyim mengenai kebolehan jual beli perhiasan (terbuat emas) dengan emas, dengan pembayaran tangguh. Mengenai hal ini Ibnu Taymiyyah menyatakan dalam kitab al-Ikhtiyarat (lihat 'Ala' al-Din Abu al-Hasan al-Ba'liy al-Dimasyqiy, al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah min Fatawa Syaikh Ibn Taimuyah, al-Qahirah, Dar al-Istiqamah, 2005, h. 146):
"Boleh melakukan jual beli perhiasan dari emas dan perak dengan jenisnya tanpa syarat harus sama kadarnya (tamatsul), dan kelebihannya dijadikan sebagai kompensasi atas jasa pembuatan perhiasan, baik jual beli itu dengan pembayaran tunai maupun dengan pembayaran tangguh, selama perhiasan tersebut tidak dimaksudkan sebagai harga (uang)."
Ibnul Qayyim menjelaskan lebih lanjut: "Perhiasan (dari emas atau perak) yang diperbolehkan, karena pembuatan (menjadi perhiasan) yang diperbolehkan, berubah statusnya menjadi jenis pakaian dan barang, bukan merupakan jenis harga (uang). Oleh karena itu, tidak wajib zakat atas perhiasan (yang terbuat dari emas atau perak) tersebut, dan tidak berlaku pula riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara perhiasan dengan harga (uang), sebagaimana tidak berlaku riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara harga (uang) dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang sama. Hal itu karena dengan pembuatan (menjadi perhiasan) ini, perhiasan (dari emas) tersebut telah keluar dari tujuan sebagai harga (tidak lagi menjadi uang) dan bahkan telah dimaksudkan untuk perniagaan. Oleh karena itu, tidak ada larangan untuk memperjualbelikan perhiasan emas dengan jenis yang sama..."
(I'lam al-Muwaqqi'in; 2/247).
http://www.almosleh.com/almosleh/article_1459.shtml[5]
Pendapat pertama: haram; ini adalah pendapat mayoritas ulama, dengan argumen (istidlal) berbeda-beda. Argumen paling menonjol dalam pendapat ini adalah bahwa uang kertas dan emas merupakan tsaman (harga, uang); sedangkan tsaman tidak boleh diperjualbelikan kecuali secara tunai. Hal ini berdasarkan hadis 'Ubadah bin al-Shamit bahwa Nabi SAW bersabda, "Jika jenis (harta ribawi) ini berbeda, maka jualbelikanlah sesuai kehendakmu apabila dilakukan secara tunai."
Pendapat kedua: boleh (jual beli emas dengan angsuran). Pendapat ini didukung oleh sejumlah fuqaha masa kini; di antara yang paling menonjol adalah Syeikh Abdurahman As-Sa'di. Meskipun mereka berbeda dalam memberikan argumen (istidlal) bagi pandangan tersebut, hanya saja argumen yang menjadi landasan utama mereka adalah pendapat yang dikemukakan oleh Syeikh al-Islam Ibnu Taymiyah dan Ibnul Qayyim mengenai kebolehan jual beli perhiasan (terbuat emas) dengan emas, dengan pembayaran tangguh. Mengenai hal ini Ibnu Taymiyyah menyatakan dalam kitab al-Ikhtiyarat (lihat 'Ala' al-Din Abu al-Hasan al-Ba'liy al-Dimasyqiy, al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah min Fatawa Syaikh Ibn Taimuyah, al-Qahirah, Dar al-Istiqamah, 2005, h. 146):
"Boleh melakukan jual beli perhiasan dari emas dan perak dengan jenisnya tanpa syarat harus sama kadarnya (tamatsul), dan kelebihannya dijadikan sebagai kompensasi atas jasa pembuatan perhiasan, baik jual beli itu dengan pembayaran tunai maupun dengan pembayaran tangguh, selama perhiasan tersebut tidak dimaksudkan sebagai harga (uang)."
Ibnul Qayyim menjelaskan lebih lanjut: "Perhiasan (dari emas atau perak) yang diperbolehkan, karena pembuatan (menjadi perhiasan) yang diperbolehkan, berubah statusnya menjadi jenis pakaian dan barang, bukan merupakan jenis harga (uang). Oleh karena itu, tidak wajib zakat atas perhiasan (yang terbuat dari emas atau perak) tersebut, dan tidak berlaku pula riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara perhiasan dengan harga (uang), sebagaimana tidak berlaku riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara harga (uang) dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang sama. Hal itu karena dengan pembuatan (menjadi perhiasan) ini, perhiasan (dari emas) tersebut telah keluar dari tujuan sebagai harga (tidak lagi menjadi uang) dan bahkan telah dimaksudkan untuk perniagaan. Oleh karena itu, tidak ada larangan untuk memperjualbelikan perhiasan emas dengan jenis yang sama..."
(I'lam al-Muwaqqi'in; 2/247).
http://www.almosleh.com/almosleh/article_1459.shtml[5]
- Syaikh
'Abd al-Hamid Syauqiy al-Jibaliy dalam Bai' al-Dzahab bi al-Taqsith:
"Mengenai
hukum jual beli emas secara angsuran, ulama berbeda pendapat sebagai berikut:
- Dilarang; dan ini pendapat mayoritas fuqaha, dari mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali;
- Boleh; dan ini pendapat Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim
dan ulama kontemporer yang sependapat.
Ulama yang
melarang mengemukakan dalil dengan keumuman hadis-hadis tentang riba, yang
antara lain menegaskan: "Janganlah engkau menjual emas dengan emas, dan
perak dengan perak, kecuali secara tunai."
Mereka menyatakan, emas dan perak adalah tsaman (harga, alat pembayaran, uang), yang tidak boleh dipertukarkan secara angsuran maupun tangguh, karena hal itu menyebabkan riba.
Sementara itu, ulama yang mengatakan boleh mengemukakan dalil sebagai berikut:
Mereka menyatakan, emas dan perak adalah tsaman (harga, alat pembayaran, uang), yang tidak boleh dipertukarkan secara angsuran maupun tangguh, karena hal itu menyebabkan riba.
Sementara itu, ulama yang mengatakan boleh mengemukakan dalil sebagai berikut:
- Bahwa emas dan perak
adalah barang (sil'ah)
yang dijual dan dibeli seperti halnya barang biasa, dan bukan lagi tsaman (harga, alat pembayaran,
uang).
- Manusia sangat membutuhkan
untuk melakukan jual beli emas. Apabila tidak diperbolehkan jual beli
emas secara anggsuran, maka rusaklah kemaslahatan manusia dan mereka
akan mengalami kesulitan.
- Emas dan perak setelah
dibentuk menjadi perhiasan berubah menjadi seperti pakaian dan barang,
dan bukan merupakan tsaman
(harga, alat pembayaran, uang). Oleh karenanya tidak terjadi riba riba
(dalam pertukaran atau jual beli) antara perhiasan dengan harga (uang),
sebagaimana tidak terjadi riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara
harga (uang) dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang sama.
- Sekiranya pintu (jual beli
emas secara angsuran) ini ditutup, maka tertutuplah pintu utang piutang,
masyarakat akan mengalami kesulitan yang tidak terkira.
Berdasarkan
hal-hal di atas, maka pendapat yang rajih
dalam pandangan saya dan pendapat yang saya fatwakan adalah boleh jual beli
emas dengan angsuran, karena emas adalah barang, bukan harga (uang), untuk
memudahkan urusan manusia dan menghilangkan kesulitan mereka. http://www.hadielislam.com/readlib/fatawa/fatwa.php?id=694[6]
- Pendapat
peserta Rapat Pleno DSN-MUI pada hari Kamis, tanggal 20 Jumadil Akhir 1431
H/03 Juni 2010 M; antara lain sebagai berikut:
- Hadis-hadis
Nabi yang mengatur pertukaran (jual beli) emas dengan emas, perak dengan
perak, serta emas dengan perak atau sebaliknya, mensyaratkan, antara
lain, agar pertukaran itu dilakukan secara tunai; dan jika dilakukan
secara tidak tunai, maka ulama sepakat bahwa pertukaran tersebut
dinyatakan sebagai transaksi riba; sehingga emas dan perak dalam
pandangan ulama dikenal sebagai amwal ribawiyah (barang ribawi).
- Jumhur
ulama berpendapat bahwa ketentuan atau hukum dalam transaksi sebagaimana
dikemukakan dalam point 1 di atas merupakan ahkam mu`allalah
(hukum yang memiliki 'illat); dan 'illat-nya adalah tsamaniyah,
maksudnya bahwa emas dan perak pada masa wurud hadis merupakan tsaman
(harga, alat pembayaran atau pertukaran, uang).
- Uang –
yang dalam literatur fiqh disebut dengan tsaman atau nuqud
(jamak dari naqd)-- didefinisikan oleh para ulama, antara lain,
sebagai berikut:
- Dari
definisi tentang uang di atas dapat dipahami bahwa sesuatu, baik emas,
perak maupun lainnya termasuk kertas, dipandang atau berstatus sebagai
uang hanyalah jika masyarakat menerimanya sebagai uang (alat atau media
pertukaran) dan – berdasarkan pendapat Muhammad Rawas Qal'ah Ji –
diterbitkan atau ditetapkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas.
Dengan kata lain, dasar status sesuatu dinyatakan sebagai uang adalah
adat (kebiasaan atau perlakuan masyarakat).
- Saat ini,
masyarakat dunia tidak lagi memperlakukan emas atau perak sebagai uang,
tetapi memperlakukannya sebagai barang (sil'ah). Demikian juga,
Ibnu Taymiyah dan Ibnu al-Qayyim menegaskan bahwa jika emas atau perak
tidak lagi difungsikan sebagai uang, misalnya telah dijadikan perhiasan,
maka emas atau perak tersebut berstatus sama dengan barang (sil'ah).
- Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas dan dengan memper-hatikan qaidah ushul al-fiqh
dan qaidah fiqh sebagaimana dikemukakan pada bagian mengingat angka 3,
maka saat ini syarat-syarat atau ketentuan hukum dalam pertukaran emas
dan perak yang ditetapkan oleh hadis Nabi sebagaimana disebutkan pada
huruf a tidak berlaku lagi dalam pertukaran emas dengan uang yang
berlaku saat ini.
- Surat dari
Bank Mega Syariah No. 001/BMS/DPS/I/10 tanggal 5 Januari 2010 perihal
Permohonan Fatwa Murabahah Emas.
MEMUTUSKAN
Menetapkan: Fatwa Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai
Pertama : Hukum
Jual beli emas secara tidak
tunai, baik melalui jual beli biasa atau jual beli murabahah, hukumnya boleh
(mubah, ja'iz) selama emas tidak menjadi alat tukar yang resmi (uang).
Kedua : Batasan dan Ketentuan
1.
Harga jual (tsaman) tidak boleh
bertambah selama jangka waktu perjanjian meskipun ada perpanjangan waktu
setelah jatuh tempo.
2.
Emas yang dibeli dengan
pembayaran tidak tunai boleh dijadikan jaminan (rahn).
3.
Emas yang dijadikan jaminan
sebagaimana dimaksud dalam angka 2 tidak boleh dijualbelikan atau dijadikan
obyek akad lain yang menyebabkan perpindahan kepemilikan.
Ketiga : Ketentuan Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan,
akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
2.3 Praktik Jual
Beli Emas Secara Tidak Tunai di Lembaga
Keuangan
Jual-beli emas secara tidak tunai
dalam konteks Indonesia diperbolehkan, tentunya dengan pertimbangan hukum dan
kemaslahatan sosial lainnya. Kebolehan ini kemudian direspon dengan cepat oleh
lembaga keuangan syariah, terutama perbankan syariah yang memfasilitasi skema
pembiayaan kepemilikan emas. Selain pembiayaan kepemilikan emas, bank syariah
juga membuka layanan gadai syariah berdasarkan fatwa No. 25 dan 26 tahun 2002
tentang gadai secara umum, dan gadai emas secara khusus. Dalam catatan Bank
Indonesia, bisnis gadai emas di perbankan syariah sejatinya telah berkembang
beberapa tahun yang lalu, namun gaungnya tampak jelas pada tahun 2011 seiring
dengan krisis dahsyat yang melanda wilayah Eropa. Pada saat yang bersamaan awareness masyarakat akan komoditi emas
sebagai alat lindung nilai semakin terbangun kuat. Akibatnya, bisnis gadai di
perbankan syariah menemukan momentumnya, hal ini bisa dilihat dengan naiknya
pembiayaan, termasuk untuk rahn emas mengalami kenaikan yang sangat tajam[7].
Namun dalam perkembangan prakteknya, ada beberapa hal yang membingungkan dan
merugikan nasabah sebagai pihak pembeli. Oleh karena itu, Bank Indonesia selaku
induk keuangan negara mengeluarkan SE-BI Nomor 14/DPbS/tanggal 29 Februari
2012. Untuk mengetahui dampak dari keluarnya surat tersebut, berikut akan
dibahas perkembangan praktik pemberian gadai emas di bank syariah sebelum dan
sesudah berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia (SE-BI) Nomor 14/DPbS/ tanggal
29 Februari 2012 perihal Produk Qardh Beragun Emas bagi Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah.[8]
Gadai
Emas di Bank Syariah Sebelum Berlakunya SE – BI Nomor 14/7/DPbS/2012 Sebelum
Surat Edaran Bank Indonesia tersebut diberlakukan, praktik gadai emas di
perbankan syariah banyak diselewengkan menjadi produk investasi emas . Seiring
dengan perkembangan zaman, bank syariah menawarkan beragam produk gadai emas.
Produk – produk tersebut menawarkan produk investasi emas yang dibungkus dengan
produk gadai emas. Contohnya program kebun emas dan angsa emas yang memadukan
gadai emas dan pembelian emas secara berulang – ulang. Pada akhirnya kedua
investasi berbalut gadai emas tersebut banyak merugikan nasabah bank syariah
karena terlalu banyak mengandung unsur spekulasi. Pada program investasi kebun
emas, nasabah datang dengan membawa emas yang dimilikinya, kemudian
menggadaikannya ke bank, lalu menunggu beberapa waktu sebelum mengulang gadai
tersebut. Sementara di Angsa Emas, nasabah datang ke bank dengan membawa uang
untuk membeli emas melalui bank kemudian langsung menggadaikannya.
Uang pembelian emas pertama kali dalam angsa emas juga
dapat diperoleh dari dana pinjaman bank yang bersangkutan. Gadai emas dalam
angsa emas juga bisa dilakukan berkali – kali layaknya kebun emas. Menurut
prinsip syariah, gadai emas bukanlah produk investasi , melainkan sumber
pembiayaan bagi seseorang yang terdesak masalah keuangan jangka pendek. Karena
itu, akad yang digunakan adalah akad Qardh (pinjam – meminjam) dalam rangka
Rahn (gadai) bukan untuk tujuan investasi. Qardh adalah pinjam – meminjam dana
“tanpa imbalan” dengan kewajiban pihak peminjam untuk mengembalikan pokok
pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. Jadi dalam
akad Qardh tidak ada imbalan atas pemberian pinjaman dalam bentuk apapun,
termasuk bagi hasil apalagi bunga.
Akad Qardh dalam konteks gadai
emas adalah akad (perjanjian) pemberian pinjaman dari bank untuk nasabah yang
disertai penyerahan amanat agar bank menjaga barang jaminan yang diserahkan.
Dalam produk gadai emas, bank biasanya menyertakan biaya pemeliharaan dengan
menggunakan akad ijarah (sewa). Tetapi, lantaran harga emas mengalami kenaikan
yang cukup fenomenal pada tahun 2011, produk gadai emas pun berkembang sehingga
banyak nasabah tak lagi menggunakan prinsip keterdesakan dana dalam transaksi
gadai.
Pada dasarnya ada dua program
yang ditawarkan pada selain gadai emas di bank syariah. Pertama adalah kebun
emas dimana nasabah bisa berulang kali menggadaikan emasnya kepada bank.
Gunanya supaya nasabah bisa seolah – oleh memiliki emas berlipat – lipat hanya
dengan bermodalkan satu batang emas. Misalnya nasabah mempunyai emas 100 gram,
maka ia bisa mendapatkan uang sekitar 80 persen dari nilai emas dengan
menggadaikan emasnya kepada bank. Nah, hanya dengan menambah uang 20 persen
dari nilai emas, nasabah bisa membeli emas 100 gram kedua untuk kemudian
digadaikan dan ditambah 20 persen untuk mendapatkan emas ketiga, begitu
seterusnya sampai nasabah cukup memiliki emas. pada saat kontrak gadai selama 4
bulan telah berakhir, maka nasabah harus menebus kembali emas – emasnya.
Namanya memang menebus gadai, tetapi pada saat harga emas naik, nasabah tak
perlu membayar emas sepeser pun. Para nasabah justru akan menikmati selisih
harga emas saat jatuh tempo dengan harga emas pada waktu dibeli 4 bulan yang
lalu dikalikan jumlah emas yang sempat dimilikinya. Kedua , Pembiayaan Emas. Di
sini, nasabah bisa memiliki emas yang dikehendaki tanpa membayar penuh. Nasabah
hanya memberikan modal awal senilai 10 persen dari nilai emas yang diinginkan.
Sisanya, nasabah bisa mencicil selama 1 sampai dengan 3 tahun tergantung
kemampuan. Dua program terakhir tersebut paling diminati nasabah ketimbang
program gadai emas yang menggunakan yang menggunakan prinsip keterdesakan.
Fenomena yang berkembang di Bank syariah bukanlah gadai emas, melainkan
pengadaan emas yang sifatnya spekulasi yang tidak sesuai dengan prinsip emas
syariah. Melalui program gadai emas dan berkebun emas, beberapa bank syariah
meraup untung besar dari penarikan fee maupun kenaikan harga emas itu sendiri.
Sayangnya, saat harga emas merosot, risiko produk – produk gadai emas ini mulai
terlihat mengerikan. Ada juga investor yang merasa ditipu karena tidak bisa
ikut memanen kebun emas seperti teman atau kerabatnya. Para investor tampaknya
lupa bahwa setiap jenis investasi pasti mengandung risiko. Semakin besar
keuntungannya, semakin besar pula risiko kerugiannya. Kebanyakan investor lebih
tertarik janji – janji keuntungan selangit, apalagi program investasi tersebut
diadakan oleh perbankan syariah yang seharusnya lebih mengedepankan sistem
syariah yang menjunjung tinggi keadilan dan keterbukaan.
Gadai Emas di Bank Syariah Setelah Berlakunya SE – BI Nomor
14/7/Dpbs/2012. Penyimpangan praktik gadai emas di bank – bank syariah
akhirnya mendorong Bank Indonesia (BI) mengeluarkan produk hukum terbaru yang
bertujuan untuk membatasi dan mengembalikan gadai emas sesuai dengan prinsip
syariah. Peraturan terbaru tersebut berupa Surat Edaran Bank Indonesia (SE –
BI) Nomor. 14/7/DPS, yang diterbitkan dan mulai berlaku sejak 29 Februari 2012.
Meski bisnis gadai emas syariah berkembang pesat, namun Bank Indonesia belum
berniat membuat pengaturan secara khusus dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia
(PBI). Hal itu karena Bank Indonesia merasa bisnis gadai emas syariah belum
terlalu besar kontribusinya dalam industri perbankan berbasis syariah sehingga
Bank Indonesia hanya mengaturnya lewat Surat Edaran Bank Indonesia (SE – BI).
` Bank Indonesia hanya ingin perbankan syariah membuat Standard Operational Procedure (SOP) dan
tidak lagi menggunakan istilah gadai emas dalam memasarkan produknya agar tidak
rancu dengan istilah gadai emas yang juga digunakan di pegadaian syariah. Gadai
emas di bank syariah pun diubah namanya menjadi produk Qardh Beragun Emas .
Akibat diterbitkannya Surat Edaran Bank Indonesia. Nomor. 14/7/DPbS/2012
tersebut, timbul masalah kontrak gadai yang sudah terlanjur ada. Kontrak gadai
yang dimiliki nasabah tidak bisa diperpanjang lantaran tidak sejalan lagi
dengan aturan Surat Edaran Bank Indonesia, dan saat kontrak jatuh tempo harga
emas juga sedang merosot. Bank pun menempuh cara – cara yang tidak bijak untuk
melakukan penyesuaian dengan menimpakan semua kerugian kepada para nasabah.
Salah satu contoh kasus bisa dilihat pada gadai emas di BRI syariah. Paska Bank
Indonesia menerbitkan aturan tersebut, BRI syariah langsung mengubah
kesepakatan kontrak dengan kontrak dengan para nasabah.Salah satu nasabah yang
dirugikan produk gadai emas BRI syariah adalah artis dan seniman Butet
Kertaredjasa. Kini gadai emas diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor.
14/7/DPbS, tanggal 29 Februari 2012 perihal produk Qardh Beragun Emas bagi Bank
syariah dan Unit Usaha Syariah yang mulai berlaku tanggal 29 Februari 2012.
Penerbitan Surat Edaran ini dimaksudkan untuk memberikan
acuan bagi perbankan syariah dalam menjalankan produk Qardh Beragun Emas, yang
merupakan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor. 10/17/PBI/2008
tentang produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Ketentuan tersebut berlaku
untuk Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah (BPR Syariah). Penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia tersebut
langsung berimbas pada kelangsungan bisnis sejumlah Bank Syariah. Tak hanya
mengungkap betapa besar resiko yang diterima bank dan nasabah secara perlahan,
regulasi Bank Indonesia tersebut juga menyurutkan nilai transaksi gadai emas
syariah secara drastis. Dalam aturan Bank Indonesia tentang Gadai emas syariah,
plafon pembiayaan Gadai emas dibatasi maksimal Rp 250 juta untuk setiap
nasabah. Jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan dan dapat diperpanjang paling
banyak dua kali. Khusus untuk Usaha Mikro dan Kecil (UKM) dapat diberikan
pembiayaan maksimal Rp 50 juta dengan jangka waktu pembiayaan paling lama satu
tahun. nasabah UMK dapat mengangsur setiap bulan, namun mereka tidak
diperkenankan memperpanjang masa gadai.
Sebelum Surat Edaran Bank
Indonesia diterbitkan, pembiayaan gadai emas di bank syariah diduga menjadi
media permainan para spekulan. Hal tersebut lantaran plafon pembiayaan gadai
emas lebih banyak diatas Rp 250 juta. Nilai pembiayaan diatas Rp 250 juta
mencapai 98 persen dari total pembiayaan gadai emas di Bank Syariah. Diduga,
pembiayaan dengan plafon besar tersebut menjadi lahan permainan para spekulan.
Selain plafon, Bank Indonesia juga membatasi jumlah portofolio pembiayaan gadai
emas syariah paling banyak 20 persen dari total pembiayaan atau 150 persen dari
modal Bank Umum Syariah (BUS). Sedangkan bagi Unit Usaha Syariah (UUS) hanya
diberikan satu acuan, yakni sebesar 20 persen dari total pembiayaan. Sementara
itu, nilai gadai atau Financing to Value (FTV) dibatasi maksimal 80 persen dari
rata – rata harga jual emas 100 gram dan harga kembali emas PT. Aneka Tambang
(Antam). Agar sejalan dengan aturan baru tersebut, bank syariah diwajibkan
membuat kebijakan dan prosedur selama satu bulan terhitung sejak berlakunya
Surat Edaran Bank Indonesia tersebut. Bank akan diberikan masa transisi selama
satu tahun. Bank Syariah dapat menetapkan nilai Financing To Value (FTV) dengan
menggunakan acuan lain sepanjang nilai FTV yang dihasilkan lebih kecil atau
sama dengan nilai FTV yang ditetapkan.[9]
Ini adalah mekanisme yang ditetapkan oleh
lembaga keuangan untuk nasabah yang ingin menyicil atau menggadai emas.[10]
1.
Nasabah harus melengkapi persyaratan administrasi seperti:
·
WNI cakap umur.
·
Pegawai dengan usia minimal 21 s.d usia
maksimal 55 tahun.
·
Pensiunan berusia maksimal 70 tahun pada saat pembiayaan jatuh tempo.
·
Profesional dan wiraswasta berusia maksimal 60 tahun.
·
Menyerahkan Kartu Identitas (KTP).
2.
Nasabah harus membayar biaya administrasi, materai dan asuransi.
3.
Menentukan uang muka dan biaya cicilan yang akan dibayar
·
Minimal 20% dari harga perolehan emas.
·
Uang muka dibayar secara tunai (tidak dicicil) oleh nasabah kepada Bank.
Sumber dana uang muka harus berasal dari dana nasabah sendiri (self financing)
dan bukan berasal dari pembiayaan yang diberikan oleh Bank.
·
Contoh penghitungan tentang penentuan biaya cicilan yang akan dibayar:
Misal, harga emas 10 gram sebesar Rp 5 Juta; Periode cicilan 10 kali dalam 10
bulan; DP yang dipersyaratkan adalah 20%.
Mekanisme
untuk menentukan uang muka cicilan emas yang diterapkan lembaga pembiayaan
adalah sebagai berikut:
Harga : Rp 5.000.000
Margin : 10% x Rp 5.000.000 = Rp 500.000
Total : Rp 5.000.000 + Rp 500.000 = Rp
5.500.000
Uang Muka Cicilan Emas : 20% x Rp 5.500.000
= Rp 1.100.000
Pinjaman : Rp 5.500.000 – Rp 1.100.000 = Rp
4.400.000
Periode cicilan : 10 kali
Cicilan per periode : Rp 4.400.000 : 10 =
Rp 440.000[11]
4.
Setelah uang muka dan uang cicilan disepakat, maka kedua belah pihak
melakukan akad pembiayaan menggunakan akad murabahah
(di bawah tangan) dan pengikatan agunan dengan menggunakan akad rahn (gadai).
2.4 Masalah
Kesyariahan Jual Beli Emas Tidak Tunai
Membeli barang dengan angsuran atau
anggunan adalah salah satu pemandangan yang lazim ditemui di masyarakat
Indonesia dan sebagian negara lain. Praktik jual beli dengan sistem itu
dianggap sebagai cara alternatif memperoleh sesuatu yang diinginkan secara mudah
dan ringan Tetapi,
timbul persoalan tatkala barang yang dijadikan objek komersial itu ialah emas
dan perak. Praktik muamalat jual beli keduanya yang dilakukan secara non-tunai
di masa Rasulullah, tidak diperbolehkan.
Hal
ini banyak terdokumentasikan di sejumlah hadis Nabi. Salah satunya hadis
riwayat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri berbunyi, “Janganlah kamu menjual emas
dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas
sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama
(nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian lain; dan janganlah
menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai.” (HR.
Muslim).
Dengan
demikian menjual emas dengan emas, harus sama (tamatsul), setara (musawat),
serupa (tasawi) antara 2 barang yang ditukar (Al-badalain). Jika salah satu
barang yang ditukar melebihi barang lainnya, maka tambahan itu adalah riba.
Sehingga implikasi dari hal tersebut, riba adalah tambahan pada saat tukar
menukar antara barang-barang ribawi dengan jenisnya, atau mengakhirkan/menangguhkan
proses tukar-menukar barang-barang ribawi, apakah berupa barang pengganti
(iwadhani) dari jenis yang sama atau dari jenis yang berbeda. (Maktabah
Akademiyah – Fiqh Muamalat Ad-Dars Al-Khamis : Bab Riba, hal. 7-10, oleh DR
Abdullah Al-Amar).
Implementasi dalil
ini dalam konteks kekinian memunculkan ragam persepsi, terutama saat emas atau
perak tak lagi diposisikan sebagai media utama bertransaksi. Fatwa Dewan
Syariah Nasional Nomor 77 Tahun 2010 tentang Jual-Beli Emas Secara Tidak Tunai
secara eksplisit membolehkan transaksi jual-beli emas secara angsuran atau
cicilan. Meskipun harus diakui, sesungguhnya ulama’ tidak satu suara mengenai
bolehnya transaksi ini; ada yang mengharamkan dan ada pula yang membolehkan. Perbedaan
pendapat pun muncul, baik di kalangan ulama salaf atapun khalaf (kontemporer).
Seperti apakah diskusi di kalangan ulama itu?[12]
Dalam Bai’
ad-Dzahab bi at-Taqsith, Syekh Abdul Hamid As-Syauqi Al-Jibali mengatakan,
menurut mayoritas ulama dari Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, praktik
tersebut dilarang dalam agama. Dalam pandangan kalangan ini, emas dan perak
adalah tsaman (harga/alat pembayaran/uang) yang tidak boleh dipertukarkan
secara angsuran maupun tunda, karena hal itu menyebabkan riba. Hal ini
berdasarkan, antara lain, hadis riwayat Ubadah bin Ash-Shamit. Rasulullah
bersabda, “Jika jenis (harta ribawi) ini berbeda maka jual belikanlah sesuai
kehendakmu apabila dilakukan secara tunai.”
Dari penjelasan
mayoritas ulama yang melarang, maka dapat ditarik poin-poin penting jika LKS
berperan sebagai agen penjual emas dari toko emas, maka ia diperbolehkan
melakukan jual beli emas dengan catatan[13] :
· Secara tunai
· Tidak ada tempo/tangguh
·
Harga emas sesuai dengan harga pasar, walaupun ada perbedaan dengan harga
asal dari toko emas, karena emas diperjual belikan dengan uang logam/kertas
yang tidak termasuk barang ribawi.
Di lain pihak,
salah satu fatwa DSN yang hingga saat ini masih menimbulkan perdebatan adalah fatwa
telah saya cantumkan diatas, fatwa yang membolehkan tentang jual beli emas
secara tidak tunai, yakni Fatwa Nomor: 77/DSN-MUI/V/2010. Melalui fatwanya
tersebut Dewan Syariah Nasional menyatakan bahwa jual beli emas secara tidak
tunai itu boleh (mubāḥ), selama emas tidak menjadi alat tukar yang resmi
(uang), baik melalui jual beli biasa atau jual beli murābaḥah. Fatwa DSN MUI
menganggap saat ini masyarakat dunia tak lagi memperlakukan emas atau perak
sebagai uang, tetapi lebih difungsikan sebagai barang.
Fatwa DSN-MUI
tersebut sama dengan pendapat para ulama yang memperbolehkan praktik jual beli
emas non-tunai.Pandangan ini masyhur dirujuk ke Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim,
dari kalangan klasik, dan didukung oleh sebagian ulama kontemporer juga
berpendapat sama dengan kedua tokoh tersebut. Di antaranya Syekh Abdurrahman
As-Sa’di dan Mufti Lembaga Fatwa Mesir (Dar Al-Ifta’ Al-Mishriyyah), Syekh Ali
Jumu’ah. Menurut perspektif kelompok ini, jual beli emas dan perak
diperbolehkan dengan angsuran. Keberadaan emas saat ini tidak lagi sebagai
media pertukaran di masyarakat dan keduanya telah menjadi barang sebagaimana
barang lainnya.
Pertimbangan lain
yang dipakai dasar Fatwa DSN-MUI dalam hal ini adalah pertimbangan dengan latar
belakang sosial budaya, salah satunya adalah Kaidah Fikih: “Hukum yang didasarkan pada adat (kebiasaan)
berlaku bersama adat tersebut dan batal (tidak berlaku)bersamanya ketika adat
itu batal, seperti mata uang dalam muamalat…”. (Al-Qarafi, Anwar al-Buruq fi
Anwa’ al-Furuq, j. 2, h. 228).
Dengan kata lain, pada fatwa MUI tersebut digunakan pula
dasar status sesuatu dinyatakan sebagai uang adalah adat (kebiasaan atau
perlakuan masyarakat).Adapun batas dan ketentuan yang harus diikuti dari
bolehnya jual beli emas secara angsuran dalam fatwa DSN MUI adalah 1) Harga
jual (tsaman) tidak boleh bertambah selama jangka waktu perjanjian meskipun ada
perpanjangan waktu setelah jatuh tempo, 2) Emas yang dibeli dengan pembayaran
tidak tunai boleh dijadikan jaminan (rahn), 3) Emas yang dijadikan jaminan
sebagaimana dimaksud dalam angka 2 tidak boleh dijualbelikan atau dijadikan
obyek akad lain yang menyebabkan perpindahan kepemilikan.
Perlu pula
diketahui, bahwa latar belakang fatwa tersebut berdasarkan surat permohonan
fatwa dari salah satu bank syariah swasta, artinya pertimbangan untuk mendukung
pengembangan perbankan syariah sebagai hasil dari pertimbangan interaksi sosial
dan budaya, juga turut menentukan lahirnya fatwa tersebut. Dan harapan inti
kita semua adalah pertimbangan kepentingan masyarakat Indonesia yang
menghendaki terhindar dari perkara-perkara tidak syar’i selalu menjadi
pertimbangan utama dalam fatwa-fatwa MUI selama ini dan di masa yang akan
datang. Wallahu a’lam bish-showab.[14]
2.5. Kritik Konsep dan Praktik Jual Beli Emas Secara Tidak
Tunai
Sesungguhnya produk
gadai emas syariah tidak ada masalah ketika merujuk pada ketentuan fatwa No. 25,
No. 26 dan No. 77 DSN-MUI, namun
bermasalah ketika kemudian dilakukan modifikasi top up atau gadai ulang.
Bedanya top up dengan metode gadai biasa adalah pada gadai emas syariah yang
reguler, pada saat transaksinya sudah jatuh tempo, yaitu sekitar 4 bulan,
nasabah gadainya langsung mengembalikan uang pinjamannya, serta membayar
ujrahnya. Kemudian dia bisa mengambil emas, namun diinovasi top up ini tidaklah
demikian, setelah jatuh tempo, nasabah tidaklah benar-benar membayar uangnya,
namun ia melakukan top up atau gadai ulang. Jadi emasnya tidak jadi ditebus,
namun digadai ulang. Setelah empat bulan kemudian, dia juga tidak menebus lagi,
begitu seterusnya. Sehingga dia menjadi pinjamannya terus menerus. Singkatnya,
tebus-gadai ulang, tebus-gadai ulang, jadi muter-muter di sana. Masalahnya,
mereka yang melakukan modifikasi top up secara tidak langsung mendapatkan
legitimasi dengan dikeluarkanya fatwa No. 77 tentang jual-beli emas secara
tidak langsung atau dengan cara cicil. Jika tadinya orang harus punya emas
dulu, kemudian datang ke bank untuk menggadaikan emasnya, maka sekarang orang
bisa datang ke bank untuk menggadai, hanya dengan emasnya yang dibelinya secara
cicilan dengan skema murâbahah.
Dengan adanya fasilitas
pembelian emas secara cicilan ini, dalam pandangan Adiwarman A. Karim, membuat
pelaksanaan gadai emas syariah di lapangan menjadi lebih kacau lagi, bahkan
potensi untuk spekulasi menjadi sangat terbuka lebar, di mana pada saat yang
bersamaan mencederai prinsip dasar dari gadai itu sendiri.
Problem gadai emas yang
berpotensi spekulasi ini tidak bisa dilepaskan dengan konsepsi teoritik hukum
yang dibangun oleh para ulama’ yang tergabung dalam Dewan Syariah Nasional yang
berkaitan dengan rahn (gadai), rahn emas (gadai emas), serta jual-beli emas
secara tidak langsung.
Dalam konteks ini,
sebetulnya tidak ada persoalan krusial yang berkaitan dengan fatwa 25 tahun
2002 tentang rahn (gadai), begitu pula dengan fatwa 26 tahun 2002 tentang gadai
emas. Sebab rahn (gadai) memang dimaksudkan sebagai jaminan atas utang atau
pinjaman yang ada. Persoalannya baru muncul ketika emas yang dibeli dengan
pembayaran tidak tunai boleh dijadikan jaminan (rahn), artinya disini terdapat
dua akad (murâbahah dan rahn) dalam satu transaksi produk. Padahal dengan jelas
ulama’ melarang adanya dua akad dalam transaksi yang berbeda, bahkan dalam satu
transaksi sekalipun. Anehnya, pilihan model seperti ini dijustifikasi oleh
fatwa DSN-MUI terutama pada poin batasan dan ketentuan jual-beli emas secara
tidak tunai pada angka 2 yang berbunyi “emas yang dibeli dengan pembayaran
tidak tunai boleh dijadikan jaminan”. Dengan demikian, definisi gadai seperti
ini lebih bersifat qard (pembiayaan), bukan lagi sebagai collatera (jaminan).
Akibatnya, pintu masuk ke arah spekulasi terbuka lebar dengan sendirinya.
Mengkritisi
fatwa tersebut menyusul fenomena yang menyusulinya, ada baiknya dilakukan
koreksi ulang terhadap konsep rahn dalam fatwa No. 77 ini. Koreksi yang paling
memungkinkan adalah tidak bolehnya seseorang melakukan gadai emas syariah,
dimana posisi pemilikan terhadap emas itu masih terikat dengan akad murâbahah,
hal ini dilakukan dalam kerangka menghindari meluasnya unsur spekulasi terhadap
investasi emas ini oleh karena setiap orang bisa menggadaikan emas tanpa harus
memiliki emas itu sendiri, padahal gadai dalam Islam itu dengan tegas dikatakan
bahwa marhun (objek gadai) itu harus ada, jelas dan dimiliki. Selain itu,
pilihan ini juga dimaksudkan untuk menyelamatkan konsep dasar gadai (rahn) itu
sendiri, yang tidak lain dan tidak bukan sebagai jaminan atas utang atau
pinjaman, serta untuk pengembangan sektor produktif, bukan untuk kepentingan
spekulasi.[15]
BAB
III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Jual beli emas secara tidak tunai adalah sebuah
proses pemindahan hak milik berupa emas yang dianggap sebagai harta atau barang
komoditas kepada pihak lain dengan menggunakan uang sebagai salah satu alat
tukarnya yang dibayarkan secara berangsur-angsur dengan tingkat harga atau
angsuran sesuai dengan kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak saat
melakukan akad.
Di Indonesia
kegiatan jual beli emas tidak tunai sudah menjadi kebiasaan masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan jual beli emas tidak tunai sangat
mudah, sederhana dan memberi keuntungan berupa jaminan terhadap nilai aset yang
dimiliki masyarakat di masa yang akan datang.
Fatwa Dewan
Syariah Nasional Nomor 77 Tahun 2010 tentang Jual-Beli Emas Secara Tidak Tunai
secara eksplisit membolehkan transaksi jual-beli emas secara angsuran atau
cicilan. Fatwa ini menjawab kebingungan masyarakat dan pihak lembaga keuangan
akan diperbolehkan atau tidaknya transaksi jual beli emas tidak tunai. Namun,
dalam praktik yang diterapakan lembaga keuangan, khususnya Bank dan Pegadaian
Syariah banyak terjadi penyimpangan. Bahkan, akad yang ada di fatwa tersebut
(rahn dan murabahah) dianggap kurang sesuai oleh sebagian cendekiawan muslim.
3.2 Saran
·
Agar Dewan Syariah Nasional MUI mengkaji ulang fatwa
terkait jual beli emas tidak tunai dan memperinci segala teknisnya di lapangan.
·
Agar Lembaga Keuangan Syariah berpedoman sepenuhnya terhadap setiap fatwa DSN
MUI dan meminimalkan penyimpangan terhadap praktiknya di lapangan.
·
Agar kita semua tahu, bahwa saat ini Lembaga Keuangan Syariah belum sempurna, masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu,
masyarakat pada umumnya dan akademisi khususnya untuk turut serta memperbaiki
dan menyempurnakan berbagai transaksi muamalah di Lembaga Keuangan Syariah.
3.3. Daftar
Pustaka
Sam, M.Ichwan dkk. . 2014. Himpunan Fatwa Keuangan Syariah. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Anonim, “Gadai Emas Syariah”. (Diakses dari: http://www.bisnisemas1.com/gadai-emas-syariah-di--bank-syariah.htm, pada 29 Maret 2015)
Anonim,” BSM Cicil Emas”. (Diakses dari: http://www.syariahmandiri.co.id/category/consumer-banking/emas/bsm-cicil-emas/, pada 29 Maret 2015)
Asmuni Mth, “Penggunaan al-Minhâj al-Maqshadi yang Kurang
Cermat”. (Diakses dari: http://alislamiyah.uii.ac.id/2013/09/17/produk-perbankan-syariah-antara-al-minhaj-al-raddi-dan-al-minhaj-al-maqshadi/, pada 29 Maret 2015)
Any Setianingrum, “Beli Emas Secara Kredit”. (Diakses
dari: http://any-setianingrum-pasca12.web.unair.ac.id/artikel_detail-92507-Islamic%20Economics%20Management%20%20Accounting-Konsultasi%20Ekonomi%20Syariah%20Tentang%20Beli%20Emas%20Secara%20Kredit.html, pada 29 Maret 2015)
Chairul Akhmad “Jual Beli Emas non Tunai-1”. (Diakses
dari: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/12/02/03/lytdn1-jual-beli-emas-nontunai-1,, pada 28 Maret 2015)
Charlie Bukhari, “Cara Menentukan Uang Muka Cicilan
Emas”. (Diakses dari: http://charlybuchari.web.id/cara-menentukan-uang-muka-cicilan-emas/, pada 29 Maret 2015)
Tim DSN MUI, “Fatwa”. (Diakses dari: http://www.dsnmui.or.id/index.php?mact=News,cntnt01,detail,0&cntnt01articleid=79&cntnt01origid=59&cntnt01detailtemplate=Fatwa&cntnt01returnid=61, pada 29 Maret 2015)
[5] Tim DSN
MUI, “Fatwa”. (Diakses dari: http://www.dsnmui.or.id/index.php?mact=News,cntnt01,detail,0&cntnt01articleid=79&cntnt01origid=59&cntnt01detailtemplate=Fatwa&cntnt01returnid=61,
pada 29 Maret 2015)
[6] Tim DSN MUI,
“Fatwa”. (Diakses dari:
http://www.dsnmui.or.id/index.php?mact=News,cntnt01,detail,0&cntnt01articleid=79&cntnt01origid=59&cntnt01detailtemplate=Fatwa&cntnt01returnid=61,
pada 29 Maret 2015)
[7] Asmuni Mth,
“Penggunaan al-Minhâj al-Maqshadi yang Kurang Cermat”. (Diakses dari:
http://alislamiyah.uii.ac.id/2013/09/17/produk-perbankan-syariah-antara-al-minhaj-al-raddi-dan-al-minhaj-al-maqshadi/, pada 29 Maret 2015)
[8] Anonim,
“Gadai Emas Syariah”. (Diakses dari: http://www.bisnisemas1.com/gadai-emas-syariah-di--bank-syariah.htm,
pada 29 Maret 2015)
[9] Anonim, “Gadai Emas
Syariah”. (Diakses dari:
http://www.bisnisemas1.com/gadai-emas-syariah-di--bank-syariah.htm, pada 29
Maret 2015)
[10] Diolah kembali oleh penulis berdasarkan
http://www.syariahmandiri.co.id/category/consumer-banking/emas/bsm-cicil-emas/
[11] Charlie Bukhari, “Cara Menentukan Uang Muka Cicilan
Emas”. (Diakses dari: http://charlybuchari.web.id/cara-menentukan-uang-muka-cicilan-emas/,
pada 29 Maret 2015)
[12] Chairul Akhmad
“Jual Beli Emas non Tunai-1”. (Diakses dari:
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/12/02/03/lytdn1-jual-beli-emas-nontunai-1,
pada 28 Maret 2015)
[13] Any Setianingrum,
“Beli Emas Secara Kredit”. (Diakses dari: http://any-setianingrum-pasca12.web.unair.ac.id/artikel_detail-92507-Islamic%20Economics%20Management%20%20Accounting-Konsultasi%20Ekonomi%20Syariah%20Tentang%20Beli%20Emas%20Secara%20Kredit.html,
pada 29 Maret 2015)
[14] Chairul Akhmad
“Jual Beli Emas non Tunai-1”. (Diakses dari: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/12/02/03/lytdn1-jual-beli-emas-nontunai-1,
pada 28 Maret 2015)
[15] Asmuni Mth, “Penggunaan al-Minhâj al-Maqshadi yang Kurang
Cermat”. (Diakses dari: http://alislamiyah.uii.ac.id/2013/09/17/produk-perbankan-syariah-antara-al-minhaj-al-raddi-dan-al-minhaj-al-maqshadi/, pada 29 Maret 2015)
Rebat FBS TERBESAR – Dapatkan pengembalian rebat atau komisi hingga 70% dari setiap transaksi yang anda lakukan baik loss maupun profit,bergabung sekarang juga dengan kami
ReplyDeletetrading forex fbsasian.com
-----------------
Kelebihan Broker Forex FBS
1. FBS MEMBERIKAN BONUS DEPOSIT HINGGA 100% SETIAP DEPOSIT ANDA
2. FBS MEMBERIKAN BONUS 5 USD HADIAH PEMBUKAAN AKUN
3. SPREAD FBS 0 UNTUK AKUN ZERO SPREAD
4. GARANSI KEHILANGAN DANA DEPOSIT HINGGA 100%
5. DEPOSIT DAN PENARIKAN DANA MELALUI BANL LOKAL Indonesia dan banyak lagi yang lainya
Buka akun anda di fbsasian.com
-----------------
Jika membutuhkan bantuan hubungi kami melalui :
Tlp : 085364558922
BBM : fbs2009
Inilah Saatnya Menang Bersama Legenda QQ
ReplyDeleteSitus Impian Para pecinta dan peminat Taruhan Online !!!
Hanya Dengan 1 id bisa main 7 games boss !!!
CAPSA SUSUN | PLAY POKER | BANDAR POKER | BandarQ | Domino99 | AduQ | SAKONG Terbaik
Keunggulan Legenda QQ :
- MINIMAL DEPO & WD 20.000
- PROSES DEPO & WD TERCEPAT
- KARTU-KARTU BERKUALITAS DISAJIKAN
- CS RAMAH & INSPIRATIF SIAP MEMBANTU 24 JAM
- TIPS & TRIK MENJADI KEUNGGULAN SITUS INI
Ubah mimpi anda menjadi kenyataan bersama kami !!!
Dengan Minimal Deposit dan Raih WD sebesar" nya !!!
Contact Us :
+ website : legendapelangi.com
+ Skype : Legenda QQ
+ BBM : 2AE190C9
Taipan Indonesia | Taipan Asia | Bandar Taipan | BandarQ Online
ReplyDeleteSITUS GAME KARTU ONLINE EKSKLUSIF UNTUK PARA BOS-BOS
Kami tantang para bos semua yang suka bermain kartu
dengan kemungkinan menang sangat besar.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
Cukup Dengan 1 user ID sudah bisa bermain 7 Games.
• AduQ
• BandarQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• FaceBook : @Taipanqq.info
• No Hp : +62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
Come & Join Us!!
pokermulia.com | pokermulia.NET |
ReplyDeleteKARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda dan mendapatkan jackpotnya ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
• Ceme
• Ceme Keliling
• Capsa
• Domino
• Poker
• Superten
• Live Poker
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +85593842699
• BB : D3F98F26
• line : POKERMULIA
Come & Join Us